JAKARTA – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengecam keras aksi intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan Detik com. Wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
“Setiap ancaman dan penghalangan terhadap wartawan bisa dikenakan hukuman penjara selama dua tahun dan denda Rp500 juta,” kata Ketua Umum PWI Atal S Depari, melalui pernyataan tertulis, di Jakarta, Jumat.
Atal mengimbau masyarakat agar sengketa pemberitaan dengan media massa dapat diselesaikan berdasarkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers untuk memperoleh hak jawab dan koreksi.
Bukan hanya itu, kata dia, Dewan Pers juga bisa mencarikan solusi melalui mediasi. Pasalnya, Dewan Pers berhak memberikan penilaian atas kode etik jurnalistik serta dapat memberikan sanksi kepada media massa jika terbukti melakukan pelanggaran.
Imbauan ini penting disampaikan, kata Atal, setelah terjadinya intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan Detik.com yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo pada Selasa 26 Mei 2020. Kasus tersebut bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi COVID-19.
Informasi tersebut berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Sekretariat Daerah Kota Bekasi. Kemudian, berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan “new normal” setelah PSBB.
Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detik.com mulai terjadi, termasuk identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, berikut nomor telepon dan alamat rumahnya.
Bahkan, kata dia, jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya, dan yang bersangkutan juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa juga ditujukan pada redaksi media Detikcom.
Rangkaian intimidasi dan ancaman terhadap wartawan semacam itu, tegas Atal, jelas mencederai kemerdekaan pers sebagai pilar keempat demokrasi selain bertentangan dengan amanat UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
Selain mengecam, PWI juga meminta polisi segera menangkap pelaku intimidasi dan pengancaman pembunuhan tersebut. “Masyarakat atau siapa saja yang merasa suatu pemberitaan tidak tepat dapat menggunakan sarana yang telah diatur dalam UU Pers mengenai hak jawab dan hak koreksi,” tukasnya.(*/Ad)
KENDARI – Kepala Polda Sulawesi Tenggara, Inspektur Jenderal Polisi Merdisyam, mengatakan, penangkapan tersangka Ruslan Buton diduga terkait pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Buton sudah diberangkatkan ke Jakarta hari ini.
“Memang kemarin ada langkah hukum yang dilakukan dari Bareskrim Polri karena yang bersangkutan juga merupakan mantan anggota TNI makanya kami koordinasi di tingkat pusat untuk pendampingan dari Puspom TNI AD dan seluruh penanganan ada di Bareskrim Mabes Polri, kami hanya mendampingi,” katanya, di Kendari, Jumat.
Sebelumnya, tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Kamis (28/5).
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada tanggal 18 Mei 2020, kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.
Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai presiden. “Namun, bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat,” tutur Ruslan dalam rekaman suaranya.
Dari hasil pemeriksaan awal, Ruslan mengaku rekaman suara yang meminta Presiden Jokowi mundur itu adalah suaranya sendiri. Usai merekam suara, pelaku kemudian menyebarkannya ke grup WhatsApp (WA) Serdadu Eks Trimatra hingga akhirnya viral di media sosial. Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi berupa satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Ruslan Buton merupakan mantan perwira menengah di Yonif RK 732/Banau dengan pangkat terakhirnya kapten infanteri. Ketika menjabat sebagai komandan kompi cum (juga) Komandan Pos Satgas SSK III Yonif RK 732/Banau, Ruslan terlibat dalam kasus pembunuhan La Gode pada tanggal 27 Oktober 2017.
Pengadilan Militer Ambon memutuskan hukuman 1 tahun 10 bulan penjara. Ruslan pada tanggal 6 Juni 2018 dipecat sebagai anggota TNI AD. Setelah dipecat, Ruslan membentuk kelompok mantan prajurit TNI dari tiga matra: darat, laut, dan udara yang disebut Serdadu Eks Trimatra Nusantara. Ruslan mengaku sebagai Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan tersangka Ruslan atau Ruslan Buton terancam pasal berlapis jika terbukti bersalah dalam kasus ujaran kebencian.(*/Ad)
JAKARTA – Mabes Polri mengatakan, akan melakukan penyelidikan dan pemanggilan terhadap Permadi Arya alias Abu Janda hari ini (29/5) terkait kasus dugaan ujaran kebencian melalui media sosial. Permadi akan memenuhi panggilan tersebut.
“Bahwa pada hari ini, Jumat (29/5) Permadi Arya alias Abu Janda akan memenuhi panggilan Bareskrim Polri untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait kasus ujaran kebencian di media sosial,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri, Komisaris Besar Polisi Ahmad Ramadhan saat virtual konferensi pers melalui akun Youtube, Jumat (29/5).
Sebelumnya diketahui, Abu Janda dilaporkan IKAMI ke Badan Reserse Kriminal Polri pada 10 Desember 2019. Saat itu ia dilaporkan karena melontarkan kata-kata yang dianggap ujaran kebencian di media sosial, yakni, “Teroris punya agama dan agamanya adalah Islam”. Laporan ini diterima Bareskrim dengan nomor STTL/572/XII/2019/Bareskrim. Namun, penyelidikan baru dimulai pada akhir Mei 2020.
Sebelumnya, Permadi Arya juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan dugaan ujaran kebencian dan penodaan agama. Pelapor yang bernama Alwi Muhammad Alatas menilai, Abu Janda telah menghina dengan menyebut bendera tauhid merupakan bendera teroris.
“Dia menghina syariat Islam dengan mengatakan bendera yang bertuliskan kalimat ‘Lailahailallah Muhammadarasulullah’ dikatakan bagian dari bendera teroris dan ini jelas-jelas melukai hati kami sebagai umat Muslim,” ujar Alwi usai melapor di Mapolda Metro Jaya, Rabu (14/11).
Alwi mendapati perkataan Abu Janda tersebut pada beranda fanpage media sosial Facebook pribadi milik Abu Janda. Alwi juga membawa beberapa barang bukti, seperti link Facebook dan video Abu Janda serta saksi-saksi yang diajukan.
“Ucapan penghinaan dikatakan ‘kalimat tauhid itu fix ini adalah bendera teroris’. Itu yang menyakiti hati umat Muslim. Walaupun sudah banyak video-video yang di-upload Abu Janda tersebut yang melukai dari pada hati umat Muslim, tapi ini ucapan yang paling fatal dilakukan oleh Abu Janda,” katanya.
Laporan atas Abu Janda diterima oleh kepolisian dengan nomor laporan TBL/6215/XI/2015/PMJ/Dit. Reskrimsus tertanggal 14 November 2018.(*/Tub)
JAKARTA – di tengah pandemi Covid-19 pada Kamis (28/5/2020). Video yang berisi suara Ruslan yang meminta Jokowi legowo untuk mundur sempat viral di media sosial.
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan Ruslan ditangkap di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara dengan barang bukti 1 buah handphone milik tersangka dan KTP.
Dari hasil pemeriksaan tersangka mengakui bahwa benar suara rekaman yang beredar adalah milik tersangka yang dibuat pada 18 Mei 2020 menggunakan handphone dan menyebarkannya ke Group WA Serdadu Ekstrimatra.
“Pendalaman tentang peran tersangka akan dilanjutkan oleh penyidik Bareskrim Polri pasca tiba di Jakarta,” kata Ramadhan di Mabes Polri Jumat (29/5/2020).
Tersangka dijerat Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana 6 tahun dan atau Pasal 207 KUHP dengan ancaman penjara 2 tahun.(*/Joh)
JAKARTA – Forum Pemimpin Redaksi Indonesia (Forum Pemred) mendesak kepolisian untuk menindak pelaku teror dan bahkan ancaman pembunuhan terhadap wartawan portal berita detik.com.
Tindakan pelaku, selain mencederai kemerdekaan pers.
Forum Pemred mengingatkan jika terjadi kekeliruan dalam pemberitaan semestinya masyarakat menempuh mekanisme hak jawab sesuai ketentuan UU Pers 40/1999.
“Jika belum puas dengan cara itu bisa mengadukan permasalahan ke Dewan Pers,” kata Ketua Forum Pemred, Kemal Gani dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/5/2020)
Berdasarkan informasi diperoleh Forum Pemred, sejak Selasa 26 Mei 2020 lalu, wartawan detikcom mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh. Ini karena sang jurnalis menjalankan profesinya sebagai wartawan. Dia menulis berita tentang salah satu kegiatan Presiden Joko Widodo.
Menurut Kemal, jurnalis dan Pers tentu tidak luput dari kesalahan. Namun, kekeliruan pemberitaan jelas tidak boleh menjadi alasan adanya intimidasi, kekerasan, teror, bahkan ancaman pembunuhan.
Dia menegaskan UU Pers dibuat supaya ada kepastian koreksi dapat dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers.
“Dengan adanya kebebasan pers, antara lain, masyarakat diuntungkan dengan adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas Pemerintah melayani kepentingan publik,” tuturnya.
Menurut Forum Pemred, tindakan mengintimidasi, doxing, teror, bahkan melakukan ancaman pembunuhan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan kepada siapa pun.
Tindakan keji tersebut, kata dia, tak boleh dibiarkan. Kami mendorong Polri untuk segera memroses pelaku.
Bila ada berita yang dianggap salah, kata dia, silakan melakukan koreksi melalui jalur yang sudah ada, dengan mengirimkan permintaan hak jawab ke media bersangkutan.
“Jika tidak memperoleh tanggapan seperti diharapkan, dapat mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Bukan lewat pengerahan buzzer dan intimidasi di media sosial,” tuturnya.
Kemal menegaskan jurnalis dalam bekerja dilindungi oleh undang-undang. Apabila ada tindakan-tindakan yang menghalangi kebebasan pers termasuk mengintimidasi jurnalis, maka aparat penegak hukum harus menegakkan hukum dengan adil.
“Mendorong semua media massa untuk terus menjunjung tinggi profesionalisme yang bertanggung jawab dan selalu menghadirkan jurnalisme yang berkualitas,” tukasnya.(*/Ad)
JAKARTA – Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Saeful Bahri divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan. Ia terbukti ikut menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta.
“Memutuskan, menyatakan terdakwa Saeful Bahri terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan 8 bulan dan pidana denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” kata ketua majelis hakim Panji Surono di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis(28/5/2020).
Persidangan dilakukan melalui video conference dengan majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) KPK berada di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sedangkan terdakwa Saeful Bahri mengikuti persidangan dari gedung KPK. Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Saeful divonis 2,5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan.
“Keadaan yang memberatkan tidak membantu program pemerintah untuk memberantas korupsi, terdakwa sebagai kader partai tidak memberikan teladan yang baik. Keadaan yang meringankan terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, punya tanggungan keluarga, belum pernah dihukum,” tambah hakim Panji.
Putusan tersebut berdasarkan dakwaan primair dari pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Suap sebesar Rp 600 juta itu diberikan melalui Saeful oleh Markus Nari kepada Wahyu agar Wahyu Setiawan mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar Waktu (PAW) Partai PDI Perjuangan (PDIP) dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) 1 kepada Harun Masiku.
Atas putusan tersebut, Saeful Bahri menyatakan langsung menerima putusan tersebut sedangkan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.(*/Ag)
JAKARTA – Polda Metro Jaya akan menggelar perkara terkait kasus dugaan korupsi tunjangan hari raya (THR) yang melibatkan pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, gelar perkara tersebut rencananya akan dilaksanakan hari ini.
“Semua data sudah kita kumpulkan. Rencana kalau jadi hari ini kita lakukan gelar perkara untuk bisa menentukan apakah memang unsur-unsur itu memang sudah masuk dalam konstruksi perkaranya,” kata Yusri kepada wartawan, Kamis (28/5/2020).
Yusri menjelaskan, jika dalam gelar perkara tersebut ada unsur yang memenuhi tindak pidana, kasusnya akan naik ke tingkat penyidikan. Namun, jika tidak, kasusnya akan di-SP3.
Adapun rencananya dalam gelar perkara tersebut akan dihadiri pihak Mabes Polri. Polda Metro juga berkoordinasi dengan KPK terkait persoalan tersebut.
“Hadir Mabes Polri dan tetap koordinasi yang baik dengan teman-teman KPK karena ini kan penyerahan perkara dari KPK,” ujarnya.
Adapun dalam kasus ini, kata Yusri, pihaknya telah memintai keterangan dari 23 orang yang terkait perkara tersebut baik dari pihak UNJ maupun Kemendikbud.
“Kemarin kita lakukan klarifikasi tambahan kepada 7 orang sudah kita informasikan apa sih perkara yang ada, bagaimana konstruksi perkaranya sudah kita lakukan gelar awal. Kemudian kita tambah satu lagi klarifikasi pemeriksaan terhadap satu pegawai dan ada 15 dari UNJ yang kita lakukan klarifikasi pemeriksaan,” tuntasnya.(*/Tub)
BANDUNG – Guna mendukung penerapan fase new normal (normal baru), Polda Jabar bakal melakukan penjagaan disejumlah tempat ibadah dan pusat perbelanjaan. Polisi akan bekerja dengan TNI dan Pemda, untuk melakukan pendampingan penerapan protokol pencegahan virus corona (Covid-19).
“Kita akan kawal selama 14 hari, terhitung sejak nanti Senin, saat diberlakukannya” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes S. Erlangga di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno-hatta, Rabu (27/5/2020).
Adapun titik pengamananya, meliputi pusat perbelanjaan modern, tempat ibadah dan menyusul di lingkungan pendidikan. Untuk pusat perbelanjaan modern yang melakukan pelanggaran dengan tidak menerapkan protokol pencegahan Covid-19, akan diberlakukan sanksi yang tengah di kordinasikan. Namun dipastikan mengedepankan penindakan secara persuasif.
“Untuk jumlah personal sesuai yang dikategorikan oleh pak Gubernur, kita sesuaikan jumlah personel TNI Polri untuk pendampingan pen disiplin dalam new normal,” ucap dia.
Fase kehidupan new normal (normal baru) di masa pandemi Covid-19 direncanakan akan dilakukan pada Senin (1/6/2020) mendatang, di sebagian wilayah di Jabar.
Hal itu pun dipastikan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Emil sapaannya mengatakan, saat diberlakukannya new normal, sektor perekonomian bisa beroperasi kembali, namun dengan aturan dan protokol kesehatan yang ketat.
“Kita akan mulai kurang lebih di hari Senin, jadi hari Rabu ini sampai Minggu kita sosialisasi dan saya minta kepada rekan media bantu mensosialisasikan nanti di hari kerja di hari Senin kita mulai. Karena Pak Kapolda butuh waktu untuk mengukur jumlah pasukan di mall, yang tadinya di mall gak ada TNI dan Polri kan karena perintah presiden selama 14 hari harus ada dulu melatih disiplin kan harus dihitung ya. Itu butuh waktu sampai Minggu kita melakukan pemetaan itu, jadi hari Senin,” katanya usai rapat terbatas percepatan penanganan Covid-19.
Emil beralasan, kesiapan Jabar meng hadapi fase new normal, merujuk dari hasil evaluasi pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mencatat bahwa angka reproduksi covid-19 di Jawa Barat berada di angka 1,09.
“Perhari ini angka reproduksi covid kita di angka 1,09. Dalam standar WHO angka satu itu bisa dianggap terkendali, makin kecil di nol koma lebih baik. Nah kita akan fokus menjaga ini selama 14 hari ke depan, mudah-mudahan satu minggu lagi, tetap di angka satu sehingga bisa dalam kategori terkendali,”tukasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntaskan kasus dugaan tindak pidana korupsi bantuan dana pemerintah ke KONI Pusat pada tahun anggaran 2017 di Kemenpora didukung oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Koordinator MAKI Boyamin Saiman meminta, agar Jaksa Agung ST Burhanuddin bersikap tegas di kasus tersebut, untuk mencegah isu-isu semakin liar.
“Segera tuntaskan, tetapkan tersangkanya. Karena mencegah isu ini semakin liar dan justru membuktikan kelau memang ada aliran uang (Ke Mantan Jampidsus), iya bilang ada, kalau memang tidak ada, iya tidak ada,” kata Boyamin, Rabu (27/5/2020).
Dia juga berharap, Jaksa Agung ST Burhanuddin berkomitmen untuk menuntaskan perkara tersebut secara terang benderang dengan memberikan izin pemeriksaan terhadap mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
“Ada persoalan di Undang-undang Kejaksaan itu terkait dengan seorang Jaksa yang menjalankan tugasnya itu harus ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Waktu itu kan (Adi Toegarisman-red) sedang menjalankan tugasnya, meskipun sekarang sudah pensiun. Nah itu nanti kita lihat, apakah Jaksa Agung juga memberikan izin kalau ada pemeriksaan terhadap mantan Jampidsus,” ucap Boyamin.
Mantan Jampidsus Adi Toegarisman dinilai perlu juga diperiksa. Sebab, asisten pribadi Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Miftahul Ulum pernah menyebut Adi Toegarisman menerima uang suap senilai Rp7 Miliar.
Walaupun Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama mengusut kasus itu, namun ada perbedaan pada dugaan tindak pidananya.
“Kejagung tangani kasus hibah KONI 2017, yang diyakini ada bukti dan ada cukup bukti karena sudah penyidikan, ada upaya untuk menutup. Nah menurut Miftahul Ulum kan menutupnya melalui BPK dan Kejaksaan Agung,” jelasnya.
“Sementara KPK sendiri meneliti kasus yang 2018 terkait pencairan bukan penggunaan. Pencairan itu ada suap dari KONI untuk pejabat Kemenpora. Jadi ada 2 kasus perkara memang tahun 2017 dan tahun 2018 beda-beda,” lanjutnya.(*/Ag)
JAKARTA – Tindakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang kembali membawa Siti Fadilah Supari ke Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur disoroti banyak pihak. Salah satunya, Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Didik Mukrianto.
Didik Mukrianto mengatakan, ada bijaknya para pemimpin bangsa ini mendengar setiap masukan anak bangsa termasuk Siti Fadilah Supari dalam kapasitas dan kompetensi serta pengalamannya dalam menangani persoalan kesehatan.
“Beliau pernah membatalkan penetapan pandemi SARS yang ditetapkan WHO waktu itu yang disinyalir tidak transparan, dan terbukti, tanpa Anti Virus yang direkomendasikan oleh WHO, Indonesia bisa menghentikan penyebaran Virus SARS waktu itu,” ujar Didik Mukrianto, Senin (25/5/2020).
Dia mengatakan, walaupun mantan menteri kesehatan itu saat ini berstatus warga binaan, namun negara, pemerintah, pemimpin dan pejabat tidak boleh lupa dengan jasa-jasa Siti Fadilah Supari untuk masyarakat, Indonesia, bahkan untuk dunia. “Terlalu picik dan naif apabila ada pejabat yang menistakan itu,” ujar anggota komisi III DPR RI ini.
Dia mengatakan, disiplin ilmu dan pengalaman Siti Fadilah Supari tidak boleh dimatikan dan dinafikkan hanya karena statusnya. “Untuk kepentingan yang lebih besar bagi bangsa ini, seharusnya sebaliknya,” tuturnya.
Dia melanjutkan, mengingat latar belakang dan pengalaman Siti Fadilah Supari dalam perspektif profesionalitasnya, jasa serta usia yang bersangkutan sudah di atas 70 tahun dan sangat rentan terpapar Covid-19.
Dia menambahkan, walaupun status Siti Fadilah Supari terhalang oleh Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012 untuk mendapatkan Remisi, Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat, harusnya pejabat bisa bijak untuk memberikan perlindungan kemanusiaan dan kesehatan kepada Siti.
“Tidak harus dengan previlige melanggar PP 99/2012, tapi pemerintah bisa memberikan kebijakan di tempat lain yang jauh dari potensi terjangkit Covid-19, dan sementara waktu tidak mengembalikan ke Rutan Pondok Bambu yang sedang dinyatakan Red Zone,” tandasnya.(*/Tya)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro