DEPOK – Dengan diperpanjang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok juga akan memperpanjang masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sebelumnya berakhir 30 April menjadi 30 Mei 2020.
Keputusan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Wali Kota Depok Nomor 443/177/Kpts/Dinkes/Huk/2020 yakni tentang Pemberlakuan Pelaksanaan PSBB dalam penanganan Covid-19 di Kota Depok.
“Semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang terpapar virus Corona (Covid-19), dengan ini kami memutuskan untuk memperpanjang masa belajar di rumah hingga 30 Mei 2020,” terang Wali Kota Depok, Mohammad Idris dalam siaran pers, Sabtu (2/5).
Menurut Idris, keputusan perpanjangan PJJ ini berlaku bagi siswa PAUD/TK hingga SMA sederajat. “Termasuk juga lembaga pendidikan non-formal di Kota Depok,” ucapnya.
Kepala Disdik Kota Depok, Mohammad Thamrin menambahkan, dengan perpanjangan PJJ ini, siswa diharapkan mengisi kegiatan dengan hal yang positif. Seperti di Ramadan kali ini, ucapnya, bisa diisi dengan mengikuti pesantren kilat (sanlat) virtual.
“Harapan kami, para orangtua dapat membantu anak-anaknya menanamkan nilai-nilai religiusitas dan penguatan karakter,”ungkapnya.(*/Idr)
BOGOR – Sejumlah orangtua siswa di Kota Bogor, khususnya di sekolah swasta mempertanyakan kebijakan Dinas Pendidikan Kota Bogor terkait sistem pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di tengah wabah covid-19.
Menjawab itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor Fahrudin, menyatakan bahwa tidak bisa dipungkiri saat ini sekolah sedang membutuhkan dukungan dari orangtua murid untuk operasional sekolah.
“Sekolah memang sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat, terutama untuk honor guru di sekolah swasta. Kalau sekolah negeri tidak ada masalah. Di swasta ini kan honor guru dari sekolah, diantaranya dari iuran siswa (SPP) sehingga sekolah sangat terbantu untuk membayar honor guru jika keuangan dari orangtua murid itu masuk,” kata Fahrudin, dalam keterangannya, Jumat (1/5/2020).
Di sisi lain, kata dia, kondisi pandemi seperti yang saat ini terjadi membuat sejumlah orangtua murid mengaku sama-sama sedang merasa kesulitan. Untuk itu, diperlukan komunikasi antara orangtua dengan sekolah agar saling memahami kondiai saat ini.
“Memang diperlukan sikap gotong royong, keterbukaan, kerjasama saat seperti ini. Untuk orangtua yang mampu segera bantu sekolah untuk mengatasi operasionalnya. Untuk yang tidak mampu jangan khawatir. Jangan terlalu jadi beban. Kita hanya mengimbau agar sekolah sekolah paham dengan kondisi masyarakat. Tetapi masyarakat juga harus paham kondisi sekolah, bahwa sekolah memerlukan operasional. Tinggal komunikasi saja,” ungkapnya.
Di tengah kondisi yang serba tidak menentu, Kadisdik juga menyatakan bahwa sampai saat ini pihaknya belum bisa memastikan kapan situasi ini akan normal.
“Yang sekarang itu (siswa) akan masuk kembali pada 29 Mei 2020. Sampai habis libur Idul Fitri. Tapi jika melihat tren dan perkembangan COvid, sepertinya akan diperpanjang lagi nanti sampai pada kenaikan kelas sekitar akhir Juni. Nanti kita arahan dari pemerintah seperti apa,” tambah Fahrudin.
Ia menjelaskan, kalau melihat atau dari pengalaman negara-negara lain, Dinas Pendidikan harus mempersiapkan metode belajar jarak jauh tidak hanya sampai kenaikan kelas saja.
“Tapi harus sampai melebihi itu. Kita sedang mempersiapkan pembelajaran jarak jauh untuk tahun pelajaran baru sesuai juga dengan hal yang sedang dipersiapkan oleh Kementerian. Nanti kita akan manfaatkan TV lokal, radio lokal agar pembelajaran jarak jauh lebih efektif,” jelasnya.
Menurutnya, sejauh ini pembelajaran jarak jauh di masa covid-19 diutamakan kepada peningkatan kecakapan hidup atau life skill di tengah-tengah keluarga menghadapi pandemi covid-19. Para guru memanfaatkan aplikasi video conference seperti zoom maupun google meeting serta WhatsApp Group.
“Lalu terkait pembiasaan beribadah di bulan suci Ramadhan. Jadi konten-konten itu, pola hidup sehat, kerjasama di keluarga dan banyak pelajaran yang bisa kita ambil dengan Covid ini.
Teknologi juga sangat luar biasa. Selain keimanan yang harus kita tingkatkan, penguasaan teknologi juga agar kita tetap bisa belajar sesuai dengan harapan kurikulum, minimal tidak terlalu jauh dengan harapan kurikulum.
Tentunya ilmu, iman, termasuk teknologi menjadi salah satu pelajaran untuk kita bahwa pendidikan itu jangan lepas dari situ,” tandasnya.(*/Ad)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengimbau untuk tidak melakukan upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2020 dikarenakan masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im mengatakan untuk sementara tidak melakukan upacara bendera dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, sesuai anjuran Bapak Presiden untuk melakukan pembatasan sosial dan jaga jarak untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
“Kami anjurkan untuk memperingati dan memeriahkan Hardiknas 2020 dapat dilakukan melalui beragam kegiatan kreatif yang menjaga dan membangkitkan semangat belajar di masa darurat Covid-19,” ungkap Ainun Naim.
Kemendikbud selaku panitia peringatan Hardiknas 2020 mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020. Dalam pedoman tersebut, Kemendikbud meniadakan penyelenggaraan upacara bendera yang umumnya dilakukan satuan pendidikan, kantor Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, serta perwakilan pemerintah Republik Indonesia di luar negeri sebagai bentuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Pemberitahuan ini disampaikan melalui surat yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42518/MPK.A/TU/2020 tanggal 29 April 2020.
“Kemendikbud menyelenggarakan Upacara Bendera Peringatan Hardiknas Tahun 2020 pada tanggal 2 Mei 2020 pukul 08.00 WIB secara terpusat, terbatas, dan memperhatikan protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 yang telah ditetapkan Pemerintah,” ujar Ainun.
Ainun Ni’am mengimbau instansi pusat, daerah, satuan pendidikan, serta kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk mengikuti jalannya upacara bendera secara virtual.
Masyarakat, siswa, guru dan warga lingkungan pendidikan dapat melalui siaran langsung di kanal Youtube Kemendikbud RI dari rumah ataupun tempat tinggal masing-masing. “Kami juga mengajak insan pendidikan untuk dapat menyaksikan program peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020 yang diberi judul sesuai tema, yakni ‘Belajar dari Covid-19’ di TVRI pada hari Sabtu, 2 Mei 2020 pukul 19.00 WIB,” terang Ainun Na’im.
Pedoman Penyelenggaraan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020 disusun dengan memerhatikan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 sebagai Bencana Nasional.
Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menayangkan peringatan Hari Pendidikan Nasional dengan mengangkat tema “Belajar dari Covid-19” di stasiun televisi milik pemerintah. Acara ini akan ditayangkan langsung di kanal YouTube @KEMENDIKBUD RI dan @tvrinasional pada Sabtu (2/5/2020) pukul 19.00 WIB.
Peringatan Hardiknas tahun 2020 ini, akan dimeriahkan oleh presenter kondang Najwa Shihab dan beberapa artis ternama Indonesia. Antara lain, Tulus, Sabyan, Rizky Febian, Vidi Aldiano, Rinni Wulandari, Naura, Lyodra, Gitabumi Voices, dan Bina Vokalia.(*/Ind)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan sekitar 56 persen sekolah swasta di Tanah Air kesulitan akibat pandemi Covid-19. Pemerintah diminta membantu operasional sekolah tersebut.
“Survei yang kami lakukan, sekitar 56 persen sekolah swasta yang ada minta agar pemerintah membantu pada masa krisis ini,” ujar Pelaksana tugas Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad di Jakarta, Rabu (29/4).
Survei yang dilakukan Kemendikbud juga menyebutkan sekitar 60 persen siswa di sekolah negeri dan swasta meminta agar SPP dibayar 50 persen. Wabah Covid-19 membuat sejumlah orang tua siswa mengalami kendala keuangan, yang berkorelasi dengan kemampuan dalam membayar SPP. Sementara operasional sekolah swasta, sebagian besar masih mengandalkan SPP yang berasal dari siswa.
“Untuk SD dan SMP negeri tidak masalah, karena mereka tidak membayar SPP. Namun untuk SMA dan SMK negeri maupun sekolah swasta memiliki kewajiban untuk membayar SPP,” kata dia.
Hamid menambahkan untuk SMA dan SMK negeri, yang menentukan besar pembayaran SPP itu adalah dinas pendidikan. Untuk itu, dia meminta agar sekolah dapat berkonsultasi dengan dinas pendidikan jika ada kemungkinan opsi penurunan SPP.
“Nah yang paling berat itu sekolah swasta. Karena belum ada skema khusus untuk membantu mereka,” kata dia.
Kemendikbud telah melakukan pelonggaran batasan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOP PAUD dan Kesetaraan, yang mana tidak ada lagi batasan maksimal 50 persen untuk gaji guru honorer.
“Bahkan ekstremnya bisa digunakan untuk pembayaran gaji guru honorer seluruhnya, dengan catatan tidak ada untuk pembelian pulsa atau kuota internet maupun langganan layanan pendidikan berbayar,” kata Hamid.(*/Ind)
BANDUNG – Memutus rantai penyebaran Covid-19 di lingkungan Pendidikan, Pemerintah Kota Bandung menginstruksikan semua sekolah dan lembaga pendidikan lain dengan melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara daring.
Hal tersebut mengacu pada Surat Edaran wali Kota Bandung yang berisi memberlakukan pembelajaran jarak jauh melalui media daring bagi Peserta Didik pada Satuan Pendidikan di bawah kewenangan Pemerintah Kota Bandung (PAUD/TK, SD, SMP, LKP, LPK, dan PKBM).
Memang belajar daring belum ideal. Kendati demikian, selama KBM daring, para guru memang dituntut lebih kreatif.
Guru SD Tulus Kartika Kota Bandung, Handiani Putri menilai KBM secara daring tersebut dirasakan kurang efektif, karena jika tidak bertemu secara langsung para muridnya akan semangat belajar jika suasana hatinya memang ingin belajar.
“Sebenarnya kurang efektif, kadang tergantung anaknya juga. Mereka juga “moody”. Ada anak yang mengeluh dia tidak mau belajar karena bosen liat HP atau Laptop terus,” kata Handiani, Selasa (28/04/2020).
Menurut dia, dengan hal tersebut membuat guru harus menunggu suasana hati anak didiknya sedang baik dan semangat belajar. Karena anak-anak akan cepat bosan belajar secara daring tanpa ada interaksi langsung.
“Mulai belajarnya pukul 08.00 WIB, tapi untuk penugasan berbeda. Ada tugas yang diberikan, nah itu bisa sampai malam pengumpulannya tergantung dari orang tua. Orang tuanya juga ada beberapa yang masih bekerja di luar. Sedangkan anaknya tidak memegang handphone atau laptop. Jadi mereka menunggu dulu orang tuanya pulang. Bahkan ada yang baru ngasih tugas pukul 22.00 WIB dan 24.00 WIB,” ucapnya.
Handiani yang mengajar Kelas 1 SD ini mengatakan, hal tersebut menjadi kendala dirinya mengajar. Sebab anak-anak yang masih di kelas bawah memang tidak diperbolehkan memegang HP sendiri.
“Saya pribadi tidak mengejar materi yang ada di buku. Karena kalau seperti itu orang tua nanti yang kewalahan. Kita tidak mau sampai membebani orang tua dalam pembelajaran online ini,” ujar dia.
Dia merasa beruntung karena KBM daring bisa berjalan dengan baik. Sebab anak didiknya tidak memilki keterbatasan dalam akses internet karena muridnya berada di perkotaan.
“Orang tua sudah terbiasa menggunakan laptopnya jadi tidak ada halangan. Para Guru juga mendapat bantuan dari Sekolah untuk urusan kuota internetnya jadi tidak ada masalah,” jelasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memperkirakan sejumlah skenario yang mungkin terjadi pada tahun ajaran baru di masa pandemi. Menurutnya, setidaknya ada tiga skenario yang mesti dipersiapkan oleh pemerintah.
Skenario pertama, apabila kondisi berjalan normal. Selama ini pemerintah masih mengasumsikan tahun ajaran baru berjalan normal yakni dimulai pada Juli 2020. Apabila ini yang diinginkan, maka pada Mei atau Juni kondisi kesehatan di Indonesia harus sudah dalam keadaan baik.
“Harapannya begitu. Jika begitu tentu tidak masalah,” kata Satriwan, di dalam sebuah diskusi daring Minggu(26/4/2020).
Selanjutnya, skenario kedua yaitu apabila belum ada tanda-tanda perbaikan. Meskipun belum ada tanda-tanda perbaikan dari segi kesehatan namun tahun ajaran tetap diberlakukan Juli 2020. Apabila demikian, maka pembelajaran semester depannya menjadi daring atau online.
Ia menegaskan, hal ini yang wajib dipersiapkan. Di antaranya adalah tentang kuota internet untuk siswa dan guru, ataupun peraturan-peraturan agar pembelajaran daring tidak mengalami kendala. “Ini yang wajib menjadi perhatian,” kata dia lagi.
Sedangkan skenario ketiga adalah yang berubah paling besar, yaitu menggeser tahun ajaran baru ke Januari 2021. Negara lain memiliki tahun ajaran baru yang berbeda-beda. Satriwan mencontohkan Jepang yang dimulai pada April dan Korea Selatan pada Maret.
Artinya, lanjut dia, menggeser tahun ajaran baru bisa menjadi alternatif kebijakan. Sebab, kondisi pandemi Covid-19 masih belum jelas akan berakhir kapan. Tidak sedikit pula ahli yang memperkirakan akan terus berlangsung hingga akhir tahun.
Apabila skenario kedua yang diambil pemerintah, Satriwan menegaskan harus dibuat kurikulum darurat khusus. Hal ini penting agar di dalam bencana nasional guru dan siswa tidak kesulitan menjalankan pembelajaran.
Sebab, kata dia, meskipun pemerintah sudah menegaskan tidak mewajibkan guru memenuhi capaian kurikulum secara utuh, masih ada guru yang tetap mendorong capaian utuh karena merasa tidak yakin. Hal ini tentunya akan menyusahkan siswa.
“Karena standar penilaiannya berubah atau setidaknya ada pergesaran. Tidak lagi tatap muka. Jadi kami berpikir harus ada kurikulum darurat Covid-19,” kata Satriwan menegaskan.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengatakan, selama ini pihaknya telah mendorong perangkat negara untuk memaksimalkan semua sumber daya untuk menghadapi Covid-19. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi akan berakhir.
“Tinggal pertanyaannya, ini semua diskemakan selesai bulan April-Mei, sekarang pertanyaannya, ini waktunya masih panjang prediksinya bisa sampai akhir tahun walaupun ini masih debatable,” kata Syaiful, dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, memang perlu ada penyesuaian kebijakan yang harus dilakukan pemerintah, dalam konteks ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebab, kebijakan yang diambil sejauh ini mengikuti skema awal yakni Mei diasumsikan Covid-19 akan terkendali.
Namun, ia setuju bila pemerintah harus siap menerima kemungkinan terburuknya. Karena itu, perlu ada penyesuaian dan evaluasi lebih jauh terhadap kebijakan yang diambil sejak masa awal pandemi hingga saat ini.
“Skema awalnya hanya sampai dengan Mei pandeminya. Namun ada yang diperkirakan sampai akhir tahun ini, yang berarti ada tambahan sekitar enam bulan lagi, yang saya kira butuh perangkat-perangkat kebijakan,”paparnya.(*/Di)
JAKARTA – Pandemi Covid-19 membuat membuat kegiatan belajar mengajar secara langsung ditiadakan dan dipindahkan menjadi metode belajar dari rumah. Namun hal ini justru membuat anak menjadi stres dan tertekan lantaran harus belajar bersama orang tuanya.
Psikolog sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi menuturkan jika berdasarkan laporan yang diterima pihaknya, banyak anak-anak mengalami stres hingga tertekan setelah menjalani pembelajaran di rumah oleh orang tua.
“Dari beberapa laporan yang kami terima dari LPAI banyak anak-anak yang mengalami stres, tertekan. Salah satunya adalah kadang-kadang dalam cara orang tua menghadapi putra putra-putri tercinta, para orang tua sekarang harus menjadi guru tiba-tiba di dalam rumah,” ujar Kak Seto sapaannya dalam jumpa pers di Graha BNPB yang disiarkan secara streaming, Sabtu (25/4/2020).
Kak Seto mengatakan, salah satu faktor belajar di rumah yang membuat stres anak lantaran orang tuanya memaksakan sang buah hati harus mengerti dari metode belajar yang diajarkannya.
“Kemudian mencoba untuk menjelaskan menerangkan kadang-kadang memaksakan hal ini dicapai oleh putra-putri sendiri sehingga akhirnya yang muncul adalah anak-anak tertekan,” jelas kak Seto.
Lebih jauh, Seto menyebut banyak anak yang menginginkan kegiatan belajar secara normal alias diajar oleh guru-guru mereka. Hal tersebut lantaran cara pengajaran guru yang lebih persuasif dan kreatif kepada anak.
“Sehingga akhirnya yang muncul adalah anak-anak tertekan beberapa ingin kembali lagi ke sekolah bertemu dengan ibu guru atau bapak guru yang menjelaskan lebih nyaman lebih tenang lebih kreatif dan sebagainya,” tandasnya.(*/Ind)
JAKARTA – Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dikdasmen) Hamid Muhammad mengatakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak bisa digunakan untuk membayar gaji guru honorer yang tidak terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
“Saya heran mengapa guru honorer yang sudah lama mengabdi tidak didaftarkan ke Dapodik. Padahal Dapodik ini sudah lama ada,” ujar Hamid dalam gelar wicara RRI Pro 3 di Jakarta, Jumat (24/4)
Hamid menambahkan data guru di Dapodik merupakan dasar untuk audit. Jika tidak terdaftar dalam Dapodik, maka guru honorer tersebut tidak bisa mendapatkan gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Kalau tidak ada, maka tidak berhak untuk mendapatkan gaji dari dana BOS. Untuk itu Kepsek dan proktor Dapodik wajib memasukkan data semua guru yang ada di sekolah di Dapodik,” terang Hamid.
Kemendikbud mengeluarkan dua Peraturan Mendikbud yakni Permendikbud 19/2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud no 8/2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler dan Permendikbud 20/2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud 13/2020 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Kesetaraan 2020.
Dua Permendikbud itu dijadikan landasan penggunaan dana BOS dan BOP PAUD dan Kesetaraan selama pandemi COVID-19.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan, baik dana BOS dan BOP PAUD dan Kesetaraan dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik maupun peserta didik dalam rangka mendukung pembelajaran di rumah.
Dana BOS dan BOP PAUD dan Kesetaraan juga dapat digunakan untuk pembelian cairan atau sabun pembersih tangan, pembasmi kuman, masker, dan penunjang kebersihan.
Selain penggunaan dana BOS dan BOP PAUD dan Kesetaraan untuk pulsa maupun masker, dana BOS reguler dapat digunakan untuk membayar gaji guru honorer yang tidak memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dengan kriteria sudah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) per 31 Desember 2019, belum mendapatkan tunjangan profesi, dan memenuhi beban mengajar termasuk mengajar dari rumah dalam masa kedaruratan kesehatan masyarakat COVID-19 yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Berapa besarannya dana BOS untuk gaji guru honorer, diserahkan kepada kepala sekolah,” kata Hamid lagi.
Hamid juga berpesan agar penggunaan dana BOS dan BOP PAUD dan Kesetaraan itu harus memperhatikan atau fokus pada kesehatan pendidik dan peserta didik.(*/Ind)
JAKARTA – Salah satu kewajiban seorang guru adalah menyampaikan pelajaran kepada siswa-siswinya. Meskipun saat ini berbagai kesulitan terjadi di tengah pandemi Covid-19, kegiatan menyampaikan ilmu tersebut tidak boleh dihentikan. Dengan berbagai upaya para guru mempersiapkan materi untuk diberikan kepada siswa dan sisiwnya.
Di satu sisi, sebagian besar guru masih berusaha beradaptasi dengan situasi yang terjadi. Kritikan banyak muncul dari orang tua siswa dan juga siswa yang mengeluhkan tugas begitu berat.
Proses belajar mengajar di tengah pandemi ini terus diperbaiki dengan berbagai macam kritikan dan keluhan tersebut. Seperti yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim beberapa waktu lalu, ia memohon pemahaman masyarakat bahwa saat ini semua pihak sedang berusaha beradaptasi.
Bagi guru honorer, selain memikirkan materi yang tepat untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) ada hal lain yang juga sulit untuk dilepaskan dari pikiran mereka. Hal tersebut adalah statusnya sebagai guru honorer. Tidak sedikit guru honorer yang memperjuangkan statusnya jauh sebelum wabah ini menyerang dunia. Tentunya, di tengah situasi ini mereka tidak ingin dilupakan.
Ketua Umum DPP Forum Aliansi Guru dan Karyawan Kabupaten Garut, Cecep Kurniadi berusaha mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo menyuarakan keinginan guru honorer. Di dalam suratnya, Cecep berharap pemerintah segera menyelesaikan perekrutan Calon Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Kami sangat miris ketika rekan-rekan kami guru honorer yang sudah dinyatakan lulus tes PPPK yang jumlahnya 51 ribu orang, kebijakan pemerintah yang dikeluarkan hanya Kepres tentang PPPK, tapi untuk penggajian sampai saat ini belum ada,” kata Cecep.
Sementara itu, kata Cecep, beban dan tanggung jawab guru masih berjalan walaupun melalui PJJ. Para guru tersebut masih terus melakukan tugasnya di tengah status mereka yang tidak pasti. Mengoreksi hasil ujian siswa dan memberikan materi masih terus dilakukan demi para siswa.
“Namun hingga saat ini belum jelas nasibnya bahkan belum mendapatkan gaji sesuai amanat UU nomor 05 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN),” kata Cecep lagi.
Ia melanjutkan, para guru ini sudah benar-benar mengabdi puluhan tahun demi pendidikan Indonesia. Ia juga khawatir, apabila tahap pertama saja belum kunjung selesai bagaimana dengan tahapan selanjutnya. Sebab, masih banyak guru yang belum lulus PPPK.
“Hari ini, Bapak Presiden seolah tebang pilih mengorbankan guru honorer yang gajinya sangat mengkhawatirkan, bisa dikatakan gaji yang tidak manusiawi,” kata dia lagi.
Hal senada diungkapkan seorang guru honorer K2, Nurbaiti. Sebagai salah satu guru yang vokal, ia menjadi tim lobi pusat sekaligus koordinator wilayah DKI Jakarta Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I). Ia mengisahkan selama ini rekan-rekan sesama guru honorer terus bekerja di tengah pandemi namun juga tidak henti-hentinya memikirkan nasib mereka.
Baginya, tanggung jawab sebagai guru tidak kalah penting dibandingkan statusnya yang tidak kunjung jelas. “Kita memberikan pelajaran tetap sesuai dengan RPP kita, keseharian kita. Itu kita masih memberikan pembelajaran kepada siswa menyapa melalui grup WA kelas, maupun kita video call kepada anak-anak,” kata Nurbaiti.
Sebenarnya, ia mengapresiasi pemerintah yang merevisi aturan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Salah satu revisinya adalah menghilangkan syarat Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) bagi guru honorer agar bisa menerima dana BOS.
Nurbaiti juga mengapresiasi peraturan baru yang menyatakan dana BOS boleh digunakan untuk membeli kuota siswa dan guru untuk PJJ. Namun, ia khawatir ke depannya serapan dana BOS tidak seperti yang ia harapkan.
Pasalnya, pada aturan dana BOS sebelumnya, yaitu maksimal 50 persen untuk guru honorer pun tidak berjalan dengan baik. “Ini jadi bumerang, kecemburuan sosial sendiri. Kita tidak menutup mata pimpinan kan nggak semuanya suka dengan honorer. Mudah-mudahan anggaran itu benar-benar terserap ke depannya,” harapnya.(*/Ind)
GARUT – Pandemi Covid-19 yang masih terjadi membuat kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah masih ditangguhkan. Para siswa terpaksa harus belajar dari rumah selama proses KBM di sekolah ditiadakan. Terbaru, kebijakan itu diperpanjang hingga 27 April 2020.
Proses KBM dari rumah tak sepenuhnya dapat dilakukan dengan lancar, terutama di wilayah pelosok daerah. Di Kabupaten Garut misalnya, seorang guru honorer harus berjuang untuk menghampiri para siswa satu per satu agar proses belajar anak di rumah berjalan maksimal.
Sosok itu bernama Rosita Amalia (31 tahun), seorang guru hononer yang mengajar siswa kelas II SDN 3 Nyalindung, Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut. Sejak proses KBM di sekolah dihentikan, ia mengaku ditugasi oleh kepala sekolah untuk terus memantau keadaan siswa di rumah.
Lantaran alat komunikasi di wilayah itu masih terbatas, mau tak mau harus mendatangi rumah siswanya yang berjumlah 12 orang satu per satu. Ia mengatakan, tak banyak orang tua siswanya yang memiliki telepon pintar. Selain itu, sinyal di wilayah itu sulit untuk didapatkan sehingga pengajaran melalui daring akan sulit dilakukan.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan alternatif lain untuk pembelajaran siswa selama di rumah, yaitu membuat tayangan melalui lembaga penyiaran publik TVRI. Namun, Rosita mengatakan, hanya satu di antara belasan siswanya mendapat siaran TVRI dengan gambar jernih. Sisanya, tidak mendapat jaringan yang baik.
“Soalnya daerah saya mengajar itu di pegunungan,” kata dia, saat dihubungi wartawan, Selasa yang lalu (21/4).
Hal itu yang menjadi alasan Rosita mendatangi rumah siswanya satu per satu. Dalma satu hari, ia hanya bisa mengunjungi dua hingga tiga rumah siswa untuk memberikan materi.
Sebab, untuk untuk menjangkau semua siswa seharian tak mungkinkan, lantaran jarak satu rumah dan rumah lainnya berjauhan.
Belum lagi, kondisi cuaca yang masih memasuki musim hujan. Jika hujan terus turun, ia tak memaksakan untuk pergi karena risikonya adalah longsor.
Ia bercerita, ada rumah salah satu siswanya yang harus ditempuh dalam waktu satu jam. Itu pun tak bisa dilalui kendaraan sepenuhnya. “Kondisi jalan tanjakan dan belum beraspal. Belum kalau hujan, ada longsor juga,” kata dia.
Kendati demikian, Rosita merasa mendapat pengalaman berharga dari kegiatan mengunjungi rumah siswanya satu per satu. Ia jadi tahu, masih ada siswanya yang setiap hari harus berjalan kaki tanpa sepatu untuk mencapai sekolah.
Bahkan, kata dia, ada siswa yang harus berangkat pukul 05.00 WIB dan membawa obor, hanya untuk pergi ke sekolah setiap harinya. “Saya merasakan perjuangan mereka yang punya semangat tinggi sekolah. Jadi sayang kalau saya tidak perhatikan,” kata guru lulusan Yayasan MiftahusSalam Bandung, jurusan Tarbiyah itu.
Terlebih, ketika ia datang ke rumah siswanya, sambutan ceria selalu didapatnya. Anak-anak, kata dia, terus menanyakan kapan bisa kembali ke sekolah. “Mereka jenuh di rumah terus. Tapi liburnya terus diperpanjang,” kata dia.
Untuk mengatasi kejenuhan para siswa, Rosita menyiasati dengan memberikan materi dengan santai. Ia terdakang menyelingi materi dengan bernyayi dan bercerita. Jika tidak seperti itu, anak-anak disebut justru tak akan menikmati proses pembelajaran.
Meski lelah, Rosita mengaku tetap senang mendatangi siswanya satu per satu. Menurut dia, itu sudah merupakan risiko pekerjaannya sebagai guru.
Apalagi, menjadi guru juga meruapkan cita-citanya sejak muda. Karenanya, ia merasa bertanggung jawab kepada para siswanya itu.
Pengabdian Rosita sebagai guru telah banyak diapresiasi. Dinas Pendidikan Kabupaten Garut dan Polres Garut langsung memberikan penghargaan kepadanya atas tanggung jawab guru honorer itu.
“Saya juga tidak menyangka seperti itu. Itu cukup bangga juga, karena diperhatikan,” ungkapnya.(*/Dang)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro