JAKARTA – Upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntaskan kasus dugaan tindak pidana korupsi bantuan dana pemerintah ke KONI Pusat pada tahun anggaran 2017 di Kemenpora didukung oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Koordinator MAKI Boyamin Saiman meminta, agar Jaksa Agung ST Burhanuddin bersikap tegas di kasus tersebut, untuk mencegah isu-isu semakin liar.
“Segera tuntaskan, tetapkan tersangkanya. Karena mencegah isu ini semakin liar dan justru membuktikan kelau memang ada aliran uang (Ke Mantan Jampidsus), iya bilang ada, kalau memang tidak ada, iya tidak ada,” kata Boyamin, Rabu (27/5/2020).
Dia juga berharap, Jaksa Agung ST Burhanuddin berkomitmen untuk menuntaskan perkara tersebut secara terang benderang dengan memberikan izin pemeriksaan terhadap mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
“Ada persoalan di Undang-undang Kejaksaan itu terkait dengan seorang Jaksa yang menjalankan tugasnya itu harus ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Waktu itu kan (Adi Toegarisman-red) sedang menjalankan tugasnya, meskipun sekarang sudah pensiun. Nah itu nanti kita lihat, apakah Jaksa Agung juga memberikan izin kalau ada pemeriksaan terhadap mantan Jampidsus,” ucap Boyamin.
Mantan Jampidsus Adi Toegarisman dinilai perlu juga diperiksa. Sebab, asisten pribadi Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Miftahul Ulum pernah menyebut Adi Toegarisman menerima uang suap senilai Rp7 Miliar.
Walaupun Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama mengusut kasus itu, namun ada perbedaan pada dugaan tindak pidananya.
“Kejagung tangani kasus hibah KONI 2017, yang diyakini ada bukti dan ada cukup bukti karena sudah penyidikan, ada upaya untuk menutup. Nah menurut Miftahul Ulum kan menutupnya melalui BPK dan Kejaksaan Agung,” jelasnya.
“Sementara KPK sendiri meneliti kasus yang 2018 terkait pencairan bukan penggunaan. Pencairan itu ada suap dari KONI untuk pejabat Kemenpora. Jadi ada 2 kasus perkara memang tahun 2017 dan tahun 2018 beda-beda,” lanjutnya.(*/Ag)
JAKARTA – Tindakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang kembali membawa Siti Fadilah Supari ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur disoroti banyak pihak. Salah satunya, Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Didik Mukrianto.
Didik Mukrianto mengatakan, ada bijaknya para pemimpin bangsa ini mendengar setiap masukan anak bangsa termasuk Siti Fadilah Supari dalam kapasitas dan kompetensi serta pengalamannya dalam menangani persoalan kesehatan.
“Beliau pernah membatalkan penetapan pandemi SARS yang ditetapkan WHO waktu itu yang disinyalir tidak transparan, dan terbukti, tanpa Anti Virus yang direkomendasikan oleh WHO, Indonesia bisa menghentikan penyebaran Virus SARS waktu itu,” ujar Didik Mukrianto, Senin (25/5/2020).
Dia mengatakan, walaupun mantan menteri kesehatan itu saat ini berstatus warga binaan, namun negara, pemerintah, pemimpin dan pejabat tidak boleh lupa dengan jasa-jasa Siti Fadilah Supari untuk masyarakat, Indonesia, bahkan untuk dunia. “Terlalu picik dan naif apabila ada pejabat yang menistakan itu,” ujar anggota komisi III DPR RI ini.
Dia mengatakan, disiplin ilmu dan pengalaman Siti Fadilah Supari tidak boleh dimatikan dan dinafikkan hanya karena statusnya. “Untuk kepentingan yang lebih besar bagi bangsa ini, seharusnya sebaliknya,” tuturnya.
Dia melanjutkan, mengingat latar belakang dan pengalaman Siti Fadilah Supari dalam perspektif profesionalitasnya, jasa serta usia yang bersangkutan sudah di atas 70 tahun dan sangat rentan terpapar Covid-19.
Dia menambahkan, walaupun status Siti Fadilah Supari terhalang oleh Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012 untuk mendapatkan Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat, harusnya pejabat bisa bijak untuk memberikan perlindungan kemanusiaan dan kesehatan kepada Siti.
“Tidak harus dengan previlige melanggar PP 99/2012, tapi pemerintah bisa memberikan kebijakan di tempat lain yang jauh dari potensi terjangkit Covid-19, dan sementara waktu tidak mengembalikan ke Rutan Pondok Bambu yang sedang dinyatakan Red Zone,” tandasnya.(*/Tya)
JAKARTA – Ombudsman RI (ORI) wilayah Sumatera Selatan menyoroti pemberhentian terhadap ratusan tenaga medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ogan Ilir oleh Bupati Ogan Ilir beberapa hari yang lalu.
Ombudsman RI sudah mengetahui kabar adanya tindakan Bupati Ogan Ilir yang memberhentikan 109 tenaga medis di Ogan Ilir ditengah Kabupaten Ogan Ilir yang gencarnya menanggulangi wabah pandemi virus Corona (Covid-19).
Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumatera Selatan pada Minggu (24/5/2020) kemarin yang diupload di situs corona.sumselprov.go.id, jumlah pasien positif di Ogan Ilir telah mencapai 45 orang.
“Ada hal yang kurang patut diduga telah terjadi Maladministrasi atas tindakan yang dilakukan Bupati terhadap (pemberhentian) tenaga medis tersebut,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumsel M. Adrian Agustiansyah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/5/2020).
“Jangan hanya karena mereka menuntut transparansi dan memperoleh kepastian alat pelindung diri (APD), mereka langsung di berhentikan tanpa peduli dengan situasi yang jauh lebih urgent daripada itu,” tambahnya.
Adrian menambahkan, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, kepala daerah memang diberikan kewenangan yang luas dan menjadi ujung tombak dalam terjaminnya pelaksanaan pelayanan publik, untuk dapat melaksanakan tugasnya secara baik dan profesional tersebut, maka dituntut bagi Kepala Daerah agar dapat menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam mengelola pemerintah dalam setiap kebijakan yang dilakukan.
Asas-asas tersebut diperlukan agar tindakan yang dilakukan oleh kepala daerah dalam hal ini tidak merugikan warga Negara khususnya masyarakat yang terdampak langsung.
“Dalam mengungkap dugaan Maladministrasi Bupati Ogan Ilir ini, Ombudsman sebetulnya sudah lebih dulu menerjunkan Tim untuk melakukan kegiatan investigasi dalam rangka mengumpulkan informasi awal,” jelasnya.
“Nantinya informasi ini akan dijadikan rujukan dalam rapat pleno yang segera digelar untuk ditingkatkan atau tidak menjadi Inisiatif Ombudsman dan jika memenuhi syarat yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, Maka, tidak menutup kemungkinan Bupati Ogan Ilir dan Direktur RSUD Ogan Ilir akan segera kami panggil untuk dimintai keterangan,” sambungnya.
Selanjutnya Ombudsman berharap agar pihak-pihak yang nantinya diminta untuk dapat hadir dapat bersikap kooperatif, memenuhi undangan ataupun panggilan dari kami, karena keterangan tersebut dapat membuat terang dan sebagai bahan bagi Ombudsman dalam menyimpulkan dugaan Maladministrasi yang sedang diselidiki.(*/Ad)
JAKARTA – Setelah berobat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kembali dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono memprotes tindakan mengembalikan Siti Fadilah Supari ke dalam penjara Rutan Pondok Bambu.
Arief justru menilai, tindakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) itu sebagai upaya pembunuhan terhadap Siti Fadilah Supari dengan virus corona atau Covid-19. Sebab, Rutan Pondok Bambu dianggap sebagai zona merah Covid-19.
“Sudah benar mengeluarkan Siti Fadilah dari Pondok Bambu yang berisikan 50 orang lebih positif Corona. Kok malah sekarang dibalikin lagi ke dalam? Kemenkumham apa enggak paham ini keadaan darurat? Mengembalikan ke Pondok Bambu itu upaya pembunuhan pakai Corona terhadap Siti Fadilah,” kata Arief Poyuono dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/5/2020).
Dirinya pun mengingatkan, kondisi penjara yang terisolasi dengan 50 orang positif di dalamnya, Siti Fadilah sangat rentan terpapar Corona. Terlebih, lanjut dia, usia Siti Fadilah Supari sudah di atas 70 tahun.
“Penyakitnya asma, outoimmune dan berbagai penyakit lainnya, dikurung di dalam penjara dan tidak bisa diakses. Mengembalikan ke Pondok Bambu itu tindakan sengaja. Kalau terjadi sesuatu siapa yang tanggung jawab?” ujarnya.
Akun Youtube tentang pertemuan Deddy Corbuzier dengan Siti Fadilah Supari yang telah mencapai 3 juta lebih pemirsa juga disoroti oleh Arief Poyuono. Arief menilai tidak ada yang salah dengan silahturahmi tersebut.
“Isinya sesuai dengan garis pemerintahan Jokowi dan pelajaran tentang bagaimana menghadapi wabah Flu Burung yang bisa digunakan saat ini. Seharusnya pemerintah memetik pelajaran dari pengalaman Siti Fadilah untuk mengatasi Corona saat ini,” katanya.
Sementara itu, pernyataan pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham yang menyatakan, wawancara Deddy Corbuzier dengan Siti Fadilah Supari itu tanpa seizin pihaknya, dikritik Arief. Arief menilai pihak Ditjen PAS terlalu mengada-ada dan justru mencoreng Pemerintahan Jokowi yang sedang sibuk menghadapi Corona.
“Jangan lebay lah. Bikin malu aja. Sebelumnya juga sudah berkali-kali wawancara dilakukan wartawan saat Siti Fadilah di dalam penjara. Semua media massa memuat pernyataan bu Siti yang isinya bagaimana mengatasi Corona, tegasnya.
Arief justru membela Deddy Corbuzier. “Sudah jelas itu hak privat Deddy mengupload dokumentasi tersebut, yang justru menjadi hak publik untuk tahu. Ingat ini bukan jaman Orde Baru lagi, yang semua hak publik bisa didapat kalau ada izin,” paparnya.
Arief pun menyarankan Kemenkumham melakukan evaluasi dan mengurus semua tahanan yang positif Corona dan berbahaya bagi tahanan yang lain.
“Melepaskan penjahat kriminal beberapa waktu lalu sudah salah karena justru membahayakan masyarakat. Sekarang dengan memasukan orang berisiko seperti Siti Fadilah kembali ke penjara Pondok Bambu yang sudah daerah merah Corona tambah salah lagi,” jelasnya.(*/Ad)
JAKARTA – Ditkrimum Polda Metro Jaya menetapkan dua pimpinan PT SV yakni, BST dan AD sebagai tersangka dugaan memalsukan akta autentik tanah.
“Kami sudah menyelesaikan kasusnya. Itu laporan tahun 2018. Dengan laporan polisi nomor: LP/5471/X/2018/PMJ/Ditreskrim, tanggal 10 Oktober 2018. Sudah selesai.
Dan terlapor juga sudah dijadikan tersangka,” ungkap Kepala Subdirektorat Harda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP M Gofur saat dikonfirmasi wartawan, belum lama ini.
Setelah penetapan ini, penyidik bakal memanggil keduanya untuk diperiksa kembali. Selain itu, dia juga berencana meminta Interpol menerbitkan red notice pada BST lantaran yang bersangkutan tercatat kini tengah berada di Australia.”Jika mangkir atas pemanggilan, polisi akan melakukan penjemputan paksa.
Tersangka BST yang saat ini menetap di Australia telah dipanggil secara patut namun tidak hadir.
Hal ini akan dilanjutkan dengan pemanggilan kedua dan atau mungkin jika masih mangkir akan dilakukan penjemputan dan dibuatkan red notice dengan Interpol,” kata dia.
Sementara itu, pelapor dalam hal ini Abdul Halim optimistis polisi akan mengusut tuntas kasus ini. Belum lagi polisi telah menetapkan keduanya sebagai tersangka. Untuk diketahui, kasus ini berawal dari persoalan sengketa tanah seluas 52.649 meter persegi di Kampung Baru RT09/08, Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung Kota, Jakarta Timur antara Abdul dan BST.
Ketika hendak melakukan proses penerbitan sertifikat tanah di kantor Dinas Pertahanan Jakarta Timur, pihak Dinas Pertahanan menyatakan bahwa telah terbit 38 SHGB atas nama PT SV yang merupakan perusahaan dari BST.
Alhasil, Abdul menempuh jalur hukum guna membongkar upaya pemalsuan tanah yang diduga dilakukan oleh BST yang dibantu oleh AD.”Saya yakin polisi sangat profesional menangani kasus seperti ini sesuai dengan moto Promoter dan akan memberantas mafia-mafia tanah,” kata Abdul.(*/Ad)
JAKARTA – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menyebut langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus dugaan pemberian uang Tunjangan Hari Raya (THR) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemenkdikbud) ke Kepolisian sudah tepat. “Pelimpahan kasus ke polisi sudah benar menurut Pasal 6 UU KPK, yaitu koordinasi dan supervisi (korsup),” ucap Romli melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, (24/5).
Menurut dia, KPK memberikan pendampingan terkait kasus itu atas permintaan Inspektorat Jenderal Kemendikbud sesuai dengan UU KPK Tahun 2019 tentang tugas KPK. “Karena Itjen tidak memiliki wewenang pro justitia maka didampingi KPK. Temuan uang di bawah Rp1 miliar dan pejabat Kemendikbud tidak termasuk penyelenggara negara sesuai UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN,” ungkap Romli.
Karena itu, kata dia, sudah benar jika kasus tersebut dilimpahkan ke Kepolisian sesuai UU KPK. “KPK hanya melakukan koordinasi dan supervisi karena atas permintaan pendampingan itjen sampai penangkapan sudah sesuai UU KPK. Justru strategi ini menunjukkan bahwa Itjen Kemendikbud telah melaksanakan perintah UU Tipikor dn Inpres tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dengan baik,” ujar dia.
Ia pun mengharapkan kementerian/lembaga lainnya dapat meniru langkah yang dilakukan Itjen Kemendikbud tersebut. “Diharapkan itjen-itjen di kementerian/lembaga melakukan hal yang sama. Penilaian bahwa KPK hanya berani tangani kasus-kasus kecil keliru jika hanya dilihat dari kasus ini,” kata dia.
Diketahui, OTT tersebut dilakukan setelah KPK diminta bantuan oleh Itjen Kemendikbud karena ada dugaan pemberian sejumlah uang Tunjangan Hari Raya (THR).
Diduga, pemberian uang atas perintah Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin.
Tim KPK bersama dengan tim Itjen Kemendikbud menindaklanjuti informasi tersebut dan kemudian diamankan Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor beserta barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp27,5 juta. Komarudin pada 13 Mei 2020 diduga telah meminta kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Achmad Noor.
THR tersebut rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud. Pada 19 Mei 2020 terkumpul uang sebesar Rp55 juta dari delapan fakultas, dua lembaga penelitian, dan pascasarjana.
Kemudian pada 20 Mei 2020, Dwi Achmad Noor membawa uang Rp37 juta ke kantor Kemendikbud selanjutnya diserahkan kepada Karo SDM Kemendikbud sebesar Rp5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp2,5 juta serta Parjono dan Tuti (staf SDM Kemendikbud) masing-masing Rp1 juta.
Setelah itu, Dwi Achmad Noor diamankan tim KPK dan Itjen Kemendikbud. Selanjutnya, KPK melakukan serangkaian permintaan keterangan antara lain terhadap Komarudin, Dwi Achmad Noor, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Sofia Hartati, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud Tatik Supartiah, Karo SDM Kemendikbud Diah Ismayanti, staf SDM Kemendikbud Dinar Suliya, dan Staf SDM Kemendikbud Parjono.
Setelah dilakukan permintaan keterangan, belum ditemukan unsur pelaku penyelenggara negara sehingga selanjutnya dengan mengingat kewenangan, tugas pokok dan fungsi KPK maka KPK melalui unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan menyerahkan kasus tersebut kepada Kepolisian RI untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum.(*/Ridz)
JAKARTA – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi khusus alias RK kepada 105.325 narapidana Muslim dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah.
Sebanyak 365 di antaranya langsung bebas.
“Pemberian remisi bukan hanya implementasi pemberian hak yang diberikan negara, tetapi lebih jauh merupakan apresiasi yang diberikan negara terhadap warga binaan yang telah berhasil menunjukkan perubahan perilaku dan meningkatkan kualitas di selama berada di lapas/rutan,” kata Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga dalam keterangan resminya , Minggu (24/5/2020).
Reynhard merincikan bahwa 104.960 napi mendapatkan RK I berupa pengurangan masa hukuman. Sementara 365 mendapatkan RK II atau langsung bebas.
Pemberian remisi ini juga menghemat anggaran makan narapidana lebih dari Rp53 miliar dari rata-rata anggaran biaya makan sebesar Rp 17 ribu per-hari setiap orang.
Reynhard berharap, pemberian remisi kali ini dapat menjadi motivasi narapidana untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung jawab yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
“Jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama ketika kembali ke tengah masyarakat. Jadilah pribadi yang berbudi luhur dan taat hukum,” terangnya.
Penerima remisi terbanyak berasal dari wilayah Sumatera Utara sebanyak 13.077 orang, disusul Jawa Barat sebanyak 11.582 orang dan Jawa Timur sebanyak 11.530 orang.(*/Ag)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan kepada aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara untuk tidak mengajukan permintaan dana, sumbangan, dan/atau hadiah sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) atau dengan sebutan lain.
Karena perbuatan tersebut juga termasuk gratifikasi yang dilarang dan memiliki risiko sanksi pidana.
“Sebaiknya pejabat publik dapat menolak pemberian gratifikasi pada kesempatan pertama. Dengan demikian, tidak perlu melaporkannya kepada KPK,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati, Jumat (22/5).
Namun, bila karena kondisi tertentu tidak dapat menolak, maka penerimaan gratifikasi tersebut wajib dilaporkan paling lambat 30 hari kerja kepada KPK. Hingga Jumat (22/5) KPK menerima informasi sekurangnya ada 8 pemerintah provinsi, 107 pemerintah kabupaten/kota, 6 BUMN/D, dan 2 lembaga yang telah memberikan penegasan untuk tidak menerima atau memberikan gratifikasi dalam bentuk apapun menjelang hari raya Idul Fitri
Diketahui, 123 instansi yang telah menerbitkan surat edaran terbuka, baik yang ditujukan kepada internal pegawai di lingkungan kerjanya untuk tidak menerima gratifikasi maupun kepada para pemangku kepentingan lainnya agar tidak memberikan gratifikasi kepada para pegawai negeri/penyelenggara negara di lingkungannya terkait hari raya. Imbauan tersebut diterbitkan oleh masing-masing instansi sebagai tindak lanjut atas Surat Edaran KPK No. 14 Tahun 2020, tanggal 13 Mei 2020 tentang Pengendalian Gratifikasi Terkait Momen Hari Raya.
Melalui SE tersebut KPK merekomendasikan dua hal kepada pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan BUMN/D, yaitu terkait larangan penggunaan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi, dan memberikan imbauan kepada internal pegawai untuk tidak menerima gratifikasi serta surat edaran terbuka kepada para pemangku kepentingan agar tidak memberikan gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara di lingkungan kerjanya. Selain itu, imbauan kepada pimpinan asosiasi/perusahaan/korporasi agar menginstruksikan kepada jajarannya untuk tidak memberikan gratifikasi, uang pelicin, atau suap dalam bentuk apapun kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.(*/Ad)
JAKARTA – Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus melarang masyarakat khususnya warga DKI Jakarta untuk melaksanakan kegiatan takbiran keliling pada malam lebaran tahun ini.
Terlebih saat ini pemerintah masih memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai virus corona.
“Jangankan takbiran, Salat Id aja ditiadakan di rumah aja, (Salat Id) itu bukan lagi kultur,” kata Yusri saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (22/5/2020).
Yusri mengklaim, saat ini polisi telah turun ke masyarakat memberikan imbauan agar tidak melaksanakan kegiatan malam takbiran.
“Semua Babinsa di wilayah semua sudah turun sampaikan ke desa desa (tidak boleh takbiran) dan sampai sekarang tidak ada yang mengajukan (menyelenggarakan takbiran),” tuturnya.
Yusri menegaskan, pihaknya tidak akan sungkan untuk menghentikan kegiatan malam takbiran jika tetap ditemukan di lapangan. Namun ia menekankan penghentian itu dilakukan secara persuasif.
“Kalau mereka tetap mau melaksanakan itu kan kita punya tiga pilar ini, Babinsa, Bhabinkamtibmas, nanti akan datang kesana, secara persuasi humas akan sampaikan sebaiknya jangan,” tandasnya.
Polda Metro sendiri memastikan akan melaksanakan patroli keliling pada saat malam takbiran tersebut. Hal itu dilakukan untuk memastikan situasi aman terkendali.
“Iya kita akan tetap patroli, PSBB kan tetep patroli juga, tim satgas juga patroli, operasi ketupat juga patroli juga sama itu (patroli),” tegasnya.(*/Tub)
JAKARTA – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) mengusut dugaan suap yang mengalir ke Korps Adhyaksa dalam penyidikan kasus dana hibah Kemenpora-KONI 2017. Perintah tersebut, Burhanuddin tegaskan menyusul ungkapan salah satu terdakwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Miftahul Ulum, baru-baru ini.
“Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) untuk mengusut tuntas dan meminta keterangan kepada pihak-pihak terkait. Termasuk keterangan dari saudara terdakwa (KPK) Miftahul Ulum,” kata Burhanuddin, Rabu (20/5).
Burhanuddin juga menegaskan, agar Dirpidsus Kejakgung melanjutkan penyidikan dugaan korupsi dalam penerimaan dana bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tersebut.
“Kepada tim jaksa penyidik yang menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi dana KONI, agar mengungkap kebenaran isu yang dilontarkan saudara Miftahul Ulum,” sambung dia.
Burhanuddin pun menegaskan pernyataan tak bakal melindungi, apalagi menutup-nutupi kasus yang menyeret jajarannya jika terbukti menerima suap penghentian perkara. “Jangan terbesit sedikitpun untuk main-main menangani perkara. Karena jika terbukti melakukan penyelewengan, Kejaksaan Agung tidak akan segan menindak tegas siapapun dan dari manapun orang itu,” ucap Burhanuddin.
Dalam persidangan terdakwa korupsi dana hibah KONI Imam Nahrawi, di PN Jakarta Pusat pekan lalu, saksi Miftahul Ulum mengungkapkan tentang adanya dana suap ke Kejakagung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Miftahul, bekas asisten pribadi Imam Nahrawi saat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) mengungkapkan, uang suap senilai Rp 7 miliar diberikan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman. Uang suap sebesar Rp 3 miliar juga diberikan kepada auditor BPK Achsanul Qosasi.
Uang haram tersebut, Miftahul Ulum terangkan, sebagai dana tutup mulut. Uang suap kepada Adi Toegarisman diberikan agar kejaksaan menghentikan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi dalam penyaluran dana hibah Kemenpora-KONI 2017. Sedangkan uang suap yang diberikan kepada Achsanul Qosasi, kata Miftahul Ulum sebagai kompensasi pengawalan audit tahunan BPK di Kemenpora.
Adi Toegarisman sudah pensiun sejak Februari 2020. Achsanul Qosasi masih menjabat sebagai salah satu komisioner di lembaga auditor negara. Keduanya, sama-sama membantah ungkapan Miftahul Ulum. Keduanya, pun sama-sama mengaku tak kenal Miftahul Ulum. Sedangkan Kejakgung, sebagai institusi negara membantah tuduhan Miftahul Ulum dengan memastikan tak ada penghentian penyidikan dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan Kemenpora-KONI.
Meskipun begitu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengakui, terjadi penanganan perkara yang mangkrak terkait kasus tersebut. Itu terbukti selama setahun penyelidikan dan penyidikan, Kejakgung tak satupun berhasil menetapkan tersangka terkait dugaan korupsi dana hibah tersebut.
Hari menjelaskan, pengungkapan perkara dugaan korupsi dana hibah KONI 2017 sudah dimulai Mei 2019 lewat Sprindik 220/F.2/Fd.1/05/2019.
Selama penyidikan ketika itu, Dirpidsus menunggu penghitungan kerugian negara (PKN) dari BPK. Pada April 2020, Dirpidsus menerbitkan Sprindik baru 220/F.2/Fd.1/04/2020 tentang perkara yang sama. Pada Mei 2020, BPK, kata Hari, baru mengeluarkan verifikasi penghitungan kerugian negara, dan meminta Kejakgung melakukan pemeriksaan ulang terhadap sejumlah saksi-saksi terkait dana hibah KONI 2017.
Pemeriksaan ulang, Kejakgung penuhi dengan kembali memanggil sejumlah saksi-saksi. Pada Selasa (19/5) Kejakgung kembali memeriksa dua pejabat. Yakni Chandra Bhakti, dan Washinton Sigalingging dari Kedeputian Prestasi Olahraga di Kemenpora. Kejakgung pada hari yang sama, juga memeriksa Miftahul Ulum di Rutan Salemba cabang KPK. Pada Rabu (20/5), pemeriksaan kembali dilakukan dua pejabat keuangan Kemenpora, Donny Armayn, dan Supriono.
“Adanya pemeriksaan saksi-saksi tersebut, menegaskan bahwa proses penyidikan perkara dana hibah KONI 2017, masih berjalan di Kejaksaan Agung,” terang Hari.
Pemeriksaan saksi-saksi tersebut, pun Hari meyakinkan sebagai bantahan terhadap Miftahul Ulum yang menyatakan adanya suap ke Kejakgung dan BPK, untuk penghentian perkara dana hibah Kemenpora-KONI tersebut.
Sementara Kejakgung melanjutkan penyidikannya, proses hukum atas dugaan serupa sudah KPK lakukan sejak 2019. Dalam kasus yang sama, KPK menetapkan banyak tersangka. Termasuk Miftahul Ulum, dan Imam Nahrawi. Keduanya dituduh terlibat dalam korupsi dana hibah, berupa suap dan gratifikasi senilai Rp 26 miliar. Sebagian yang terlibat dalam kasus tersebut sudah dijebloskan ke penjara. Sedangkan Miftahul Ulum dan Imam Nahrawi, kasusnya masih bergulir di PN Tipikor Jakarta.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro