PROBOLINGGO – Tiga wartawan melaporkan atas tindakan tidak menyenangkan yang menimpa mereka kepada Propam Polres Probolinggo.
Mereka adalah Fahrul Mozza (44) asal Kecamatan Kanigaran, Septiyan Dwi Cahyo Efendi (26), dari Kecamatan Mayangan dan Suyono (36), asal Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo.
“Kami melapor kepada Polres Probolinggo pada Senin (15/6) setelah ditodong pistol oleh oknum anggota polisi,” kata Fahrul, Selasa (16/6/2020).
Ia menceritakan, dirinya bersama dua rekannya lain itu dalam perjalanan pulang usai meliput di Kecamatan Tiris pada Minggu (14/6) sekitar pukul 14.00 Wib.
“Tiba di Desa Jatiurip, Kecamatan Krejengan, mobil nopol L 1069 CV yang kami tumpangi langsung dipepet dan dihadang oleh segerombolan orang tak dikenal,” jelasnya.
Menurut Fahrul Mozza, mereka bertiga diminta keluar dan ditodong pistol oleh anggota polisi.
“Bahkan tangan saya dipelintir dan hendak diborgol. Saat itu saya bilang saya ini wartawan,” ceritanya.”Jadi kalau saya melakukan perlawanan fisik saat itu, sangat berpotensi peluru akan mengenai kami,” ujar dia.
Sementara itu, Kapolres Probolinggo AKBP Ferdy Irawan mengatakan permasalahan tersebut sudah diselesaikan. Ia tidak melarang ketiga wartawan itu untuk melaporkannya.
“Iya itu memang anggota saya, tapi boleh saja dia melakukan pelaporan dan kami akan tindak lanjuti jika memang keberatan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dari keterangan anggota itu diketahu jika mereka tengah menjalankan tugas menyelidiki kasus pencurian.
“Mobil tersebut dicurigai oleh anggota. Saat melakukan pemberhentian, pistol bukan ditodongkan itu sudah sesuai dengan SOP,” tukasnya.(*/Gio)
JAKARTA – Mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat, M Nazaruddin bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Ia bakal bebas seutuhnya setelah mendapatkan program cuti menjelang bebas (CMB).
Terpidana kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang itu mendapat program cuti menjelang bebas sejak 14 Juni 2020, dari Direktorat Jenderal Pemaayarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
“Betul yang bersangkutan (Nazaruddin) menjalankan Program Cuti Menjelang Bebas (CMB) pada tanggal 14 Juni 2020,” ujar Kabag Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti saat dikonfirmasi wartawan, Senin (16/6/2020).
Rika menambahkan, Nazarudin mendapatkan program CMB hingga 13 Agustus 2020. Selama masa itu, lanjutnya, Nazaruddin bakal diawasi serta mendapat bimbingan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Sukamiskin, Bandung.
“Dia wajib lapor kepada Bapas. Diawasi, pembimbingan oleh Bapas. Selama itu juga yang bersangkutan tidak boleh melakukan tindak pidana apa pun, dia tetap tidak boleh melakukan pelanggaran umum ataupun khusus,” kata Rika.
“Kalau sampai melakukan tindak pidana, CMB dihapuskan, kembali ke dalam lapas, menjalankan sisa pidana di program CMB, ditambah dengan pidana baru jika dia melakukan pidana baru,” lanjutnya.(*/Joh)
JAKARTA – Asisten Pribadi (Aspri) mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, divonis empat tahun penjara dengan denda sebesar Rp200 juta serta subsidair tiga bulan penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Ulum terbukti melakukan praktik korupsi terkait proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI Pusat kepada Kemenpora pada tahun anggaran 2018.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Miftahul Ulum berupa pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Hakim Ketua, Ni Made Sudani dalam putusannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/6/2020).
Hakim memutuskan, Ulum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap Rp11.500.000.000 bersama-sama dengan Imam Nahrawi.
Bahkan, hakim meyakini Ulum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp7,654 miliar bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Ulum berperan sebagai perantara uang yang diterima dari berbagai sumber untuk Imam Nahrawi.
Menurut majelis hakim, perbuatan Ulum tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 B jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Miftahul Ulum Pulungan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ujar Hakim Ni Made.
Dalam menjatuhkan hukuman, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa dinilai tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
“Hal meringankan, terdakwa sopan di persidangan, belum pernah dihukum, memiliki tanggungan keluarga, merasa salah, menyesali perbuatan dan berjanji tidak melakukan perbuatan, uang hasil terdakwa sebagian besar dinikmati orang lain dan sebagian kecil yang dinikmati terdakwa, terdakwa juga sudah meminta maaf,” tutur hakim.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK. Sebelumnya Ulum dituntut sembilan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Atas vonis tersebut, Ulum menyatakan menerima. Sementara Jaksa KPK menyatakan banding.
“Ketetapan yang mulia adalah ketetapan Tuhan saya akan mengikutinya untuk soal hukum PH saya yang akan bicara,” kata Ulum.
“Terdakwa menerima,” kata kuasa hukum Ulum, La Radi Eno.”Setelah koordinasi dengan tim JPU, kami ambil sikap untuk banding,” ucap Jaksa Ronald Worotikan.(*/Ag)
PADANG – Pria berinisial TD (41) ditangkap Tim Gagak Hitam Polres Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sebab ia diduga telah melakukan tindakan asusila kepada anak kandungnya yang masih berusia 16 tahun .
Korban diketahui telah hamil enam bulan.
“Dalam pengakuan tersangka ini dia salah kamar ketika mau tidur dan dia mengaku khilaf,” ujar Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman Iput Abdul Kadir Jailani, Senin (15/6/2020)
Pelaku pertama kali menyetubuhi anaknya pada November 2019 atau sekitar delapan bulan lalu. Pada 27 Mei lalu pelaku ini sempat kabur ke Pekanbaru.
“Tiba-tiba pada Jumat sore lalu, tersangka terlacak berada di Sicincin. Tim Gagak Hitam langsung turun dan menangkapnya. Saat itu tersangka hendak kabur ke Payakumbuh,” kata Abdul.
Sementara Kapolres Padang Pariaman AKBP Dian Nugraha menjelaskan sekarang tersangka yang diduga telah menghamili anak kandungnya itu sudah diamankan di Mapolres. Kepada penyidik, kata dia, pelaku telah mengakui perbuatan.
“Sejak November 2019 lalu tersangka, dia telah menyetubuhi anak kandungnya sebanyak lima kali. Atas perbuatannya, kini korban hamil enam bulan,” ucap Kapolres.
Pelaku yang tega menghamili anaknya tersebut kini terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. “Hukumannya 15 tahun ditambahkan sepertiga karena menyetubuhi anak kandungnya sendiri,”tandasnya.(*/Wid)
JAKARTA – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meminta, kepada aparat penegak hukum untuk ‘menggigit’ oknum pejabat yang nekat korupsi di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, pihak-pihak yang mencoba menyelewengkan anggaran penanganan virus corona sebesar Rp677,2 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Kapolri Jenderal Idham Azis menegaskan, siap menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk menindak tegas siapapun pihak yang berani menyelewengkan dana yang digelontorkan pemerintah untuk membantu perekonomian warga di tengah pandemi Covid-19.
“Ya, dalam situasi kondisi pandemi seperti ini apabila ada yang menyalahgunakan maka Polri tidak pernah ragu untuk ‘sikat’ dan memproses pidana,” kata Idham dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (15/6/2020).
Bahkan, Idham mengungkapkan, bahwa Korps Bhayangkara telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) di bawah komando Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo.
Tim tersebut, Kata Idham, tidak akan segan-segan menindak siapapun oknum yang menyalahgunakan dana dikhususkan bagi rakyat itu.
“Polri sudah membentuk satgas khusus di bawah kendali Kabareskrim,” ujar Idham.
Eks Kapolda Metro Jaya itu mengingatkan semua pihak, jangan sampai menyalahgunakan kelonggaran aturan dana Covid dengan tujuan memperkaya diri.
“Presiden sudah mempermudah proses pencairan dana Covid. Awas, siapa saja yang ingin bermain curang, akan saya sikat. Hukumannya sangat berat,” tandasnya.(*/Joh)
SURABAYA – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengingatkan agar pejabat baik itu pusat maupun daerah, tidak main-main dalam penggunaan anggaran bencana, terutama saat pandemi Covid-19.
Jika ada pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan anggaran bencana, maka bisa dihukum mati.
“Saya ingatkan, menurut UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), diancam dengan paling tinggi seumur hidup atau 20 tahun penjara. Namun, dalam keadaan bencana seperti saat Covid-19 ini, maka ancaman hukuman mati ini diberlakukan berdasarkan UU yang berlaku,” kata Mahfud saat video conference (vicon) Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2020 dalam Rangka Pengawasan Percepatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin (15/6/2020).
Saat ini, lanjutnya, penggunaan anggaran bencana pada wabah Covid-19 sudah diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Penanganan Pandemi Covid-19.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menekankan, tiga hal yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo terkait pengawasan anggaran selama kondisi darurat bencana. Pertama, tidak boleh mencari-cari kesalahan. Kedua, dalam proses pengawasan anggaran agar tidak sampai tumpang tindih.
Jika sudah diawasi oleh BPKP, maka tidak perlu kepolisian atau kejaksaan ikut memeriksa. Begitu pun sebaliknya.
“Ketiga, jangan sampai pengawasan penggunaan anggaran bencana ini menjadi industri hukum. Yang salah jadi benar atau yang benar jadi salah. Ini agar benar-benar dicamkan untuk semua aparat penegak hukum,”tandasnya.(*/Gio)
JAKARTA – Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) mengungkapkan sejumlah kejanggalan terkait tuntutan hukum pelaku penyiraman terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
Tuntutan ringan terhadap terdakwa dinilai dapat berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.
Peneliti Pukat UGM Agung Nugroho mengatakan, kejanggalan pertama adalah pernyataan jaksa yang mengatakan, bahwa tidak ada niat pelaku untuk melukai Novel. Kedua personel polisi aktif itu mengaku hanya ingin menyiram air keras ke badan Novel tetapi malah mengenai wajah.
“Pernyataan JPU yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru,” kata Agung Nugroho saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu(14/6/2020).
Agung menjelaskan, ada tiga unsur melakukan kejahatan berencana. Di antaranya memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.
“Terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas, terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman,” katanya.
Kejanggalan kedua berkenaan dengan pasal yang dikenakan terhadap para pelaku. Agung mengatakan, pasal yang dikenakan terhadap kedua terdakwa adalah 353 ayat (2) KUHP.
Dia mengatakan, padahal tindak pidana yang dilakukan kedua pelaku tergolong penganiayaan berat. Menurutnya, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.
Kejanggalan lainnya adalah JPU justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa. Agung mengatakan, jaksa seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan. Tegasnya, bukan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.
Dia mengungkapkan, terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Lanjutnya, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras, rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh tim pencari fakta maupun Komnas HAM.
Kejanggalan keempat berkaitan dengan tuntutan yang tidak logis hingga mencederai keadilan. Agung mengatakan, jaksa sebenarnya memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair.
“Namun alih-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara,” katanya.
Kejanggalan terakhir adalah tidak diungkapnya aktor intelektual dan motif kasus tersebut. Agung menjelaskan, alasan tindakan menyiram Novel karena rasa tidak suka merupakan motif yang tidak kuat.
Dia menjelaskan, dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Lanjutnya, berdasarkan temuan tim pencari fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel.
“Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan,” katanya.
Agung mengatakan, harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada palu majelis hakim. Menurutnya, tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan di atas tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar bahwa tuntutan JPU yang hanya satu tahun sangat ironis. Dia mengatakan, tuntutan itu tidak menggambarkan nuansa keprihatinan terhadap penghinaan profesi penegak hukum.
Dia mengatakan, peristiwa serupa padahal tidak mustahil suatu saat menimpa seorang JPU. Lanjuntya, putusan itu juga tidak memperlihatkan perlawanan terhadap tindakan yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Dia menilai, secara motif (mens rea) merupakan keanehan yang sangat jelas terhadap orang yang tidak pernah berhubungan dan tidak punya perselisihan apa pun melakukan penyiraman air keras. Menurunya, kemungkinan yang paling logis adalah para terdakwa merupakan orang suruhan.
“Sehingga harus dicari atau dilacak siapa dalang atau siapa aktor intelektual dari perbuatan pidana ini,”tegasnya.(*/Joh)
JAKARTA – Tim Pencari Fakta (TPF) Mabes Polri penyerangan dengan air keras terhadap Novel Baswedan, mengakui, persidangan terhadap dua terdakwa Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette belum mengakomidir hasil investigasi dan penyelidikan TPF. Mantan anggota tim pakar TPF Polri, Hendardi mengatakan, persidangan terhadap dua terdakwa selama ini, tak mengambil dugaan motif penyerangan dari hasil investigasi tim pencari fakta sebagai dasar penyidikan untuk diproses di pengadilan.
“Rekomendasi yang kami (TPF) sampaikan itu kan disetop. Lalu belakangan ada muncul pengakuan dari anggota Brimob (terdakwa Ronny dan Rahmad) yang saat ini dalam proses persidangan, itu persoalan lain,” kata Hendardi saat dihubungi ,dikutip dari republika, Sabtu (13/6).
Hendardi menyampaikan, rekomendasi TPF, dapat menjadi bahan penyidikan lanjutan terkait kasus yang sama, jika persidangan terhadap Ronny dan Rahmad, dianggap tak sesuai dengan keadilan korban, maupun masyarakat.
“Kalau soal (tuntutan) ringan atau beratnya hukuman (terhadap Ronny dan Rahmad) itu kita serahkan kepada hakim nantinya. Tetapi, inilah (pengadilan) seharusnya yang menjadi satu-satunya panggung untuk membuktikan adanya motif lain dari penyerangan terhadap Novel itu,” terang Hendardi.
Ia menolak tudingan banyak pihak, yang menilai persidangan terhadap Ronny dan Rahmad selama ini, cuma sandiwara. Karena, menurut dia, jika ada pembuktian lain, seharusnya disorongkan dalam persidangan.
Akan tetapi, ia memastikan, ada setumpuk hasil investigasi yang direkomendasikan TPF kepada Tim Teknis Kepolisian untuk mengungkap tuntas pelaku, aktor, dan motif utama penyerangan tersebut. Namun penyidikan untuk melanjutkan rekomendasi itu, terhenti di Tim Teknis.
“Dan itu (rekomendasi) kan sudah kita (TPF) sampaikan. Tetapi sepertinya memang belum (dijalankan). Karena ditengah jalan, itu ada orang yang mengaku sebagai pelaku (Ronny dan Rahmad). Dan itu, harus dibuktikan secara hukum, benar atau tidaknya mereka yang melakukan (penyerangan),” kata Hendardi.
Hendardi mengulas ulang tentang TPF bentukan Kapolri 2019 Jenderal Tito Karnavian. TPF bekerja melakukan investigasi sejak Januari 2019 terkait peristiwa penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan yang terjadi pada 2017. TPF menyampaikan laporan resmi hasil penyelidikannya Juli 2019. Dalam laporannya, TPF menguatkan dugaan motif penyerangan, terkait dengan penanganan kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan Novel Baswedan sebagai penyidik di KPK.
TPF menyebutkan, ada lima kasus. Yakni megakorupsi E-KTP, skandal suap dan gratifikasi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, serta perkara korupsi yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, juga penanganan korupsi Bupati Buol, Amran Batalipu, dan korupsi Wisma Atlet. Satu kasus umum yang menurut TPF kuat menjadi motif serangan terhadap Novel Baswedan, yakni terkait dengan penyidikan pencurian sarang burung walet di Bengkulu, saat Novel Baswedan berdinas di kepolisian 15 tahun lalu.
TPF, dalam rekomendasinya, meminta Mabes Polri membentuk Tim Teknis, sebagai grup penyidik khusus kepolisian untuk menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai jalan alternatif pengungkapan serangan terhadap Novel Baswedan. Tim Teknis yang beranggotakan lebih dari 120 penyidik, mulai terbentuk Oktober 2019. Hendardi melanjutkan, rekomendasi TPF kepada Tim Teknis, juga meminta agar penyidikan memanfaatkan teknologi mutakhir dari negara lain, untuk memperjelas rekaman cctv yang diambil dari lokasi penyerangan Novel Baswedan.
Penghujung Desember 2019, Polda Metro Jaya mengumumkan telah menangkap dua pelaku penyerang Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette. Kepolisian mengakui keduanya itu, sebagai anggota Polri aktif dari satuan Brimob. Kabareskrim Mabes Polri Komjen Sulistyo pernah mengungkapkan, Ronny dan Rahmad ditangkap setelah keduanya mengaku sebagai penyerang Novel Baswedan.
Ronny dan Rahmad, pun mengaku, perbuatan itu inisiatif pribadi lantaran dendam, dan sakit hati terhadap Novel Baswedan. Pengakuan dua anggota kepolisian tersebut, tak ada dalam rekomendasi hasil investigasi yang TPF kerjakan. Itu mengapa, Hendardi mengatakan pengakuan dendam, dan inisiatif pribadi dari Ronny dan Rahmad tersebut, perlu dibuktikan di pengadilan.
“Kalau dia (Ronny dan Rahmad) katanya bohong, sandiwara, inilah (pengadilan) satu-satunya jalan untuk mengungkap yang sebenarnya. Hasil kerja yang kami (TPF) lakukan, dan rekomendasi yang kami sampaikan masih ada di Tim Teknis,” kata Hendardi.
Rekomendasi tersebut, menurut Hendardi, bisa menjadi alternatif pengungkapan utuh penyerangan air keras yang membuat Novel Baswedan mengalami kebutaan permanen pada mata sebelah kirinya.(*/Tya)
JAKARTA – Ketua KPK Firli Bahuri angkat bicara terkait tuntutan rendah terhadap dua pelaku penyerang terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Komjen Firli berharap majelis hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam kasus tersebut.
“Prinsipnya adalah kita sebagai negara hukum kita akan ikuti proses hukum. Nanti kita harapkan hakim memberikan keputusan seadil-adilnya,” kata Bahuri, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/6).
Sebelumnya, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette,selaku dua orang terdakwa penyerang Baswedan dituntut satu tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat. Baswedan disiram air keras pada dini hari di depan rumahnya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mata kiri Novel Baswedan rusak permanen terpapar air keras.
Jaksa penutut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Ahmad Fatoni,di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6), melancarkan tuntutan berdasarkan dakwaan pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menilai, tuntutan rendah terhadap dua terdakwa penyerang Novel Baswedan dikhawatirkan berimplikasi buruk di masa mendatang. Hal itu, bisa membuat jalannya kerja pemberantasan korupsi terganggu.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap menyebut ketiga implikasi itu, pertama, berdampak pada tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi “Tuntutan rendah ini akan membuat para peneror yang mempunyai maksud untuk mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau bahkan mengulangi perbuatan teror terhadap pegawai bahkan pimpinan KPK,” ucap Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap melalui keterangannya di Jakarta, Jumat (13/6).
Penyerangan terhadap Novel Baswedan, lanjutnya, bukan merupakan penyerangan terhadap individu tetapi serangan terhadap penyidik KPK yang diberikan amanah oleh negara dalam menjalankan fungsinya secara independen. “Untuk itu, segala serangan tersebut harus dilihat dalam konteks serangan terhadap kerja pemberantasan korupsi sehingga harus ditangani secara serius,” ujarnya.
Bahkan, katanya, dalam laporan yang dibuat oleh Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan yang dibentuk Komnas HAM, secara tegas disebutkan bahwa serangan tersebut tidak terlepas dari pekerjaan yang dilakukan oleh Novel Baswedan. Kedua, ia menilai tuntutan rendah itu berdampak pada tidak terpenuhinya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengabaian hasil temuan institusi resmi negara.
Proses penyerangan terhadap Novel Baswedan memiliki dimensi perlindungan HAM dengan adanya penetapan Novel Baswedan sebagai human right defender oleh Komnas HAM dalam laporannya. “Terlebih, pada proses penegakan hukum, laporan Komnas HAM tidak ditampilkan secara utuh dalam proses pembuktian persidangan,” kata Yudi.
Ketiga, ia juga mengatakan tuntutan rendah tersebut juga berdampak pada tidak dimintakan pertanggungjawaban pelaku intelektual penyerang Novel Baswedan. Laporan Komnas HAM, kata dia, secara tegas menyinggung mengenai serangan yang dilakukan terhadap Novel Baswedan merupakan tindakan yang direncanakan dan sistematis yang melibatkan bebrapa pihak yang belum terungkap.
“Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan. Persidangan yang tidak membuka arah serangan sistematis dan rendahnya hukuman berpotensi membuat pelaku intelektual tidak dimintakan pertanggungjawaban,” kata Yudi.(*/Ag)
BANDUNG – PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menghormati proses hukum terkait kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kasus itu, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PTDI periode 2007-2017 Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama Bidang Bisnis Pemerintah PTDI Irzal Rinaldi Zailani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (12/6).
“PTDI dalam hal ini menghormati dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” kata Sekretaris Perusahaan PTDIIrlan Budiman dalam siaran persnya, Sabtu (13/6).
PTDI percaya bahwa KPK akan menjalankan tanggung jawab dan kewenangannya terkait proses penyidikan sesuai aturan hukum yang berlaku. Selain itu,PTDI juga akan bersikap kooperatif terhadap seluruh proses penyidikan yang sedang berjalan guna penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (12/6), resmi mengumumkan dua tersangka tindak pidana korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia (PTDI) periode 2007-2017.
Dua tersangka itu, yakni mantan Direktur Utama PTDI Budi Santoso (BS) dan mantan Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PTDI Irzal Rinaldi Zailani (IRZ).
“Kami akan menyampaikan tentang hasil penyidikan yang dilakukan oleh KPK terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam suatu kegiatan penjualan dan pemasaran yang terjadi di PTDI periode 2007-2017. Pengadaan dan pemasaran ini dilakukan secara fiktif,” ucap Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/6).
Pada awal 2008, lanjut Firli, tersangka Budi dan tersangka Irzal bersama-sama dengan para pihak lain melakukan kegiatan pemasaran penjualan di bidang bisnis di PTDI.(*/Hend)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro