JAKARTA – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril, menjelaskan salah satu program yang ia akan dorong adalah menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif.
Ia menjelaskan, ekosistem belajar guru harus dibangun dengan kerjasama antara pemangku kepentingan.
“Kita ingin di setiap provinsi terbentuk ekosistem pendidikan guru yang sifatnya inklusif, jadi antara sekolah, lalu ada di sana penggiat pendidikan, komunitas, akademisi, organisasi profesi, dan lain-lain itu semua bekerja barengan supaya memenuhi kebutuhan belajar guru yang relevan,” kata Iwan, dalam diskusi daring, Rabu (13/5).
Ia menyadari kondisi masing-masing guru di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat beragam. Guru di tiap daerah menghadapi tantangan-tantangan yang berbeda dan tidak bisa diselesaikan oleh satu jenis ekosistem belajar untuk guru.
“Relevan ini saya garis bawahi, karena sama dengan murid belajar, guru belajarnya pun perlu diferensiasi,” kata dia menambahkan.
Terkait hal tersebut, Kemendikbud ingin mensyaratkan bagaimana membentuk ekosistem belajar guru yang lebih berdaya. Menurut Iwan, hal ini perlu untuk menjadi bagian yang hadir di tiap provinsi.
Pelatihan guru tidak semuanya harus berada di pusat. Justru yang penting kini adalah melihat kebutuhan dan tantangan yang berbeda masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian dijadikan dasar ekosistem belajar untuk guru.
Selain itu, ia berharap komunitas pendidikan bisa bergotong royong dan saling melengkapi. Pada akhirnya, tujuan dari pendidikan yang diinginkan adalah bagaimana bisa melayani murid dengan baik.
“Jadi ini sebuah strategi yang menurut kami, kita nggak bisa sendirian. Jadi filosofi gotong royong dengan memberdayakan komunitas pendidikan adalah salah satu kunci bagaimana kita bisa membuat ekosistem belajar yang baik,” kata Iwan menegaskan.(/Ind)
JAKARTA – Pemerintah kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal tersebut tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020, setelah sebelumnya kenaikan iuran BPJS sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Merespon hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetyani menanggap pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap suasana kebatinan, dan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemu Covid-19. Sehingga ia menilai sangat menciderai hati masyarakat.
“Bahkan menurut beberapa pakar kondisi ekonomi kita akan terganggu hingga akhir tahun bahkan awal tahun depan. Maka kebijakan kenaikan ini sangat menciderai kemanusiaan,”ujar Netty kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Menurut Netty, kenaikan iuran BPJS pun menjadi kado lebaran yang buruk bagi masyarakat yang akan merayakan dalam beberapa hari lagi. Ia menilai masyarakat sudah gusar dengan banyaknya beban kehidupan yang ditanggung oleh rakyat.
“Sebut saja kebaikan (TDL) Tarif Dasar Listrik, harga BBM yang tak kunjung turun, bahkan daya beli masyarakat yang semakin menurun,” ucapnya.
Ia melanjutkan jika kebijakan kenaikan iuran BPJS semakin mempersulit kehidupan masyarakat semakin sengsara dan ambyar. Seharusnya, pemerintah fokus dalam penanganan kesehatan terhadap Covid-19 dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah disiapkan.
“Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif dan membingungkan,” tegasnya.
Lebih jauh, Netty menekankan bilamana kebijakan subsidi yang diberikan kepada kelompok kelas 3 PBPU harus bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan tepat sasaran mengingat carut marutnya persoalan data kepesertaan BPJS.
Apalagi, kata Netty, jumlah peserta kelas 3 ini paling banyak dari kelas lainnya setelah terjadi migrasi dari kelas 1 dan 2 ke kelas 3 yang diakibatkan kenaikan premi Perpres 75/2019.
“Seharusnya pemerintah (presiden) melaksanakan putusan MA yang membatalkan sebagian Perpres 75/2019 ini, secara sungguh-sungguh karna putusan ini mengikat. Jangan malah bermain-main dan mengakali/mencederai hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020 ini. Seharusnya pemerintah menjadi contoh Institusi yang baik dan taat hukum jangan malah sebaliknya,” tutupnya.
Sebagaimana diketahui pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan . Setelah sebelumnya kenaikan iuran pada 2020 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.(*/Joh)
JAKARTA – Pemerintah mengklarifikasi rencana pelonggaran pembatasan sosial dengan mengizinkan warga dengan usia di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja dan beraktivitas normal.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan, prioritas bagi pekerja berusia muda untuk kembali bekerja hanya diperuntukkan bagi sejumlah sektor yang memang diperbolehkan beroperasi selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berjalan.
Artinya, pernyataan Gugus Tugas kemarin lebih bersifat imbauan kepada pemilik usaha yang diberi izin beroperasi, agar memprioritaskan pegawai dengan usia di bawah 45 tahun untuk tetap bekerja. Cara ini juga diyakini bisa menekan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB memang disebutkan mengenai bidang usaha yang dikecualikan dalam peliburan aktivitas tempat kerja.
Pasal 13 ayat 3 beleid tersebut menjelaskan, bidang usaha yang diperbolehkan tetap buka selama PSBB antara lain kantor atau instansi yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, BBM dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian dan keuangan, komunikasi, industri serta ekspor-impor, distribusi dan logistik, serta kebutuhan dasar lainnya.
“Kenapa kita menganjurkan para pimpinan perusahaan di kantor untuk berikan prioritas untuk kelompok usia yang relatif muda, karena menurut data, bahwa usia 60 tahun ke atas mengalami angka kematian tertinggi (akibat Covid-19) yaitu 45 persen,” jelas Doni usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Selasa (12/5).
Doni menekankan, bahwa imbauannya memang ditujukan kepada pemilik usaha yang sektornya sudah ditentukan dalam PMK 9/2020, agar memprioritaskan pegawai muda. Faktor kesehatan menjadi alasan di baliknya.
Menurut data Gugus Tugas, pasien Covid-19 berusia 46-59 tahun mencatatkan tingkat kematian 40 persen. Kebanyakan dari mereka yang meninggal dunia memiliki riwayat penyakit menahun seperti hipertensi, diabetes, jantung, asma, ginjal, dan penyakit lainnya.
“Maka tentunya seluruh pimpinan di perusahaan, seluruh para manajer, kepala di tiap-tiap bagian yang mempekerjakan karyawan pegawai harus memperhitungkan faktor data yang telah berhasil dikumpulkan oleh gugus tugas gabungan dari ahli epidemiolog dari berbagai perguruan tinggi termasuk tim dari Kemenkes,” ungkapnya.(*/Ad)
JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mendorong agar pemerintah menyusun peraturan yang berpihak kepada sekolah swasta. Ia mengatakan, dalam menyusun cetak biru pendidikan konsep kemitraan antara pemerintah dan swasta harus ditonjolkan.
“Dalam menyusun blueprint yang baru, dalam merevisi UU Sisdiknas sudah harus ditegaskan bahwa harus terjadi kemitraan antara pihak swasta dan pihak pemerintah. Untuk menjadi mitra harus sejajar,” kata Indra, dalam diskusi secara daring, Selasa (12/5/2020).
Selama ini, ia menilai dalam implementasi di lapangan hubungan antara pemerintah dan swasta tidak bermitra. Sekolah swasta seakan-akan menjadi bawahan dan harus menuruti aturan-aturan yang ditetapkan.
Ia mencontohkan salah satu satuan pendidikan kerjasama (SPK) atau sekolah internasional yang terdapat mata pelajaran bahasa daerah. Indra menilai, bagi SPK pelajaran bahasa daerah tidak diperlukan. Berbeda dengan seni daerah yang mungkin bisa dipelajari, namun tidak tepat untuk bahasa daerah.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah mengatakan sekolah swasta di Indonesia memiliki jumlah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penting untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah swasta di Indonesia.
Peran masyarakat terhadap pendidikan harus terus ditingkatkan. Munculnya sekolah swasta sebenarnya dapat membantu pemerataan pendidikan di Indonesia.
Ferdiansyah pun berharap agar peran masyarakat ini semakin diperluas.
Sekolah swasta dalam hal ini tidak hanya sekolah umum namun juga sekolah luar biasa (SLB) dan juga perguruan tinggi. Ia menjelaskan, SLB di Indonesia banyak yang berstatus swasta daripada yang negeri. Namun, secara aturan sekolah ataupun perguruan tinggi swasta tidak memiliki peraturan khusus yang mendukung mereka.
“Konsep publik dalam dunia pendidikan, saya rasa harus ini yang ditawarkan karena kita tidak akan berhasil kalau hanya bergantung pada APBN saja,” kata Ferdiansyah dalam kesempatan yang sama.
Pemimpin dan pendiri SIS Group of Schools, Jaspal Sidhu mengatakan di negara asalnya Singapura, pemerintah memiliki peraturan yang jelas. Peraturan tersebut memisahkan sekolah negeri dan sekolah swasta. Hal ini menyebabkan pengelolaannya menjadi lebih mudah.
“Di Amerika juga begitu. Mereka punya sistem yang bernama charter school, di mana pemerintah mendanai sekolah ini tapi sektor swasta yang mengelola,” kata Jaspal.
Terkait fakta yang ada di lapangan tersebut, Indra menyarankan agar jenis sekolah di Indonesia dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis sekolah tersebut adalah sekolah negeri, sekolah piagam (charter school), dan sekolah swasta.
Sekolah negeri, ia menjelaskan, harus bebas pungutan dan diutamakan untuk masyarakat prasejahtera. Ia juga menyarankan agar sekolah negeri dibuat menjadi satker (satuan kerja). Sebab, anggaran untuk satker akan disesuaikan dengan kebutuhan.
Jenis kedua adalah sekolah piagam atau charter school. Ia menjelaskan, pengelolaan sekolah piagam dilakukan swasta namun anggarannya didukung oleh pemerintah. Bisa juga menggunakan hibah persiswa.
“Ini akan memudahkan pemerintah dalam membuka akses (pendidikan). Mereka tidak harus membangun gedung baru atau mencari guru. Karena banyak sekolah yang dibangun misionaris dulu, dan cukup disuntik bantuan saja bisa berkembang daripada harus membangun sekolah baru,” kata Indra.
Jenis ketiga adalah sekolah swasta termasuk juga sekolah SPK. Sekolah ini sepenuhnya dikelola swasta dan diberikan kebebasan untuk menyusun kurikulum sendiri. Pembiayaan juga dibebaskan dengan menerima pungutan dari siswa-siswinya.
“Kita tidak perlu takut ini menjadi komersial, karena semakin dia komersial, pajaknya semakin tinggi dan ini juga akan bermanfaat bagi bangsa ini. Toh kita masih punya sekolah negeri dan sekolah piagam,” katanya.(*/Ind)
JAKARTA – Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengumumkan hingga Selasa (12/5) sekitar 5.303 orang dinyatakan positif Covid-19 di Jakarta. Dari jumlah itu terdapat peningkatan pasien sembuh sebanyak 427 orang.
Peningkatan pasien sembuh dari 835 hari kemarin sampai 1.252 orang hari ini, merupakan penambahan yang tertinggi selama pandemi Covid-19 terjadi di Jakarta. Sementara itu, dari 5.303 kasus positif (hari sebelumnya 5.195 orang), 456 orang dinyatakan meninggal dunia (naik tiga orang), kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia, di Balai Kota Jakarta, Selasa.
Ia melanjutkan, jumlah 1.252 orang sembuh itu, dalam persentase, meningkat dari jumlah sebelumnya 16 persen dari jumlah kasus positif per Senin (11/5). Jumlah tersebut sekitar 24 persen dari jumlah kasus positif Selasa ini.
“Sementara jumlah pasien meninggal dunia 457 orang (atau sekitar delapan persen), yang meningkat dari jumlah sebelumnya sebanyak 453 orang meninggal dunia,” katanya.
Dari jumlah pasien positif itu, sekitar 1.844 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit (turun dibanding hari sebelumnya 2.267 pasien). Sedangkan, ada 1.741 orang melakukan isolasi mandiri di rumah (naik dari sebelumnya 1.640 orang).
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi DKI Jakarta juga mencatat di Jakarta, ada yang tergolong orang tanpa gejala (OTG) sebanyak 1.909 orang (meningkat dari sebelumnya sebanyak 1.840 orang).
Berdasarkan keterangan dari Pemprov DKI Jakarta, orang dalam pemantauan (ODP) berjumlah 8.592 orang (bertambah dari 7.859 orang) dengan rincian 8.411 sudah selesai prosesnya (bertambah dari sebelumnya 7.601 orang), serta 181 masih dalam pemantauan (berkurang dari sebelumnya 258 orang).
Namun demikian, angka tersebut berbeda dengan yang tertera dalam laman web www.corona.jakarta.go.id yang menyebutkan jumlah ODP seluruhnya 10.501 orang dengan rincian 10.3020 sudah selesai proses pemantauan, serta 181 orang dalam proses pemantauan.
Sementara itu, pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 7.095 orang (meningkat dari sebelumnya sebanyak 6.758 orang) yang memiliki rincian 6.508 sudah pulang dari perawatan (meningkat dari sebelumnya 5.525 orang) dan 587 orang masih dirawat (berkurang dari sebelumnya 1.233 orang).(*/Tya)
BANDUNG – Proses pendaftaran sampai seleksi Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Provinsi Jawa Barat (Jabar) berbeda dengan tahun sebelumnya. Karena tahun ini, PPDB akan digelar secara online atau daring dengan masih merebaknya pandemi Covid-19.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jabar Dewi Sartika, pada PPDB kali ini, Disdik Jabar akan memberikan akun kepada sekolah dan peserta didik untuk melakukan pendaftaran. Kedua akun tersebut, akan diberikan kepada SMP dan sederajat di seluruh Jabar.
Menurut Dewi, pihaknya pun akan memastikan kesiapan Disdik Jabar dalam melaksanakan PPDB Tahun 2020/2021. Yakni, mulai dari operasional, seperti sistem dan bandwidth, sampai sosialiasi kepada kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik.
“Tahun ini kita sedang menjalani pandemi Covid-19, sehingga seluruhnya kita fokus untuk menghindari kerumunan. Kita melaksanakan pendaftaran ini semuanya melalui daring,” ujar Dewi dalam jumpa pers di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (11/5/2020).
Pelaksanaan PPDB Tahun 2020/2021 Jabar sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 37 Tahun 2020 tentang PPDB pada SMA/SMK/SLB.
Dewi mengatakan, berdasarkan regulasi tersebut, terdapat empat jalur pada PPDB SMA yakni jalur zonasi dengan kuota minimal 50 persen, prestasi dengan kuota minimal 25 persen, afirmasi atau ekonomi tidak mampu dengan kuota minimal 20 persen, dan perpindahan orang tua dengan kuota minimal 5 persen.
Sementara untuk SMK, kata dia, hanya ada tiga jalur. Yakni, prestasi, afirmasi, dan perpindahan. “Tidak ada jalur zonasi untuk SMK karena SMK itu langsung disesuaikan dengan jurusan atau pilihan dari masing-masing peserta didik. Untuk SLB disesuaikan dengan jenis kebutuhan daripada siswa,” katanya.
Menurut Dewi, ada dua tahapan dalam PPDB Jabar tahun ini. Tahap pertama untuk jalur prestasi, jalur afirmasi, dan jalur perpindahan yang akan dilaksanakan pada 8-12 Juni 2020. Sedangkan tahap kedua untuk jalur zonasi pada 25 Juni-1 Juli 2020.
“Tentu dari sekarang tanggal 11 (Mei 2020) sampai pendaftaran 8 Juni ini persiapan-persiapan terkait pendataan kita lakukan. Lalu, kita akan berkomunikasi dengan pendaftar ataupun juga sekolah asal dalam hal ini terkait pelaksanaan PPDB,” katanya.
Agar PPDB berjalan optimal, Dewi mengimbau kepada guru, khususnya wali kelas, untuk menjalin komunikasi yang baik dengan peserta didik terkait akun, proses pendaftaran, dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Sebab, komunikasi wali kelas menjadi salah satu kunci kesuksesan PPDB Jabar Tahun 2020/2021.
“Melalui apa anak-anak mendapatkan akun? Ini harus ada komunikasi sekolah asal dalam hal ini SMP dan MTS. Harus ada sebuah komunikasi antara wali kelas dan masing-masing peserta didik di sekolah asal,” katanya.
Dewi mengatakan, belum lama ini, ia pun melakukan rapat virtual Disdik Jabar dan Disdik se-Jabar. Karena, PPDB 2020/2021 akan sukses ketika kita berkerja sama dan berkolaborasi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dewi menegaskan, pengumuman dan penetapan PPDB Tahun 2020/2021 menjadi kewenangan sekolah. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
“Sekolah secara mandiri melalui dewan guru dan kepala sekolah menetapkan peserta didik yang akan diterima di sekolah tersebut. Penetapan akan dikeluarkan melalui SK Kepsek dan dilaporkan kepada provinsi untuk diumumkan melalui sistem,” jelasnya.(*/Hend)
CIMAHI – Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Nugroho Budi Wiryanto menyerahkan secara simbolis bantuan nasi kotak ready to eat untuk sejumlah rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19, Senin (11/5).
Penyerahan bantuan Siliwangi Peduli Covid-19 yang dilakukan di Aula Rumah Sakit Dustira Cimahi ini, hasil kerja sama antara Kodam III/Siliwangi dengan dua perusahaan.
“Bantuan ini bentuk kepedulian Kodam III Siliwangi dengan memberikan makanan siap santap bagi tenaga medis. Dalam hal ini kami bekerja sama dengan PT Japfa Comfeed Indonesia dan PT Seneca Indonesia,” sebutnya kepada wartawan usai kegiatan.
Pangdam menyebutkan, bantuan makanan ini akan didistribusikan ke para tenaga medis yang berada di wilayah Kodam III/Siliwangi di Jawa Barat dan Banten.
Dirinya memastikan makanan yang diberikan sehat dan bergizi berisi nasi, ikan, telor, sayuran, dan sajian pendukung lainnya. Semoga bantuan ini bisa membantu asupan gizi bagi para tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam penanganan Covid-19 ini.
“Mari kita doakan dan support terus rekan-rekan tenaga medis ini yang masih berjuang, menangani saudara-saudara kita yang terkena virus ini supaya tetap sehat dan pasiennya segera sembuh,” tuturnya.
Bantuan nasi kotak ready to eat ini diperuntukkan bagi berbuka puasa tenaga medis dan setiap hari didistribusikan 3.000 nasi kotak selama tujuh hari mulai tanggal 6-12 Mei 2020.
Semuanya dibagikan kepada tenaga medis di 36 Rumah Sakit, di antaranya di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, KBB, Kota Cimahi, Kabupaten Purwakarta, Subang dan Kabupaten Karawang.
Selain itu, kepedulian Kodam III/Siliwangi lainnya yang sudah dilakukan adalah dengan memberikan bantuan masker, APD, disinfektan dan hand sanitizer ke sejumlah rumah sakit.
Semuanya hasil kerja sama beberapa lembaga dan organisasi lain yang memiliki kepedulian terhadap pendemi Covid-19 yang saat ini sedang menjadi perhatian pemerintah guna dientaskan bersama-sama.
Salah seorang tenaga medis di RS Dustira, Arie Puspita Ningrum mengucapkan terima kasih atas bantuan dan perhatian yang diberikan untuk tenaga medis ini.
Dia menuturkan, momen saat ini adalah masa-masa terberat yang harus dilakukan tenaga medis seperti dirinya. Ini dikarenakan selama bekerja dirinya harus mengenakan APD lengkap supaya tidak terpapar dan harus bersih-bersih hingga steril sebelum pulang.
“Kekhawatiran ada tapi saat bertugas dari pukul 08.00-15.00 WIB kami selalu memakai APD lengkap. Adanya bantuan seperti ini kami merasa terbantu dan diperhatikan, makanya saya sangat berterima kasih,”tuturnya.(*/Hend)
BANDUNG – Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat (Jabar) mengumumkan pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) di rumah serta pelaksanaan tugas pengawas sekolah diperpanjang hingga 29 Mei 2020.
Hal tersebut merujuk surat Nomor: 443/ 5867 – Set.Disdik tentang Perpanjangan Waktu Pelaksanaan PBM di Rumah.
Selain itu, karena tanggal 22 Mei 2020 ditetapkan sebagai cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah dan tanggal 24 hingga 25 Mei 2020 ditetapkan sebagai libur Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, maka tidak dilaksanakan PBM di rumah.
Kadisdik Jabar, Dewi Sartika menyatakan, keputusan tersebut memperhatikan perkembangan kondisi terkini terkait penyebaran Covid-19 di Provinsi Jawa Barat serta berdasarkan Keputusan Bersama Menag, Menaker, dan Menpan RB Republik Indonesia Nomor 391 Tahun 2020, Nomor 02 Tahun 2020, dan Nomor 02 Tahun 2020; Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020; Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 36 Tahun 2020; dan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 443/Kep.189-Hukham/2020.
“Serta memperhatikan surat kami sebelumnya Nomor 443/ 5037 – Set.Disdik tanggal 23 April 2020 perihal Perpanjangan Waktu Pelaksanaan PBM di rumah dan Perubahan Informasi Kegiatan Akademik Tahun Pelajaran 2019/2020, perlu dilaksanakan penyesuaian kembali pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM) di rumah,” tutur Kadisdik, Senin (11/5/2020).
Kadisdik menginformasikan kepada seluruh pengawas dan kepala SMA/SMK/SLB, bahwa ada lima poin yang cukup penting, pertama pelaksanaan PBM di rumah serta pelaksanaan tugas pengawas sekolah, kepala sekolah, kasubbag tata usaha sekolah, guru, dan tenaga kependidikan diperpanjang sampai tanggal 29 Mei 2020.
Kedua pada tanggal 22 Mei 2020 yang ditetapkan sebagai cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah dan pada tanggal 24 s.d. 25 Mei 2020 yang ditetapkan sebagai libur Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, tidak dilaksanakan PBM di rumah.
Ketiga surat dan/atau petunjuk teknis yang telah disampaikan sebelumnya, masih tetap dipedomani dengan penyesuaian atas surat ini.
Keempat pelaksanaan PBM di rumah dan pelaksanaan tugas pengawas sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan masa berlakunya dapat diperpanjang/diperpendek sesuai kebutuhan penyelenggaraan penanganan darurat bencana akibat Covid-19 di lapangan.
“Yang kelima komite sekolah agar berpartisipasi melaksanakan koordinasi dengan orang tua peserta didik dalam bekerja sama, membimbing, memperhatikan, mendampingi, dan mengawasi peserta didik dalam melaksanakan PBM di rumah,”” tambah Dewi.
Dia menambahkan berkenaan dengan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK/SLB tahun 2020, Kadisdik mengimbau Kacadisdik bersama seluruh pengawas menyampaikan kanal-kanal informasi PPDB kepada Kadisdik Kab./Kota dan kepala SMP/MTs. di sekitar wilayah masing-masing.
“Sampaikan kanal-kanal informasi resmi PPDB kepada Kadisdik kabupaten/kota dan kepala sekolah di sekitar wilayah masing-masing,” tandasnya. (*/Hend)
YOGYAKARTA – Praktisi pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mengungkapkan pandemi Covid-19 telah berhasil memaksa pendidikan merevolusi dirinya, membongkar paradigma lama tentang pembelajaran, serta melakukan transformasi keilmuan.
Akibat pandemi, kata dia, pendidikan harus mengubah pengelolaan dan praktiknya secara mendasar dan sangat cepat. Kurang dari dua pekan, pendidikan harus mengubah kebiasaan mengajar di sekolah atau di kampus menjadi belajar di rumah. Hal ini kemudian menjadikan rumah beralih fungsi sebagai lingkungan belajar baru.
“Covid-19 memaksa siswa dan mahasiswa melakukan belajar mandiri dan kolaboratif,” kata Rizal dalam Kuliah Sore Alternatif Ramadhan 1441 Hijriah bertema ‘Transformasi Pendidikan di Era Corona’ yang disiarkan langsung via aplikasi Zoom, Youtube, dan Facebook, Jumat (8/5)
Belajar di rumah, menurut Rizal membawa tuntutan orientasi kurikulum yang tidak boleh lagi hanya mengejar ketuntasan materi ajar atau penguasaan hafalan dan rumus, melainkan keterampilan melakukan belanja mandiri (self-study). Tujuan utamanya adalah mendorong pendidik dan siswa untuk selalu belajar dengan senang.
“Secara paradigmatik, Covid-19 akan menghentikan institusi pendidikan yang hanya berorientasi pada hasil. Jadi, semua harus dirancang ulang. Dosen dan muridnya harus melakukan peran sosial. Sehingga, hal ini harus didukung pola belajar yang menyenangkan,” tutur pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut
Menurut Rizal, hal terkait transfer pengetahuan, administrasi, dan rutinitas pendidikan sudah harus digantikan teknologi. Ke depannya, suasana belajar harus lebih menyenangkan, meningkatkan kolaborasi anak dan orang tua serta pendidik untuk saling mempelajari pengetahuan atau keterampilan di tengah wabah.
“Kebiasaan baru ini harus diikuti dengan mengubah pola pikir guru yang terlanjur nyaman dengan cara lama yaitu dari konvensional ke blended learning dengan memanfaatkan teknologi sebagai enabler budaya belajar baru, bukan sekedar kosmetik pembelajaran,” kata Rizal.
Sementara menurut pembicara lainnya, Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Titi Savitri Prihatiningsih, pemanfaatan teknologi di masa pandemi ini juga berpengaruh pada kebiasaan anak sehari-hari. Gawai lebih mendominasi anak dan pendidikan jadi tereduksi, terutama dalam aspek pengetahuan.
“Kita harus melihat lagi, bahwa sebenarnya founding fathers bangsa itu sudah sangat visioner. Beriman bertakwa, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani rohani, memiliki rasa tanggung jawab adalah poin-poin yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Namun, saat ini kita lebih fokus hanya pada pengetahuan dan keterampilan. Padahal ada banyak tujuan lain yang selama ini cenderung kita abaikan,” kata Titi.
Meski demikian, menurut Titi, Covid-19 ini pun ada hikmahnya, yakni keluarga diperintahkan untuk di rumah. “Menurut saya luar biasa untuk memberikan waktu kepada kami sebagai orang tua. Covid ini menjadi titik balik manusia, untuk menyadari apa sih yang kita kejar selama ini? Ini menjadi titik balik kita untuk merenungi apa sih tujuan hidup kita selama ini?” katanya.
Titi menawarkan solusi bahwa kita harus merelaksasi waktu. Jadwal sekolah dikurangi, yakni 50 persen di sekolah dan 50 persen di rumah. Tapi di rumah harus terstruktur dan lembaga juga harus memberikan flexi time untuk orang tua. Flexi time tidak hanya bekerja dari rumah, namun juga membawa anak-anaknya bekerja.
“Covid ini sebagai tombak gerakan out of the box kebijakan untuk mengembalikan manusia ke fitrahnya. Saya pun berharap sekolah bukan sekadar untuk mentransfer ilmu, tapi untuk membentuk kepribadian anak,” tutur Titi.
Sementara itu, narasumber ketiga yaitu Kepala Kopertis/LLDikti Wilayah V 2010-2019, Bambang Supriyadi menyatakan ke depan institusi pendidikan harus menyiapkan diri supaya tidak terjadi kebuntuan proses pendidikan atau pengajarannya.
“Masalah kesiapan teknologi adalah masalah yang harus diselesaikan, baik bagi penyelenggara pendidikan maupun peserta. Institusi pendidikan harus segera berubah dan belajar menghadapi itu,” kata Bambang.
Dalam hal ini ada kesamaan semangat dari para narasumber bahwa proses akselerasi harus segera dilakukan oleh pemerintah, institusi pendidikan, dan keluarga.(*/Ind)
JAKARTA – Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan, mayoritas orang positif terinfeksi virus corona di Indonesia memiliki gejala awal berupa batuk.
“Jadi kalau kita lihat dari gejala positif yang ada ternyata gejala yang paling sering muncul itu adalah batuk. Jadi paling mudah kita lihat dari batuk dan terlihat persentasinya batuk paling tinggi,” kata Wiku saat diskusi di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (9/5/2020).
Dijelaskan Wiku, kesimpulan banyaknya penderita Covid-19 diawali dengan gejala batuk merujuk data yang dikumpulkan Gugus Tugas dari seluruh rumah sakit, puskesmas, hingga Dinas Kesehatan di daerah-daerah.
“Jadi Covid-19 itu bisa kita lihat gerakannya dari refleksi, dari data yang ada. Di mana, pertama kita bisa lihat dari data yang ada, kita lihat dari gejala positifnya,” ujarnya.
Data-data yang dikumpulkan tersebut, kata Wiku, digunakan sebagai bahan untuk menganalisis dalam perang melawan Covid-19, sehingga masyarakat bisa mengetahui dan mengantisipasi Covid-19 secara mandiri.
“Dengan pengumpulan data yang lebih lengkap dari seluruh daerah, dari dinkes, rumah sakit, puskesmas, kalau kita kumpulkan, kita bisa melihat bagaimana sebenernya yang terjadi di Indonesia. Karena data yang ada ini adalah navigasi buat kita bersama, sehingga kita bisa lihat pergerakan lawan kita,”tandasnya.(*/Ag)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro