JAKARTA – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut), H Saleh Bangun, Senin (18/5/2020). Dia dipanggil untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi.
Sedianya, Saleh akan diperiksa terkait kasus dugaan suap yang menyeret belasan anggota DRPD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019. Penyidik akan menggali keterangannya untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka Robert Nainggolan (RN).
“Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka RN,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Senin (18/5/2020).
Tak hanya Saleh Bangun, penyidik juga memanggil tiga saksi lainnya yakni, mantan Bendahara Sekretariat DPRD Sumut, Muhammad Alinafiah; mantan Kepala Biro Keuangan Provinsi Sumut, Baharuddin Siagian; serta pensiunan Sekretaris DPRD Sumut, Randiman Tarigan. Ketiganya juga akan diperiksa untuk tersangka Robert Nainggolan.
Diketahui sebelumnya, KPK telah menetapkan 14 mantan anggota DPRD Sumut sebagai tersangka penerima suap. Para legislator Sumut itu diduga menerima suap terkait fungsi dan kewenangannya sebagai Anggota DPRD periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Ke-14 mantan anggota DPRD Sumut itu yakni, Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan, Nurhasanah, Megalia Agustina, Ida Budiningsih, Ahmad Hosein Hutagulung. Kemudian, Syamsul Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Mulyani, Layani Sinukaban, Japorman Saragih, Jamaluddin Hasibuan, serta Irwansyah Damanik.
Para anggota DPRD Sumut itu diduga menerima suap terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2012 hingga 2014. Kemudian, terkait persetujuan perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013 dan 2014.
Selanjutnya, terkait pengesahan angggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2014 dan 2015. Terakhir, terkait dengan penolakan penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015.
Para mantan anggota DPRD Sumut itu disinyalir menerima suap dari eks Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Hal itu diyakini KPK lantaran pihaknya telah menemukan bukti berdasarkan sejumlah keterangan saksi, dan beberapa barang bukti elektronik.
Gatot sendiri merupakan terpidana dalam kasus ini. Dia telah mendapat putusan inkrah di tahap pertama dengan hukuman 4 tahun pidana penjara, dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Atas perbuatannya ke-14 eks anggota DPRD itu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Junctl pasal 64 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(*/Ag)
JAKARTA – Polri menjadwalkan agenda pemeriksaan terhadap Hersubeno Arief dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang menyeret mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu. Kapasistas pemeriksaannya sebagai saksi.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengungkapkan bahwa, Hersubeno Arief akan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi, pada esok hari, Selasa 19 Mei 2020.
“HA (Hersubeno Arief) dijadwalkan untuk menghadiri pemeriksaan pada Selasa 19 Mei 2020,” kata Ahmad dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/5/2020).
Ahmad menjelaskan, dalam hal ini saksi akan diperiksa terkait dengan konten wawancaranya bersama dengan Said Didu. Pasalnya, Hersubeno disebut sebagai orang yang mewawancarai Said Didu.
“HA berperan sebagai pewawancara dan yang merekam wawancara bersama SD (Said Didu),” ujar Ahmad.
Said Didu menjalani pemeriksaan terkait laporan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Jumat 15 Mei 2020 lalu. Dia diperiksa hampir lebih 12 jam.
Perkara ini dimulai saat Said Didu diwawancarai di sebuah channel Youtube mengenai adanya rencana pemindahan Ibu Kota meskipun saat ini terjadi pandemi Covid-19.
Melihat itu, Luhut pun naik pitam dan meyatakan akan membawa pernyataan Said itu ke ranah hukum. Walaupun, Luhut telah meminta Said untuk melayangkan permintaan maaf dalam waktu 2X24 jam kala itu.
Tetapi, meskipun sudah ada penjelasan dari Said Didu, Luhut menilai pernyataan itu tidak ada subtansi permintaan maaf dari Said Didu. Alhasil, kuasa hukum Luhut melaporkan Said ke polisi.(*/Ad)
JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) membantah terlibat dalam kasus suap mantan Menpora Imam Nahrawi. Asisten Pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum mengungkap dalam persidangan bahwa mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman disuap Rp 7 miliar.
Dalam persidangan baru-baru ini, Ulum mengakui, menerima uang dari mantan Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Johnny E Awuy. Ulum juga mengungkap aliran uang ke pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Kapuspenkum Kejagung Hari Setiono menjelaskan, sejak adanya berita tentang suap di Kemenpora, Jam Pidsus telah memerintahkan tim penyelidik untuk mengumpulkan data dan keterangan dari pihak terkait. Namun, ternyata tim belum menemukan bukti adanya dugaan tindak pidana sehingga belum dapat ditingkatkan ke tahap berikutnya.
“Dan untuk diketahui bahwa penyidikan perkara dugaan tipikor dana hibah KONI tahun 2017 oleh penyidik pada Direktorat Penyidikan Jam Pidsus masih tetap berjalan dan dalam proses pengumpulan bukti,” kata Hari, Minggu(17/5).
Tercatat pada persidangan Jum’at 17 April 2020, saksi Endang Fuad Hamidy (Mantan Sekjen KONI) menerangkan ada arahan dari Ulum agar menyiapkan uang Rp 7 miliar. Ada informasi dari Ulum untuk menyiapkan uang penghibur bagi Kejagung.
Namun, menurut Hari, uang itu tidak jadi digunakan lantaran ada surat peringatan dari Inspektorat Kemenpora yang meminta KONI menyampaikan pertanggungjawaban atas pengeluaran pada dana hibah tahap pertama.
“Inspektorat belum menerima pertanggungjawaban dana Rp 7 miliar, Inspektorat mengancam jika tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaaannya, maka dana hibah berikut tidak akan dicaikan,” ujar Hari.
Pihak yang disebut Ulum, kata Hari, sudah mengatakan tidak terjadi penyerahan uang itu. Maka, keterangan Ulum tidak memiliki nilai pembuktian
“Dengan demikian keterangan Ulum sifatnya hanya dugaan saja tidak didukung bukti,” sebut Hari.
Sebelumnya, Ulum menjadi saksi untuk terdakwa Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dan gratifikasi Rp 8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI. Dalam dakwaan, Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp 10 miliar.
Tujuan pemberian suap itu agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp 51,592 miliar, sehingga cair Rp 30 miliar.
Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung. (*/Ad)
JAKARTA – Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi membantah menerima suap dari mantan Menpora Imam Nahrawi, seperti yang disampaikan oleh Miftahul Ulum, asisten pribadi Imam Nahrawi, di persidangan. Achsanul Qasasi menegaskan tidak kenal Miftahul Ulum.
“Saya tidak kenal Ulum dan tidak pernah bertemu dan tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan dia,” kata Qosasi dalam keterangannya pada Sabtu, (16/5/2020).
Sebelumnya, dalam persidangan, Miftahul Ulum mengaku menerima uang dari mantan Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Johnny E Awuy.
Ulum juga mengungkap aliran uang ke pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung).
Achsanul Qosasi selaku anggota BPK disebut Ulum menerima Rp3 miliar. Achsanul Qosasi mengklarifikasi tuduhan itu dengan menyebut tak kenal Ulum beserta nama-nama yang disebut di persidangan.
Achsanul Qosasi menjelaskan kasus Ulum ialah kasus dana Hibah KONI yang diperiksa BPK tahun 2016. Sedangkan, Achsanul Qosasi belum ditugasi memeriksa Kemenpora pada periode tersebut.
“Surat tugas pemeriksaan bukan dari saya. Saya memeriksa Kemenpora pada tahun 2018 untuk pemeriksaan laporan keuangan,” ujarnya.
Qosasi tak keberatan jika nantinya dikonfrontir dengan Ulum guna mengkonfirmasi tuduhan itu. Ia meminta Ulum menyampaikan kebenaran dan jangan melempar tuduhan tanpa dasar. “Saya mendukung proses hukum kasus KONI ini berjalan lancar dan fair, tanpa ada fitnah pada pihak lain, termasuk kepada saya sendiri,” tegas Qosasi.
Sebelumnya, Ulum menjadi saksi untuk terdakwa Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI. Dalam dakwaan, Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp10 miliar. Tujuan pemberian suap itu agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar, sehingga cair Rp30 miliar.
Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.(*/Tub)
JAKARTA – Pemeriksaan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri terhadap mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu belum juga usai, hingga Jumat (15/5) malam, pukul 20.30 malam.
Said Didu diperiksa atas laporan dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Dengan begitu, lebih dari sembilan jam Said Didu telah menjalani pemeriksaan.
Awalnya, Said Didu tiba di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat pukul 10.45 WIB. Lalu pukul 12.00 WIB, pemeriksaan dihentikan untuk istirahat.
Said memanfaatkan waktu istirahat untuk sholat di masjid Kompleks Mabes Polri. Tepat pukul 13.00 WIB, Said kembali masuk ke Gedung Bareskrim untuk melanjutkan pemeriksaannya sebagai saksi. Pukul 18.10 WIB, Said Didu keluar dari Gedung Bareskrim diikuti lebih dari lima kuasa hukumnya.
“Nanti, pemeriksaan belum selesai. Ini istirahat lagi, mau sholat ke masjid. Nanti setelah ini, lanjut pemeriksaan lagi,” kata Said Didu sambil berjalan ke arah masjid.
Pihaknya enggan menjawab saat ditanya wartawan soal materi pemeriksaan. “Ini masih awal, soal materi tanya saja sama kuasa hukum saya,” ujar Said.
Sebelumnya, Said Didu dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menkomaritim Luhut membawa Said Didu ke jalur hukum karena tidak terima dengan pernyataan Said Didu dalam sebuah wawancara melalui situs berbagi video, YouTube.
Luhut mengerahkan empat kuasa hukum yang akan memproses atau sebagai perwakilan dari Luhut di kasus dugaan pencemaran nama baik tersebut. Sementara dari pihak Said Didu menunjuk seorang kuasa hukum purnawirawan, Letkol CPM (Purn) Helvis untuk memimpin ratusan advokat lainnya.(*/Joh)
JAKARTA – Polri memastikan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menjalani pemeriksaan penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim terkait kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
“Saat ini masih dilakukan pemeriksaan, terkait dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) yang dituduhkan kepada mantan sekretaris BUMN, SD (Said Sidu),” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan di kantornya, Jakarta, Jumat (15/5/2020).
Ahmad menjelaskan, Said Didu telah menghadiri pemeriksaan di Dit Tipid Siber Bareskrim Polri sekitar pukul 10.45 WIB. Said Didu saat ini masih diperiksa.
“Kami sampaikan benar pada hari ini 15 Mei 2020 SD didampingi oleh pengacaranya, Elvis telah datang memenuhi panggilan kedua, yang mestinya panggilan kedua datang pada 11 Mei kemarin, di mana ada panggilan pertama tidak hadir 4 Mei dengan alasan PSBB,” ujar Ahmad.
Sementara itu, saat menghadiri panggilan, Said Didu menyebut kedatangannya terkait laporan kuasa hukum Luhut Binsar Pandjaitan karena diduga melakukan pencemaran nama baik.
“Saya menyampaikan hal yang ingin diketahui penyidik. Tapi ini kan masih istirahat, ini masih pertanyaan ringanlah, substansi hukum pansehat hukum yang menjelaskan,” kata Said di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (15/5/2020).
Perkara ini dimulai saat Said Didu diwawancarai seseorang di Youtube mengenai adanya rencana pemindahan Ibu Kota di tengah pandemi Covid-19.
Melihat itu, Luhut pun naik pitam dan meyatakan akan membawa pernyataan Said itu ke ranah hukum, walaupunt telah meminta Said melayangkan permintaan maaf dalam waktu 2×24 jam kala itu.
Namun, meskipun sudah ada penjelasan dari Said Didu, Luhut menilai pernyataan itu tidak ada substansi permintaan maaf dari Said Didu. Alhasil, kuasa hukum Luhut melaporkan Said ke polisi.(*/Tub)
TASIKMALAYA – Jajaran Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tasikmalaya menangkap empat tersangka pemalsuan uang di Pos Penjagaan PSBB Cikunir, Kecamatan Singaparna, Senin (11/5/2020). Dalam kasus ini, polisi menyita uang palsu sebanyak 29.600 lembar pecahan Rp100 ribu atau total sekira Rp2,9 miliar.
Kasus ini terungkap saat dua dari empat tersangka terkena razia oleh petugas saat Operasi Ketupat Lodaya tahun 2020 di pintu masuk perbatasan Pospam PSBB Cikunir, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Senin (11/5). Petugas menangkap dua tersangka.
Polisi menemukan 29.600 lembar uang palsu dari kedua tersangka. Lembaran uang palsu itu dibawa tersangka menggunakan mobil Toyota Kijang warna silver bernomor polisi F 1763 AQ.
“Saat kita geledah ditemukan uang palsu 29.600 pecahan Rp100 ribu yang akan dibawa masuk ke wilayah Tasikmalaya,” ujar Kapolres Tasikmalaya, AKHP Hendria Lesmana, kepada wartawan saat rilis kasus tersebut, Rabu (13/5/2020).
Hendria menambahkan, pihaknya langsung mengembangkan temuan uang palsu senilai Rp2,9 miliar itu. Berdasarkan hasil pengembangan, jajaran Satreskrim Polres Tasikmalaya kemudian menangkap dua tersangka lainnya yang berasal dari luar daerah. Kedua menyimpan uang palsu.
Polisi masih mendalami apakah para tersangka mencetak uang palsu sendiri atau bagian dari sindikat uang palsu.
“Terkait keberadaan uang palsu ini apakah diproduksi sendiri atau terkait dengan kelompok atau sindikat uang palsu, hingga saat ini masih didalami,” tutur Hendria.
“Keempat tersangka adalah MD, NF, MS dan JU asal Jakarta, Cianjur dan Tangerang. Jeempat tersangka bersama barang bukti saat ini sudah ditangkap dan mendekam di sel tahanan Mako Polres Tasikmalaya,” ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan keterangan keempat tersangka semua jumlah uang palsu belum pernah diedarkan. Jumlahnya masih sama saat dibawa dari daerah Jakarta.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. (*/Dang)
DEPOK – Pengadilan Negeri (PN) Depok memvonis mati dua oknum polisi pengedar narkoba. Dua terdakwa polisi pengedar narkoba, yaitu Hartono dan terdakwa Faisal, dinyatakan terbukti bersalah tanpa hak.
Menurut Ketua Majelis Hakim PN Depok M Iqbal Hutabarat, kedua terdakwa juga terbukti melawan hukum menyerahkan narkotika golongan I bukan tanaman dengan berat di atas lima gram.
“Para terdakwa terbukti bersalah tanpa hak dan melawan hukum melanggar ketentuan Pasal 114 Ayat (2) junto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menjatuhkan putusan kepada para terdakwa oleh karena itu berupa pidana mati,” ujar Iqbal dalam sidang teleconference di Ruang Sidang Utama PN Depok, Kamis (14/5/2020).
Iqbal menambahkan, masih dalam amar putusan, bahwa para terdakwa merupakan anggota Kepolisian RI yang menjadi sindikat peradaran narkotika golongan I bukan tanaman yang total brutto keseluruhan beratnya sebanyak 37.909 gram atau seberat 37,9 kilogram.
“Untuk nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan penasehat hukum para terdakwa serta permohonan dari masing-masing terdakwa oleh karena itu, ditolak majelis hakim,” tegasnya.
Kedua terdakwa dijerat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dakwaan alternatif kesatu, Pasal 114 Ayat (2) jo Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau kedua, Pasal 112 Ayat (2) jo Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Memberikan waktu pikir-pikir selama tujuh (7) hari kepada JPU maupun kepada para terdakwa beserta penasehat hukumnya. Menerima atau menyatakan banding terhadap putusan ini,” kata Iqbal seraya mengetuk palu tanda telah diputuskannya hukuman.(*/Idr)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (13/5), memanggil Direktur Keuangan PT Waskita Karya Haris Gunawan dalam penyidikan kasus korupsi pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya. Haris dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala Divisi ll PT Waskita Karya Fathor Rachman (FR).
“Yang bersangkutan dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka FR terkait dengan tindak pidana korupsi pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya,” kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu(13/5/2020).
Selain Haris, KPK juga memanggil tiga saksi lainnya untuk tersangka Fathor, yakni Kabag Marketing PT Waskita Karya Agus Prihatmono, Direktur PT MER Engineering Ari Prasodo, dan karyawan PT Pura Delta Lestari/mantan Direktur Utama PT Aryana Sejahtera Happy Syarief. Selain Fathor, KPK juga telah menetapkan mantan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar sebagai tersangka.
Fathor dan Yuly dan kawan-kawan diduga menunjuk beberapa perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada sejumlah proyek konstruksi yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya.
Sebagian dari pekerjaan tersebut diduga telah dikerjakan oleh perusahaan lain. Namun, tetap dibuat seolah-olah akan dikerjakan oleh empat perusahaan subkontraktor yang teridentifikasi sampai saat ini.
Diduga empat perusahaan tersebut tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak. Atas subkontrak pekerjaan fiktif itu, PT Waskita Karya selanjutnya melakukan pembayaran kepada perusahaan subkontraktor tersebut.
Selanjutnya, perusahaan-perusahaan subkontraktor tersebut menyerahkan kembali uang pembayaran dari PT Waskita Karya kepada sejumlah pihak, termasuk untuk kepentingan pribadi Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar. Dari perhitungan sementara dengan berkoordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, diduga terjadi kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp186 miliar.
Perhitungan tersebut merupakan jumlah pembayaran dari PT Waskita Karya kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor pekerjaan fiktif tersebut. Diduga empat perusahaan subkontraktor tersebut mendapat “pekerjaan fiktif” dari sebagian proyek-proyek pembangunan jalan tol, jembatan, bandara, bendungan, dan normalisasi sungai.
Total terdapat 14 proyek terkait dengan pekerjaan fiktif tersebut. Ia menyebutkan 14 proyek itu, yakni proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi, Jawa Barat, proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22, Jakarta, proyek Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang, Jawa Barat, proyek Normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1, Jakarta, proyek PLTA Genyem, Papua, dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1, Jawa Barat.
Selanjutnya, proyek fly over Tubagus Angke, Jakarta, proyek fly over Merak-Balaraja, Banten, proyek Jalan Layang Non-Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak), Jakarta, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W 1, Jakarta, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2, Bali, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4, Bali, dan 0proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Atas perbuatannya, Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.(*/Ag)
JAKARTA – Nasib buron kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota legislatif Harun Masiku, masih belum jelas. Bahkan, spekulasi liar soal kabar meninggalnya Harun, bermunculan. Hal ini dinilai semakin menunjukkan potret buruk KPK.
“Belum tertangkapnya tersangka Harun Masiku adalah bagian dari deretan protret buruk penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK,” kata Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto , Rabu (13/5).
Didiik mengingatkan, buron KPK saat ini bahkan bukan hanya Masiku. KPK saat ini setidaknya mempunyai tunggakan buronan sebanyak lima tersangka yaitu Harun Masiku, Nurhadi, Rezky Herbiyono, Hiendra Soenjoto, dan Samin Tan.
Hingga saat ini, kelima orang itu masih buron.
Adanya spekulasi yang bermunculan soal kabar Harun Masiku dari pihak selain KPK pun kian menimbulkan kebingungan dan pertanyaan bagi publik. Menurut Didik, Wajar bila publik kemudian mempertanyakan keseriusan KPK dalam menangkap buron tersebut, meskipun sudah melibatkan aparat kepolisian.
Secara umum, lanjut Didik, seharusnya memburu koruptor jauh lebih sulit daripada memburu teroris yang mempunyai jaringan lebih terencana. “Rasanya sulit dipahami dan dimengerti, kalau melihat track record kepolisian yang selama ini mampu menangkap dan membongkar jaringan dan sel-sel terorisme, ternyata ketika berhadapan dengan buronan KPK seakan-akan lumpuh dan kalah,” kata Didik.
Karena itu, menurut Didik, bila KPK dan kepolisian berani mengatakan bahwa Harun Masiku memang masih hidup, mereka harus menunjukkan keseriusannya. KPK dan Kepolisian harus mampu mematahkan spekulasi publik dengan segera menangkap Harun Masiku.
”Kenapa KPK dan Kepolisian belum juga mampu menangkap para koruptor ini? Kalau KPK dan Kepolisian tidak yakin dengan anggapan masyarakat bahwa Harun Masiku sudah hilang dan/atau ‘dihilangkan’ alias ‘dimatikan’, tunjukkan keseriusannya, segera tangkap buronan tersebut,” kata Didik.
Didik menambahkan, hilangnya Harun Masiku berpotensi turut menghilangkan korupsi atau kejahatan lain yang menyertainya. Padahal, kejahatan itu dimungkinkan dilakukan beberapa orang terkait suap terhadap mantan anggota KPU Wahyu Setiawan.
Politikus Demokrat itu berharap, jangan sampai juga timbul skeptis publik yang berujung pada persepsi publik yang menganggap seolah-olah ada pembiaran terhadap Harun. “Bahkan lebih jauh dari itu bisa bahaya kalau sampai muncul anggapan adanya perlindungan terhadap Harun Masiku yang tidak bisa ditembus oleh KPK,” kata dia.
Spekulasi soal hilangnya Masiku muncul dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. Dia meyakini, Harun Masiku telah meninggal dunia. Dia mengklaim, keberadaan Harun hingga kini tidak bisa terdeteksi, lain halnya dengan burona KPK nlainnya, Mantan Sekertaris MA, Nurhadi.
“Dasarku adalah untuk kasus Nurhadi hampir tiap minggu datang informan menemui aku dengan informasi-informasi baru. Lah Harun Masiku tidak ada kabar apa pun sehingga aku yakin sudah meninggal,” ujar Boyamin saat dikonfirmasi secara terpisah.
Menurut Boyamin, KPK juga diyakini tidak mengetahui keberadaan Harun yang hilang bak ditelan bumi ini karena telah meninggal dunia. “Sekali lagi baru sebatas keyakinan, belum ada bukti valid,” ujar Boyamin.
Sementara itu, Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menegaskan, proses penyidikan perkara suap pergantian antar waktu (PAW) untuk tersangka Harun Masiku terus berjalan. Meskipun, hingga kini, politikus PDIP itu masih buron.
“Saat ini perkara tersangka HAR (Harun Masiku) masih berjalan di tingkat penyidikan,” tandasnya.(*/Ag)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro