PADANG – Pria berinisial TD (41) ditangkap Tim Gagak Hitam Polres Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sebab ia diduga telah melakukan tindakan asusila kepada anak kandungnya yang masih berusia 16 tahun .
Korban diketahui telah hamil enam bulan.
“Dalam pengakuan tersangka ini dia salah kamar ketika mau tidur dan dia mengaku khilaf,” ujar Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman Iput Abdul Kadir Jailani, Senin (15/6/2020)
Pelaku pertama kali menyetubuhi anaknya pada November 2019 atau sekitar delapan bulan lalu. Pada 27 Mei lalu pelaku ini sempat kabur ke Pekanbaru.
“Tiba-tiba pada Jumat sore lalu, tersangka terlacak berada di Sicincin. Tim Gagak Hitam langsung turun dan menangkapnya. Saat itu tersangka hendak kabur ke Payakumbuh,” kata Abdul.
Sementara Kapolres Padang Pariaman AKBP Dian Nugraha menjelaskan sekarang tersangka yang diduga telah menghamili anak kandungnya itu sudah diamankan di Mapolres. Kepada penyidik, kata dia, pelaku telah mengakui perbuatan.
“Sejak November 2019 lalu tersangka, dia telah menyetubuhi anak kandungnya sebanyak lima kali. Atas perbuatannya, kini korban hamil enam bulan,” ucap Kapolres.
Pelaku yang tega menghamili anaknya tersebut kini terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. “Hukumannya 15 tahun ditambahkan sepertiga karena menyetubuhi anak kandungnya sendiri,”tandasnya.(*/Wid)
JAKARTA – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meminta, kepada aparat penegak hukum untuk ‘menggigit’ oknum pejabat yang nekat korupsi di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, pihak-pihak yang mencoba menyelewengkan anggaran penanganan virus corona sebesar Rp677,2 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Kapolri Jenderal Idham Azis menegaskan, siap menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk menindak tegas siapapun pihak yang berani menyelewengkan dana yang digelontorkan pemerintah untuk membantu perekonomian warga di tengah pandemi Covid-19.
“Ya, dalam situasi kondisi pandemi seperti ini apabila ada yang menyalahgunakan maka Polri tidak pernah ragu untuk ‘sikat’ dan memproses pidana,” kata Idham dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (15/6/2020).
Bahkan, Idham mengungkapkan, bahwa Korps Bhayangkara telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) di bawah komando Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo.
Tim tersebut, Kata Idham, tidak akan segan-segan menindak siapapun oknum yang menyalahgunakan dana dikhususkan bagi rakyat itu.
“Polri sudah membentuk satgas khusus di bawah kendali Kabareskrim,” ujar Idham.
Eks Kapolda Metro Jaya itu mengingatkan semua pihak, jangan sampai menyalahgunakan kelonggaran aturan dana Covid dengan tujuan memperkaya diri.
“Presiden sudah mempermudah proses pencairan dana Covid. Awas, siapa saja yang ingin bermain curang, akan saya sikat. Hukumannya sangat berat,” tandasnya.(*/Joh)
SURABAYA – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengingatkan agar pejabat baik itu pusat maupun daerah, tidak main-main dalam penggunaan anggaran bencana, terutama saat pandemi Covid-19.
Jika ada pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan anggaran bencana, maka bisa dihukum mati.
“Saya ingatkan, menurut UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), diancam dengan paling tinggi seumur hidup atau 20 tahun penjara. Namun, dalam keadaan bencana seperti saat Covid-19 ini, maka ancaman hukuman mati ini diberlakukan berdasarkan UU yang berlaku,” kata Mahfud saat video conference (vicon) Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2020 dalam Rangka Pengawasan Percepatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (15/6/2020).
Saat ini, lanjutnya, penggunaan anggaran bencana pada wabah Covid-19 sudah diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Penanganan Pandemi Covid-19.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menekankan, tiga hal yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo terkait pengawasan anggaran selama kondisi darurat bencana. Pertama, tidak boleh mencari-cari kesalahan. Kedua, dalam proses pengawasan anggaran agar tidak sampai tumpang tindih.
Jika sudah diawasi oleh BPKP, maka tidak perlu kepolisian atau kejaksaan ikut memeriksa. Begitu pun sebaliknya.
“Ketiga, jangan sampai pengawasan penggunaan anggaran bencana ini menjadi industri hukum. Yang salah jadi benar atau yang benar jadi salah. Ini agar benar-benar dicamkan untuk semua aparat penegak hukum,”tandasnya.(*/Gio)
JAKARTA – Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) mengungkapkan sejumlah kejanggalan terkait tuntutan hukum pelaku penyiraman terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
Tuntutan ringan terhadap terdakwa dinilai dapat berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.
Peneliti Pukat UGM Agung Nugroho mengatakan, kejanggalan pertama adalah pernyataan jaksa yang mengatakan, bahwa tidak ada niat pelaku untuk melukai Novel. Kedua personel polisi aktif itu mengaku hanya ingin menyiram air keras ke badan Novel tetapi malah mengenai wajah.
“Pernyataan JPU yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru,” kata Agung Nugroho saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu(14/6/2020).
Agung menjelaskan, ada tiga unsur melakukan kejahatan berencana. Di antaranya memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.
“Terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas, terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman,” katanya.
Kejanggalan kedua berkenaan dengan pasal yang dikenakan terhadap para pelaku. Agung mengatakan, pasal yang dikenakan terhadap kedua terdakwa adalah 353 ayat (2) KUHP.
Dia mengatakan, padahal tindak pidana yang dilakukan kedua pelaku tergolong penganiayaan berat. Menurutnya, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.
Kejanggalan lainnya adalah JPU justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa. Agung mengatakan, jaksa seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan. Tegasnya, bukan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.
Dia mengungkapkan, terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Lanjutnya, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras, rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh tim pencari fakta maupun Komnas HAM.
Kejanggalan keempat berkaitan dengan tuntutan yang tidak logis hingga mencederai keadilan. Agung mengatakan, jaksa sebenarnya memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair.
“Namun alih-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara,” katanya.
Kejanggalan terakhir adalah tidak diungkapnya aktor intelektual dan motif kasus tersebut. Agung menjelaskan, alasan tindakan menyiram Novel karena rasa tidak suka merupakan motif yang tidak kuat.
Dia menjelaskan, dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Lanjutnya, berdasarkan temuan tim pencari fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel.
“Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan,” katanya.
Agung mengatakan, harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada palu majelis hakim. Menurutnya, tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan di atas tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar bahwa tuntutan JPU yang hanya satu tahun sangat ironis. Dia mengatakan, tuntutan itu tidak menggambarkan nuansa keprihatinan terhadap penghinaan profesi penegak hukum.
Dia mengatakan, peristiwa serupa padahal tidak mustahil suatu saat menimpa seorang JPU. Lanjuntya, putusan itu juga tidak memperlihatkan perlawanan terhadap tindakan yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Dia menilai, secara motif (mens rea) merupakan keanehan yang sangat jelas terhadap orang yang tidak pernah berhubungan dan tidak punya perselisihan apa pun melakukan penyiraman air keras. Menurunya, kemungkinan yang paling logis adalah para terdakwa merupakan orang suruhan.
“Sehingga harus dicari atau dilacak siapa dalang atau siapa aktor intelektual dari perbuatan pidana ini,”tegasnya.(*/Joh)
JAKARTA – Tim Pencari Fakta (TPF) Mabes Polri penyerangan dengan air keras terhadap Novel Baswedan, mengakui, persidangan terhadap dua terdakwa Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette belum mengakomidir hasil investigasi dan penyelidikan TPF. Mantan anggota tim pakar TPF Polri, Hendardi mengatakan, persidangan terhadap dua terdakwa selama ini, tak mengambil dugaan motif penyerangan dari hasil investigasi tim pencari fakta sebagai dasar penyidikan untuk diproses di pengadilan.
“Rekomendasi yang kami (TPF) sampaikan itu kan disetop. Lalu belakangan ada muncul pengakuan dari anggota Brimob (terdakwa Ronny dan Rahmad) yang saat ini dalam proses persidangan, itu persoalan lain,” kata Hendardi saat dihubungi ,dikutip dari republika, Sabtu (13/6).
Hendardi menyampaikan, rekomendasi TPF, dapat menjadi bahan penyidikan lanjutan terkait kasus yang sama, jika persidangan terhadap Ronny dan Rahmad, dianggap tak sesuai dengan keadilan korban, maupun masyarakat.
“Kalau soal (tuntutan) ringan atau beratnya hukuman (terhadap Ronny dan Rahmad) itu kita serahkan kepada hakim nantinya. Tetapi, inilah (pengadilan) seharusnya yang menjadi satu-satunya panggung untuk membuktikan adanya motif lain dari penyerangan terhadap Novel itu,” terang Hendardi.
Ia menolak tudingan banyak pihak, yang menilai persidangan terhadap Ronny dan Rahmad selama ini, cuma sandiwara. Karena, menurut dia, jika ada pembuktian lain, seharusnya disorongkan dalam persidangan.
Akan tetapi, ia memastikan, ada setumpuk hasil investigasi yang direkomendasikan TPF kepada Tim Teknis Kepolisian untuk mengungkap tuntas pelaku, aktor, dan motif utama penyerangan tersebut. Namun penyidikan untuk melanjutkan rekomendasi itu, terhenti di Tim Teknis.
“Dan itu (rekomendasi) kan sudah kita (TPF) sampaikan. Tetapi sepertinya memang belum (dijalankan). Karena ditengah jalan, itu ada orang yang mengaku sebagai pelaku (Ronny dan Rahmad). Dan itu, harus dibuktikan secara hukum, benar atau tidaknya mereka yang melakukan (penyerangan),” kata Hendardi.
Hendardi mengulas ulang tentang TPF bentukan Kapolri 2019 Jenderal Tito Karnavian. TPF bekerja melakukan investigasi sejak Januari 2019 terkait peristiwa penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan yang terjadi pada 2017. TPF menyampaikan laporan resmi hasil penyelidikannya Juli 2019. Dalam laporannya, TPF menguatkan dugaan motif penyerangan, terkait dengan penanganan kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan Novel Baswedan sebagai penyidik di KPK.
TPF menyebutkan, ada lima kasus. Yakni megakorupsi E-KTP, skandal suap dan gratifikasi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, serta perkara korupsi yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, juga penanganan korupsi Bupati Buol, Amran Batalipu, dan korupsi Wisma Atlet. Satu kasus umum yang menurut TPF kuat menjadi motif serangan terhadap Novel Baswedan, yakni terkait dengan penyidikan pencurian sarang burung walet di Bengkulu, saat Novel Baswedan berdinas di kepolisian 15 tahun lalu.
TPF, dalam rekomendasinya, meminta Mabes Polri membentuk Tim Teknis, sebagai grup penyidik khusus kepolisian untuk menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai jalan alternatif pengungkapan serangan terhadap Novel Baswedan. Tim Teknis yang beranggotakan lebih dari 120 penyidik, mulai terbentuk Oktober 2019. Hendardi melanjutkan, rekomendasi TPF kepada Tim Teknis, juga meminta agar penyidikan memanfaatkan teknologi mutakhir dari negara lain, untuk memperjelas rekaman cctv yang diambil dari lokasi penyerangan Novel Baswedan.
Penghujung Desember 2019, Polda Metro Jaya mengumumkan telah menangkap dua pelaku penyerang Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette. Kepolisian mengakui keduanya itu, sebagai anggota Polri aktif dari satuan Brimob. Kabareskrim Mabes Polri Komjen Sulistyo pernah mengungkapkan, Ronny dan Rahmad ditangkap setelah keduanya mengaku sebagai penyerang Novel Baswedan.
Ronny dan Rahmad, pun mengaku, perbuatan itu inisiatif pribadi lantaran dendam, dan sakit hati terhadap Novel Baswedan. Pengakuan dua anggota kepolisian tersebut, tak ada dalam rekomendasi hasil investigasi yang TPF kerjakan. Itu mengapa, Hendardi mengatakan pengakuan dendam, dan inisiatif pribadi dari Ronny dan Rahmad tersebut, perlu dibuktikan di pengadilan.
“Kalau dia (Ronny dan Rahmad) katanya bohong, sandiwara, inilah (pengadilan) satu-satunya jalan untuk mengungkap yang sebenarnya. Hasil kerja yang kami (TPF) lakukan, dan rekomendasi yang kami sampaikan masih ada di Tim Teknis,” kata Hendardi.
Rekomendasi tersebut, menurut Hendardi, bisa menjadi alternatif pengungkapan utuh penyerangan air keras yang membuat Novel Baswedan mengalami kebutaan permanen pada mata sebelah kirinya.(*/Tya)
JAKARTA – Ketua KPK Firli Bahuri angkat bicara terkait tuntutan rendah terhadap dua pelaku penyerang terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Komjen Firli berharap majelis hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam kasus tersebut.
“Prinsipnya adalah kita sebagai negara hukum kita akan ikuti proses hukum. Nanti kita harapkan hakim memberikan keputusan seadil-adilnya,” kata Bahuri, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/6).
Sebelumnya, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette,selaku dua orang terdakwa penyerang Baswedan dituntut satu tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat. Baswedan disiram air keras pada dini hari di depan rumahnya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mata kiri Novel Baswedan rusak permanen terpapar air keras.
Jaksa penutut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Ahmad Fatoni,di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6), melancarkan tuntutan berdasarkan dakwaan pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menilai, tuntutan rendah terhadap dua terdakwa penyerang Novel Baswedan dikhawatirkan berimplikasi buruk di masa mendatang. Hal itu, bisa membuat jalannya kerja pemberantasan korupsi terganggu.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap menyebut ketiga implikasi itu, pertama, berdampak pada tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi “Tuntutan rendah ini akan membuat para peneror yang mempunyai maksud untuk mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau bahkan mengulangi perbuatan teror terhadap pegawai bahkan pimpinan KPK,” ucap Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap melalui keterangannya di Jakarta, Jumat (13/6).
Penyerangan terhadap Novel Baswedan, lanjutnya, bukan merupakan penyerangan terhadap individu tetapi serangan terhadap penyidik KPK yang diberikan amanah oleh negara dalam menjalankan fungsinya secara independen. “Untuk itu, segala serangan tersebut harus dilihat dalam konteks serangan terhadap kerja pemberantasan korupsi sehingga harus ditangani secara serius,” ujarnya.
Bahkan, katanya, dalam laporan yang dibuat oleh Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan yang dibentuk Komnas HAM, secara tegas disebutkan bahwa serangan tersebut tidak terlepas dari pekerjaan yang dilakukan oleh Novel Baswedan. Kedua, ia menilai tuntutan rendah itu berdampak pada tidak terpenuhinya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengabaian hasil temuan institusi resmi negara.
Proses penyerangan terhadap Novel Baswedan memiliki dimensi perlindungan HAM dengan adanya penetapan Novel Baswedan sebagai human right defender oleh Komnas HAM dalam laporannya. “Terlebih, pada proses penegakan hukum, laporan Komnas HAM tidak ditampilkan secara utuh dalam proses pembuktian persidangan,” kata Yudi.
Ketiga, ia juga mengatakan tuntutan rendah tersebut juga berdampak pada tidak dimintakan pertanggungjawaban pelaku intelektual penyerang Novel Baswedan. Laporan Komnas HAM, kata dia, secara tegas menyinggung mengenai serangan yang dilakukan terhadap Novel Baswedan merupakan tindakan yang direncanakan dan sistematis yang melibatkan bebrapa pihak yang belum terungkap.
“Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan. Persidangan yang tidak membuka arah serangan sistematis dan rendahnya hukuman berpotensi membuat pelaku intelektual tidak dimintakan pertanggungjawaban,” kata Yudi.(*/Ag)
BANDUNG – PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menghormati proses hukum terkait kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kasus itu, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PTDI periode 2007-2017 Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama Bidang Bisnis Pemerintah PTDI Irzal Rinaldi Zailani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (12/6).
“PTDI dalam hal ini menghormati dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” kata Sekretaris Perusahaan PTDIIrlan Budiman dalam siaran persnya, Sabtu (13/6).
PTDI percaya bahwa KPK akan menjalankan tanggung jawab dan kewenangannya terkait proses penyidikan sesuai aturan hukum yang berlaku. Selain itu,PTDI juga akan bersikap kooperatif terhadap seluruh proses penyidikan yang sedang berjalan guna penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (12/6), resmi mengumumkan dua tersangka tindak pidana korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia (PTDI) periode 2007-2017.
Dua tersangka itu, yakni mantan Direktur Utama PTDI Budi Santoso (BS) dan mantan Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PTDI Irzal Rinaldi Zailani (IRZ).
“Kami akan menyampaikan tentang hasil penyidikan yang dilakukan oleh KPK terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam suatu kegiatan penjualan dan pemasaran yang terjadi di PTDI periode 2007-2017. Pengadaan dan pemasaran ini dilakukan secara fiktif,” ucap Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/6).
Pada awal 2008, lanjut Firli, tersangka Budi dan tersangka Irzal bersama-sama dengan para pihak lain melakukan kegiatan pemasaran penjualan di bidang bisnis di PTDI.(*/Hend)
JAKARTA – Kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan telah masuk tahap pembacaan tuntutan. Pada sidang Kamis 11 Juni 2020 kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut kedua terdakwa penyerang Novel,
Jaksa menyebut terdakwa tidak ada niat melukai dan tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel sehingga dakwaan primer dalam perkara ini tidak terbukti.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai alasan tidak ada niatan dan tidak sengaja yang dilontarkan oleh Jaksa itu tidak masuk diakal dan tidak dapat di terima. Bahkan, alasan hukum yang digunakan itu sangat memalukan.
“Alasan tidak sengaja ini menurut saya memalukan. Dalam hukum pidana tidak dikenal istilah tidak sengaja, adanya lalai. Pernyataan jaksa ini menurut saya udah bukan mencederai keadilan lagi, tapi udah menciderai akal sehat. Enggak bisa diterima,” ujar Sahroni kepada wartawan, Jumat (12/6/2020).
Selain itu, legislator asal Tanjung Priok ini menilai, alasan para terdakwa yang yang menyebut bahwa mereka tidak sengaja dan tidak ada niatan untuk melukai Novel Baswedan juga tidak masuk akal. Padahal, pelaku sebelumnya mengaku punya motif dendam kepada Novel.
“Enggak masuk akal ah. Mana ada orang bawa-bawa air keras terus dilempar ke orang dengan enggak sengaja? Ini enggak rasional. Lagian sudah jelas-jelas pelaku mengaku dendam, kok bisa ada kesimpulan jaksa enggak sengaja?” kata Sahroni.
Karena itu, Sahroni akan membawa pembahasan mengenai situasi ini ke dalam rapat kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Jaksa Agung dalam waktu terdekat. Dia akan menuntut penjelasan dari Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Tentu kasus ini akan saya angkat dan saya bahas di rapat kerja komisi III. Saya akan meminta penjelasan perihal kasus ini dengan Jaksa Agung pada rapat kerja yang akan datang,” ungkapnya.(*/Di)
JAKARTA – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nahrawi juga dituntut untuk membayar uang denda sebesar Rp500 subsidair enam bulan kurungan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsidair enam bulan kurungan,” kata jaksa KPK Ronald Worotikan saat membacakan surat tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2020).
Jaksa juga melayangkan tuntutan hukuman tambahan berupa kewajiban agar Nahrawi membayar uang pengganti sebesar Rp19.154.203.882 (19 miliar). Nahrawi diminta untuk membayar uang pengganti paling lambat satu bulan setelah putusannya berkekuatan hukum tetap alias inkrah.
“Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 3 tahun,” sambungnya.
Selain itu, jaksa juga menuntut agar majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta agar mencabut hak politik Imam selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok. “Menjatuhkan pidana tambahan berupa penjabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya,” kata jaksa.
Jaksa meyakini Nahrawi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi suap Rp 11.500.000.000 bersama-sama dengan mantan asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Uang tersebut disebut untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun anggaran 2018.
Jaksa juga meyakini Nahrawi terbukti bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp 8.648.435.682 bersama-sama Ulum. Ulum berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.
Perbuatan itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Pasal 12B ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
“Menuntut supaya menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan amar dengan putusan sebagai berikut menyatakan terdakwa Imam Nahrowi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua,” ucap jaksa Ronald.
Dalam menjatuhkan tuntutan, jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa Nahrawi dianggap telah menghambat perkembangan dan prestasi atlit Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang Olahraga.
“Terdakwa tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukannya; Terdakwa tidak menjadi teladan yang baik sebagai pejabat publik,” ujarnya.
“Hal-hal yang meringankan, Terdakwa bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan; Terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga,” sambungnya.
Dalam perkara ini, Nahrawi didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar bersama dengan Asisten pribadinya, Miftahul Ulum untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Imam Nahrawi.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018.
Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun Kegiatan 2018.
Selain itu, Nahrawi juga didakwa bersama-sama dengan Ulum menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Imam Nahrawi saat menjabat sebagai Menpora dalam rentang waktu 2014 hingga 2019. Imam disebut menerima sejumlah uang melalui Ulum.(*/Joh)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Dirgantara Indonesia (DI), Budi Santoso (BS) dan bekas Direktur Niaganya, Irzal Rinaldi Zailani sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia tahun anggaran 2007-2017.
“Selama proses penyelidikan telah ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup terkait proyek tersebut,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri saat menggelar konpers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (12/6/2020).
Kasus ini berawal pada 2008. Dimana, tersangka Budi Santoso dan Irzal Rinaldi diduga bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, serta Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan melakukan rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
“Termasuk biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan,” ujar Firli.
Selanjutnya, tersangka Budi mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerjasama denga mitra atau keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Namun sebelum dilaksanakan, tersangka Budi meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN.
Setelah beberapa kali dilakukan pertemuan, disepakati kelanjutan program kerjasama denga mitra atau keagenan. Kerjasama itu berupa proses pemasaran dilakukan dengan cara penunjukan langsung, penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP), serta pembiayaan kerjasama tersebut dititipkan dalam ‘sandi-sandi anggaran’ pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Selanjutnya, tersangka Budi memerintahkan kepada tersangka Irzal dan Arie Wibowo untuk menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerjasama dengan mitra atau keagenan. Atas perintah itu, Irzal menghubungi seseorang, Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra atau agen.
Pada bulan Juni 2008 sampai 2018, dibuat kontrak kemitraan atau agen antara PT Dirgantara Indonesia dengan sejumlah pimpinan perusahaan. Perusahaan itu antara lain PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Atas kontrak kerjasama tersebut, seluruh mitra atau agen perusahaan tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama. Ternyata, PT Dirgantara Indonesia baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra atau agen, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan pada tahun 2011.
“Selama tahun 2011 sampai 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (persero) kepada 6 (enam) perusahaan mitra/agen tersebut sekitar Rp205,3 milyar dan USD8,65 juta,” ujarnya.
Setelah keenam perusahaan mitra atau agen tersebut menerima pembayaran dari PT Dirgantara Indonesia (persero), terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekira Rp96 miliar yang kemudian diterima oleh pejabat di PT Dirgantara Indonesia (persero) diantaranya tersangka Budi Santoso, tersangka Irzal, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh.
“Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia sekitar Rp205,3 milyar dan 8,65 juta dolar Amerika Serikat,” bebernya.
Atas perbuatannya, kedua tersangka disangkakan melanggar pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro