JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan senior Manager Pemasaran PT Hutama Karya, Bambang Mustaqim ke Rutan Klas I Cipinang, Jakarta Timur, Jumat (5/6/2020).
Eksekusi dilakukan setelah perkara korupsi proyek pembangunan kampus IPDN yang menjerat Bambang berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
“KPK diwakili Jaksa Eksekusi Medi Iskandar Zulkarnain pada tanggal 5 Juni 2020 telah melaksanakan eksekusi pidana badan atas nama terpidana Bambang Mustaqim,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (5/6).
Ali mengatakan, Bambang akan mendekam di Rutan Kelas I Jakarta Timur sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Agustus 2019. Sesuai dengan putusan Majelis Hakim, bambang Mustaqim, akan menjalani hukuman 5 tahun penjara dikurangi masa tahanan.
Bambang dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pengadaan dan pelaksanaan pembangunan gedung kampus IPDN. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta terhadap Bambang.
Dalam putusannya, hakim menyatakan Bambang terbukti membantu mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero), Budi Rachmat Kurniawan.
Bantuan itu berupa mengatur proses pelelangan sedemikian rupa untuk memenangkan PT Hutama Karya atas dua proyek pembangunan gedung IPDN di Agam, Sumatera Barat dan Rokan Hilir, Riau tahun anggaran 2011.(*/Joh)
JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Dirgantara Indonesia (DI), Budi Santoso, Jumat (5/6). Pemeriksaan ini diduga KPK sedang melakukan penelusuran dugaan korupsi penjualan dan pemasaran pesawat di PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan selain Budi Santoso, terdapat sejumlah pihak lainnya yang turut diperiksa KPK pada hari ini, termasuk pihak swasta. Ali menyebut pemeriksaan ini sebagai bagian pengumpulan alat bukti.
“Bahwa benar hari ini KPK memeriksa beberapa pihak antara lain mantan pegawai BUMN PT DI dan pihak swasta terkait kegiatan pengumpulan alat bukti dugaan korupsi di PT DI,” kata Ali saat dikonfirmasi, Jumat (5/6/2020).
Berdasarkan informasi, KPK telah meningkatkan status penanganan perkara dugaan korupsi di PT DI ke tahap penyidikan dan menetapkan sejumlah tersangka.
Termasuk, dua petinggi atau mantan petinggi perusahaan pelat merah itu sebagai tersangka. Namun, hingga kini belum ada keterangan resmi dari KPK mengenai penetapan tersangka tersebut.
Saat dikonfirmasi ihwal hal tersebut, Ali enggan membeberkan lebih rinci kapasitas Budi Santoso dalam pemeriksaan hari ini. Ali hanya menyebut, KPK saat ini masih mengumpulkan alat bukti untuk mengusut dugaan korupsi di PT DI.
“Untuk sementara demikian keterangan yang dapat kami sampaikan. Perkembangannya akan kami sampaikan lebih lanjut,” katanya.
PT Dirgantara Indonesia merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di industri pesawat terbang. PT Dirgantara tercatat memproduksi berbagai pesawat dan helikopter, senjata, serta jasa pemeliharaan untuk mesin-mesin pesawat.(*/Ad)
JAKARTA – Seorang ibu rumah tangga, berinisial RMS (31), divonis tujuh hari pidana penjara dengan menjalani masa percobaan selama dua bulan. Kasus ibu tiga anak yang dituduh mencuri sawit senilai Rp 76 ribu disidangkan dalam persidangan cepat di Pengadilan Negeri (PN) Pasir Pangaraian, Selasa (2/6).
Namun kasus memilukan tersebut menuai polemik, termasuk dari parlemen.
“Pengadilan jangan berat sebelah, harus lihat konteks dan makna keadilan. Meski demikian, keadilan harus ditegakkan. Tapi sebelum itu, harus ada kearifan membaca konteks,” tegas Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Muchamad Nabil Haroen dalam pesan singkatnya,yang dikutif dari republika, Kamis (4/6).
Dikatakan Nabil, untuk kasus Ibu RMS yang saat ini ditangani pihak Pengadilan Negeri Pasirpangaraian di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).
RMS dianggap bersalah karena mencuri tiga tandan buah sawit, dan dipidana penjara selama 7 hari. Info dari Kejati Riau, barang bukti tiga tandan buah sawit senilai Rp 76.500 diserahkan ke PTPN V. Pelaku beralibi mencuri karena faktor ekonomi.
“Jika benar karena faktor ekonomi. Apalagi terdampak Covid19, maka perlu dipikirkan adanya penangguhan hukuman atau keringanan. PTPN dan Pemerintah setempat harus arif melihat kasus ini,” tegas politikus PDI Perjuangan.
Memang, Nabil mengaku, dirinya setuju harus ada pencegahan pencurian. Tapi, juga harus dilihat apakah ada ketimpangan ekonomi di sekitar perusahaan/ PTPN V? Jika ada ketimpangan ekonomi, PTPN dan pemerintah wajib hukumnya memberdayakan dan membantu.
“Jangan sampai keberadaan perusahaan menyengsarakan warga sekitarnya,” tegas Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa Nahdlatul Ulama tersebut.(*/Joh)
SUKABUMI – Personel gabungan Mabes Polri, Polda Jawa Barat dan Polres Sukabumi Kota menggerebek sebuah rumah di Villa Taman Anggrek, Kabupaten Sukabumi dan menangkap tersangka pengedar sabu-sabu jaringan internasional.
Infomasi yang dihimpun, rumah yang berada di Jalan Miltonia VIII, Blok D7, RW 25, Desa/Kecamatan Sukaraja diduga menjadi tempat penyimpanan sabu-sabu dalam jumlah besar.
“Rumah itu baru dua hari disewa oleh pasangan suami istri dan selama ini tidak menunjukan adanya aktivitas yang mencurigakan,” kata Ketua RW 25 Villa Taman Anggrek, Kecamatan Sukaraja Mohamad Rifki Miftahudin di Sukabumi, Kamis.
Menurutnya, aktivitas sehari-hari pasutri tersebut seperti biasa, layaknya orang baru pindahan seperti mengangkut barang rumah tangga dan beberapa box kontainer. Selain itu, keluarga ini pun sempat lapor untuk menyewa rumah untuk menjadi penghuni baru di perumahan ini.
Penggerebegan yang dilakukan personel gabungan dari Polri tersebut sekitar pukul 18.30 WIB dan informasinya rumah itu digunakan untuk tempat penyimpanan sabu-sabu seberat 500 kg. “Saya mendapatkan informasi dari petugas sabu-sabu itu beratnya mencapai 500 kg. Sabu-sabu itu dikemas seperti bola plastik,”tukasnya.(*/Yan)
JAKARTA – Asisten Pribadi (Aspri) mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, Miftahul Ulum dituntut 9 tahun penjara, karena dinyatakan telah menerima suap dalam pengurusan pencairan dana hibah KONI. Ulum juga dituntut denda Rp300 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini Ulum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama Imam Nahrawi dan berlanjut sebagaimana dakwaan ke satu alternatif pertama serta dakwaan kedua.
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 9 tahun serta pidana denda sejumlah Rp300 juta subsidair 6 bulan kurungan,” kata Jaksa Ronald Worotikan saat membacakan surat tuntutan di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (4/6/2020).
Hal-hal yang memberatkan terdakwa, menurut jaksa, adalah tidak kooperatif dan tidak berterus terang atas perbuatan yang dilakukannya.
Perbuatan terdakwa telah menghambat perkembangan prestasi atlet Indonesia yang seharusnya dapat mengangkat harkat dan martabat Indonesia.
“Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa memiliki tanggungan keluarga,” imbuhnya.
Menurut jaksa, Ulum menerima suap Rp11,5 miliar bersama Imam untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Ada dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Ulum.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018.
Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun Kegiatan 2018.
Selain itu, Ulum juga didakwa menerima gratifikasi bersama Imam Nahrawi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Ulum saat Imam menjabat sebagai Menpora dalam rentang waktu 2014 hingga 2019.
Atas perbuatannya, Ulum dituntut melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ulum juga dituntut melanggar Pasal 12B ayat (1) Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.(*/Ad)
JAKARTA – Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi mengatakan, tertangkapnya mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi merupakan pintu masuk bagi untuk menelusuri kasus mafia peradilan. Menurutnya, KPK harus bisa menelusir jaringan besar mafia peradilan yang melibatkan hakim, panitera di MA sampai pengadilan negeri.
“Kita tidak bisa pungkiri korupsi di ruang pengadilan ibarat hantu yang sering terdengar dan sifatnya umum tetapi sulit ditindak karena ‘jeruk makan jeruk’. Ini harus ditelusuri lebih jauh oleh KPK,” katanya.
Rizqi menilai kasus di MA yang melibatkan Nurhadi memberikan sinyal betapa akut dan masifnya ranah korupsi di ruang keadilan. “Virus laten korupsi yang bersembunyi dan hidup nyaman di dalam putusan-putusan hakim. Seakan-akan hakim tidak mempunyai antibodi dalam menangkal virus korupsi yang lebih mematikan dari virus corona,” ujarnya.
Dengan beberapa sinyalemen korupsi sejak 2015, kata dia, Nurhadi memegang peranan penting di dalam keluarnya putusan-putusan yang menguntungkan pengusaha-pengusaha “hitam”. “Oleh karena itu, Nurhadi sebagai struktur hukum pasti tidak bekerja sendiri selayaknya teori ring of fire dalam penanganan korupsi bahwa virus ini tidak bisa bekerja sendiri dan melibatkan banyak pihak tidak hanya oknum di struktur MA tetapi juga oknum Kejaksaan dan Kepolisian,” katanya.
Ia meminta KPK menelusuri ring of fire tersebut secara detail sehingga Nurhadi tidak hanya tenang dengan pasal korupsi saja tetapi bisa ditelusuri dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diyakini efektif menemukan jejaring keterlibatan pihak lain. Rizqi pun mengharapkan kasus Nurhadi bisa memberikan efek yang meluas untuk mengkaji seberapa besar pengaruh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penentuan kualitas hakim sampai persoalan yang detail dalam hal rekrutmen para hakim.
“Karena ada satu proses yang harus ditata dalam mencari bibit-bibit hakim yang berintegritas dan negarawan. Seringkali proses rekrutmen dinaungi proses KKN juga sehingga melahirkan oknum-oknum hakim yang korup juga. Input yang negatif akan mengeluarkan output yang negatif juga,” kata Rizqi.
LeCI pun memberikan apresiasi kepada KPK terhadap penangkapan Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono di Jakarta, Senin (1/6) malam. “LeCI memberikan apresiasi kepada KPK terhadap penangkapan Nurhadi dan menantunya Rezky tepat 1 Juni di Hari Lahir Pancasila. Ditambah lagi di tengah pandemi dan masa Lebaran, KPK masih maksimal bekerja dan memburu DPO kelas kakap,”tandasnya.(*/Joh)
JAKARTA – Polri mempersilakan tersangka kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian, Ruslan Buton untuk mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya. Ruslan saat ini telah berstatus tersangka akibat surat terbukanya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur.
“Silakan karena hak tersangka yang diatur dalam KUHAP,” kata Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono saat dihubungi, di Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Menurut Argo, pihaknya nantinya akan menyampaikan secara detail soal proses penyidikan yang berujung pada penetapan tersangka Ruslan Buton di persidangan untuk menjadi dasar pertimbangan keputusan Majelis Hakim.
“Dan nanti diuji di sidang praperadilan tentang proses penyidikannya,” ujar Argo.
Sementara kuasa hukum Ruslan Buton, Tonin Tachta Singarimbun mengatakan pihaknya telah mendaftarkan gugatan praperadilan terkait penetapan tersangka kliennya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Nomor 62 praperadilan Ruslan Buton terdaftar,” kata Tonin.
Sebelumnya, tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis (28/5). Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Bareskrim Polri kemudian menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian terkait surat terbuka yang meminta Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Ruslan pun langsung ditahan di Rutan Bareskrim per Jumat (29/5) selama 20 hari hingga 17 Juni 2020.
Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial. Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
“Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat,” tutur Ruslan dalam rekaman suaranya.
Usai merekam suara, pelaku kemudian menyebarkannya ke grup WhatsApp (WA) Serdadu Eks Trimatra hingga akhirnya viral di media sosial.(*/Ag)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menahan mantan Sekertaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono untuk 20 hari pertama usai diamankan pada Senin (1/6). Keduanya ditahan di rumah tahanan lembaga yang dipimpin Firli Bahuri itu.
“Penahanan Rutan dilakukan kepada dua orang tersangka tersebut selama 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 2 Juni 2020 sampai dengan 21 Juni 2020 masing-masing di Rumah Tahanan KPK Kavling C1,” kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Gedung KPK Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Ghufron juga menjelaskan kronologi penangkapan Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono. Ghufron menuturkan, awalnya Nurhadi dkk masuk dalam DPO setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara MA. Sejak menyandang status DPO pada Februari 2020 KPK bersama Polri terus memburu Nurhadi dan Rezky serta satu lagi yakni Hiendra Soejoto.
“Sejak ditetapkan DPO, penyidik KPK dengan dibantu pihak Polri terus aktif melakukan pencarian terhadap para DPO antara lain dengan melakukan penggeledahan rumah di berbagai tempat baik di sekitar Jakarta maupun Jawa Timur. Pada hari senin tgl 1 Juni 2020 sekitar pukul 18.00, Tim Penyidik KPK mendapat info dari masyarakat ihwal keberadaan 2 TSK yang berstatus DPO tersebut,” kata Ghufron.
Selanjutnya berdasarkan informasi tersebut, Tim KPK bergerak ke Jalan Simprug Golf 17 No. 1 Grogol Selatan, Kebayoran Lama yang diduga menjadi tempat bersembunyi Nurhadi dan Rezky.
”Selanjutnya dengan dilengkapi surat perintah penangkapan dan penggeladahan pada sekitar pukul 21.30 WIB Penyidik KPK mendatangi rumah tersebut untuk melakukan penggeledahan,” ujarnya.
Awalnya, lanjutnya, tim KPK bersikap persuasif dengan mengetuk pagar rumah. Hanya saja, hal tersebut namun tidak dihiraukan. Lantaran tak digubris, tim dengan didampingi ketua RW dan pengurus RT setempat melakukan upaya paksa. Caranya, dengan membongkar kunci pintu gerbang dan pintu rumah tersebut.
”Setelah penyidik KPK berhasil masuk ke dalam rumah, di salah satu kamar ditemukan tersangka NHD dan dikamar lainnya ditemukan tersangka RHE dan langsung dilakukan penangkapan terhadap keduanya,” jelas Ghufron.
Setelah, Rezky dan Nurhadi dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk dilakukan pemeriksaan. Saat konferensi pers keduanya terpantau sudah mengenakan rompi oranye, khas tahanan KPK.
Ghufron juga menegaskan dari penangkapan Nurhadi dan Rezky, koordinasi KPK bersama Polri untuk pencarian dan penangkapan para DPO akan terus dilakukan, termasuk terhadap DPO atas nama Hiendra Soenjoto yang di duga sebagai pemberi suap dan atau gratifikasi dalam kasus ini. KPK juga berterima kasih dan mengapresiasi kepada masyarakat yang telah memberikan informasi terkait keberadaan para DPO KPK.
“Kepada tersangka HS dan seluruh tersangka KPK yang masih dalam status DPO saat ini, kami ingatkan untuk segera menyerahkan diri kepada KPK,” imbuhnya.
Dalam kasus ini, KPK menyangka Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, menerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar. Suap diduga diberikan oleh Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. KPK menyangka Hiendra memberikan uang itu untuk sejumlah kasus perdata yang melibatkan perusahaannya.
Tercatat ada tiga perkara sumber suap dan gratifikasi Nurhadi. Pertama, perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, kedua sengketa saham di PT MIT, dan ketiga gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan. Diketahui Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu. Cek itu diterima saat mengurus perkara PT MIT vs PT KBN.(*/Ag)
JAKARTA – Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri (Kabag Penum Div Humas Mabes Polri), Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, hingga saat ini Permadi Arya atau yang dikenal Abu Janda belum memenuhi panggilan polisi.
Abu Janda dipanggil polisi terkait kasus dugaan ujaran kebencian di media sosial.
“Sampai saat ini A J belum memenuhi panggilan penyidik sehingga belum dapat dimintai keterangan,” katanya, Senin (1/6/2020).
Ahmad mengatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi yang berkaitan dengan laporan tersebut.
“Penyidik masih memeriksa saksi-saksi lain terkait laporan terhadap AJ,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) melaporkan Abu Janda ke Bareskrim Mabes Polri pada 10 Desember 2019. Kala itu, IKAMI melaporkan Abu Janda lantaran melontarkan kata-kata yang dianggap ujaran kebencian di media sosial, yakni, “teroris punya agama dan agamanya adalah Islam”.
Laporan bernomor STTL/572/XII/2019/Bareskrim langsung diterima, kemudian baru diproses pada akhir Mei 2020 kemarin.(*/Tub)
JAKARTA – Intimidasi terhadap panitia penyelenggara, moderator dan narasumber diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) terus memantik kecaman publik. Salah satunya dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid.
Fathul mengecam keras atas Menurutnya, tindakan itu bentuk upaya pembunuhan terhadap demokrasi.
“Salah satu contoh yang paling aktual yang menunjukkan upaya “pembunuhan’ demokrasi adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara dan narasumber Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada 29 Mei 2020,” kata dia dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (30/5/2020).
Fathul menyebut kegiatan diskusi yang berjudul Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan adalah murni aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar, sebagaimana yang disampaikan oleh oknum.
Menurutnya, tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, yang lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi.
“Tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi (Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum) sungguh tidak dapat dibenarkan baik secara hukum maupun akal sehat,” jelasnya.
Ia menyayangkan penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar. Padahal, diskusi tersebut belum dilaksanakan dan materinya belum dipaparkan. Bukan hanya tidak proporsional, intimidasi itu mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945.
“Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia, khususnya sivitas akademika Fakultas Hukum UII, merasa prihatin dengan kejadian intimidasi yang terjadi,” tuturnya.
Fathul menegaskan tindakan-tindakan berupa intimidasi, pembubaran hingga pemaksaan untuk membatalkan diskusi adalah tindakan yang tidak bisa diberi toleransi oleh hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan akademik. Karena itu, harus ada tindakan yang tegas dari penegak hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
“Meminta aparat penegak hukum untuk memproses, menyelidiki dan melakukan tindakan hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi dengan tegas dan adil,” desak Fathul.
Ia juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengawal penuntasan kasus tersebut. Begitu juga kepada Presiden Joko Widodo serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk memastikan terselenggaranya kebebasan akademik dalam kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.(*/Joh)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro