JAKARTA – Ketua Umum Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19, Sandiaga Salahuddin Uno menyerahkan beasiswa kepada sebanyak 100 orang pelajar dan mahasiswa yang terdampak pandemi Covid-19 di wilayah tertentu.
Sandiaga mengatakan, program beasiswa ini diinisiasi founder Kahmipreneur, Kamrussamad dan beberapa dukungan dari Gabungan Relawan Presiden Jokowi (GRPJ). Dia pun mengapresiasi program pemberian beasiswa yang digagas Kahmipreneur ini.
“Saya adalah produk beasiswa, sehingga saya tahu bagaimana beasiswa sangat membantu, khususnya dalam bidang pendidikan. Saya harap beasiswa ini bisa membuka peluang kesuksesan untuk para penerimanya,” kata Sandiaga dalam keterangan tertulis, Jumat (15/5/2020).
Pemberian beasiswa kepada pelajar yang berada di DKI Jakarta, Sumedang, Bekasi, Bandung, Sumatera Barat, Tangerang Selatan (Tangsel), Tangerang, Cimahi, Depok, Bandung Barat, Pekanbaru dan Makassar.
Adapun pemberian simbolis beasiswa ini digelar di DKI Jakarta yang dihadiri 15 orang penerima yang berasal dari DKI Jakarta dan diikuti penerima dari daerah lain secara virtual.
Salah satu peserta penerima beasiswa, Ridho Mahasiswa asal Universitas Bung Karno ini mengaku bersyukur menjadi penerima beasiswa Kahmipreneur. Ridho yang sehari-hari menjadi driver ojek online ini terkena dampak Covid-19 dan membuatnya kesulitan membayar uang kuliah.
Selain Ridho, ada juga Melisa yang sebagai penerima beasiswa ini juga kehilangan pekerjaannya akibat pandemi ini.
Sebelum adanya pandemi, Melisa menjalani kuliah sambil bekerja. Namun, perusahaannya mengurangi separuh karyawan termasuk Melisa, sehingga dia kesulitan untuk biayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari.
Dari total 20.700 orang yang mendaftar beasiswa ini, sebanyak 100 pelajar dan mahasiswa yang terpilih di gelombang I ini memiliki minat entrepreneur yang tinggi. Sandiaga juga melakukan dialog interaktif dengan para penerima di daerah lain. Mereka berharap pandemi Covid-19 bisa segera teratasi. Dalam acara ini juga dihadiri beberapa perwakilan Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19.(*/Tya)
JAKARTA – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril menjelaskan persoalan pada penerapan program merdeka belajar di daerah.
Ia mengatakan masih banyak daerah yang membuat peraturan ujian sekolah seperti yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya.
Iwan mengatakan salah satu poin dalam program merdeka belajar yaitu soal ujian sekolah. Di dalam konsep merdeka belajar, sekolah diberikan kebebasan untuk membuat bentuk ujian sekolah.
Iwan memahami di lapangan, masih banyak yang belum siap menjalankan kebijakan merdeka belajar. “Memang sebuah realitas yang kita hadapi, perubahan mindset itu butuh waktu,” kata Iwan dalam diskusi bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI), Rabu (13/5/2020).
Esensi dari merdeka belajar sebenarnya adalah ownership atau rasa kepemilikan. Dengan demikian, pemerintah daerah dan satuan pendidikan diharapkan bisa melakukan hal yang sesuai dengan masalah yang dihadapi masing-masing. Sebab, setiap daerah dan satuan pendidikan menghadapi masalah yang berbeda-beda.
Pada saat yang sama, ia menyadari ekosistem pendidikan di Indonesia masih membutuhkan panduan untuk merdeka. Terkait hal ini, Iwan menuturkan, Kemendikbud membuat panduan-panduan.
Kendati demikian, panduan yang diberikan bukan berupa mandat yang wajib dilakukan. Namun, tujuan panduan adalah membantu pihak-pihak yang masih gamang dan tidak yakin menjalankan kebijakan merdeka belajar.
“Sudah mau diajak berlari tapi kayaknya masih ragu-ragu, itu memang menjadi PR kita,” kata dia lagi.
Terkait menciptakan ekosistem yang mendukung untuk merdeka, Iwan mengatakan memang Kemendikbud tidak bisa bekerja sendirian. Kemendikbud sangat mengapresiasi organisasi profesi yang ikut mendorong ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Di sisi lain, ia mengatakan, mengatakan pihaknya memikirkan bagaimana bisa meningkatkan keterikatan (engagement) dengan pemerintah daerah. Ia mengakui, selama ini banyak konsolidasi yang belum terjalan dengan baik antara pusat dan daerah.
Ia menjelaskan, masalah regulasi memang menjadi tantangan dalam memajukan pendidikan di Indonesia. “Pemerintah kelihatannya besar, tapi sebenarnya punya banyak keterbatasan. Regulasi-regulasi itu menjadi tantangan yang harus kita cari solusinya,” kata Iwan.
Saat ini, dirinya sedang mencoba belajar dengan cepat memahami dinamika-dinamika yang terjadi di lapangan. Pada saat ini, kata Iwan, pihaknya terus melakukan konsolidasi yang dinilai masih belum maksimal dijalankan.
Sementara itu, Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan pandangan Ditjen GTK sebenarnya sejalan dengan IGI. Namun, ia menegaskan benturan regulasi menjadi satu hal yang harus bisa dihadapi.
Ia mencontohkan dengan adanya isu balai guru penggerak untuk tempat pelatihan guru. Sementara di lapangan saat ini sudah ada LPMP dan P4TK. Ia mempertanyakan bagaimana nanti posisi tempat-tempat tersebut dalam pelatihan guru.
“Di sisi lain, ketika misalnya, balai guru penggerak ini didorong akan ada benturan regulasi. Misalnya, seperti apa posisi-posisi itu,” kata Ramli.
Lebih lanjut, Ramli ingin apapun langkah yang dilakukan Kemendikbud, dapat menciptakan atmosfer pendidikan yang mampu meningkatakan kompetensi guru secara mandiri. Sebab, ia melihat selama ini kebijakan yang dilakukan terkait dengan kompetensi guru seringkali tidak tepat. Pada akhirnya, pelatihan dilakukan namun tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap pendidikan Indonesia.
Dalam rangka menciptakan atmosfer tersebut, Ramli mengatakan Kemendikbud harus memperjelas fungsi dan posisi organisasi profesi guru. Bukan dengan melibatkan organisasi masyarakat di luar guru.(*/Ind)
JAKARTA – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril, menjelaskan salah satu program yang ia akan dorong adalah menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif.
Ia menjelaskan, ekosistem belajar guru harus dibangun dengan kerjasama antara pemangku kepentingan.
“Kita ingin di setiap provinsi terbentuk ekosistem pendidikan guru yang sifatnya inklusif, jadi antara sekolah, lalu ada di sana penggiat pendidikan, komunitas, akademisi, organisasi profesi, dan lain-lain itu semua bekerja barengan supaya memenuhi kebutuhan belajar guru yang relevan,” kata Iwan, dalam diskusi daring, Rabu (13/5).
Ia menyadari kondisi masing-masing guru di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat beragam. Guru di tiap daerah menghadapi tantangan-tantangan yang berbeda dan tidak bisa diselesaikan oleh satu jenis ekosistem belajar untuk guru.
“Relevan ini saya garis bawahi, karena sama dengan murid belajar, guru belajarnya pun perlu diferensiasi,” kata dia menambahkan.
Terkait hal tersebut, Kemendikbud ingin mensyaratkan bagaimana membentuk ekosistem belajar guru yang lebih berdaya. Menurut Iwan, hal ini perlu untuk menjadi bagian yang hadir di tiap provinsi.
Pelatihan guru tidak semuanya harus berada di pusat. Justru yang penting kini adalah melihat kebutuhan dan tantangan yang berbeda masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian dijadikan dasar ekosistem belajar untuk guru.
Selain itu, ia berharap komunitas pendidikan bisa bergotong royong dan saling melengkapi. Pada akhirnya, tujuan dari pendidikan yang diinginkan adalah bagaimana bisa melayani murid dengan baik.
“Jadi ini sebuah strategi yang menurut kami, kita nggak bisa sendirian. Jadi filosofi gotong royong dengan memberdayakan komunitas pendidikan adalah salah satu kunci bagaimana kita bisa membuat ekosistem belajar yang baik,” kata Iwan menegaskan.(/Ind)
JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mendorong agar pemerintah menyusun peraturan yang berpihak kepada sekolah swasta. Ia mengatakan, dalam menyusun cetak biru pendidikan konsep kemitraan antara pemerintah dan swasta harus ditonjolkan.
“Dalam menyusun blueprint yang baru, dalam merevisi UU Sisdiknas sudah harus ditegaskan bahwa harus terjadi kemitraan antara pihak swasta dan pihak pemerintah. Untuk menjadi mitra harus sejajar,” kata Indra, dalam diskusi secara daring, Selasa (12/5/2020).
Selama ini, ia menilai dalam implementasi di lapangan hubungan antara pemerintah dan swasta tidak bermitra. Sekolah swasta seakan-akan menjadi bawahan dan harus menuruti aturan-aturan yang ditetapkan.
Ia mencontohkan salah satu satuan pendidikan kerjasama (SPK) atau sekolah internasional yang terdapat mata pelajaran bahasa daerah. Indra menilai, bagi SPK pelajaran bahasa daerah tidak diperlukan. Berbeda dengan seni daerah yang mungkin bisa dipelajari, namun tidak tepat untuk bahasa daerah.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah mengatakan sekolah swasta di Indonesia memiliki jumlah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penting untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah swasta di Indonesia.
Peran masyarakat terhadap pendidikan harus terus ditingkatkan. Munculnya sekolah swasta sebenarnya dapat membantu pemerataan pendidikan di Indonesia.
Ferdiansyah pun berharap agar peran masyarakat ini semakin diperluas.
Sekolah swasta dalam hal ini tidak hanya sekolah umum namun juga sekolah luar biasa (SLB) dan juga perguruan tinggi. Ia menjelaskan, SLB di Indonesia banyak yang berstatus swasta daripada yang negeri. Namun, secara aturan sekolah ataupun perguruan tinggi swasta tidak memiliki peraturan khusus yang mendukung mereka.
“Konsep publik dalam dunia pendidikan, saya rasa harus ini yang ditawarkan karena kita tidak akan berhasil kalau hanya bergantung pada APBN saja,” kata Ferdiansyah dalam kesempatan yang sama.
Pemimpin dan pendiri SIS Group of Schools, Jaspal Sidhu mengatakan di negara asalnya Singapura, pemerintah memiliki peraturan yang jelas. Peraturan tersebut memisahkan sekolah negeri dan sekolah swasta. Hal ini menyebabkan pengelolaannya menjadi lebih mudah.
“Di Amerika juga begitu. Mereka punya sistem yang bernama charter school, di mana pemerintah mendanai sekolah ini tapi sektor swasta yang mengelola,” kata Jaspal.
Terkait fakta yang ada di lapangan tersebut, Indra menyarankan agar jenis sekolah di Indonesia dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis sekolah tersebut adalah sekolah negeri, sekolah piagam (charter school), dan sekolah swasta.
Sekolah negeri, ia menjelaskan, harus bebas pungutan dan diutamakan untuk masyarakat prasejahtera. Ia juga menyarankan agar sekolah negeri dibuat menjadi satker (satuan kerja). Sebab, anggaran untuk satker akan disesuaikan dengan kebutuhan.
Jenis kedua adalah sekolah piagam atau charter school. Ia menjelaskan, pengelolaan sekolah piagam dilakukan swasta namun anggarannya didukung oleh pemerintah. Bisa juga menggunakan hibah persiswa.
“Ini akan memudahkan pemerintah dalam membuka akses (pendidikan). Mereka tidak harus membangun gedung baru atau mencari guru. Karena banyak sekolah yang dibangun misionaris dulu, dan cukup disuntik bantuan saja bisa berkembang daripada harus membangun sekolah baru,” kata Indra.
Jenis ketiga adalah sekolah swasta termasuk juga sekolah SPK. Sekolah ini sepenuhnya dikelola swasta dan diberikan kebebasan untuk menyusun kurikulum sendiri. Pembiayaan juga dibebaskan dengan menerima pungutan dari siswa-siswinya.
“Kita tidak perlu takut ini menjadi komersial, karena semakin dia komersial, pajaknya semakin tinggi dan ini juga akan bermanfaat bagi bangsa ini. Toh kita masih punya sekolah negeri dan sekolah piagam,” katanya.(*/Ind)
BANDUNG – Proses pendaftaran sampai seleksi Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Provinsi Jawa Barat (Jabar) berbeda dengan tahun sebelumnya. Karena tahun ini, PPDB akan digelar secara online atau daring dengan masih merebaknya pandemi Covid-19.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jabar Dewi Sartika, pada PPDB kali ini, Disdik Jabar akan memberikan akun kepada sekolah dan peserta didik untuk melakukan pendaftaran. Kedua akun tersebut, akan diberikan kepada SMP dan sederajat di seluruh Jabar.
Menurut Dewi, pihaknya pun akan memastikan kesiapan Disdik Jabar dalam melaksanakan PPDB Tahun 2020/2021. Yakni, mulai dari operasional, seperti sistem dan bandwidth, sampai sosialiasi kepada kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua peserta didik.
“Tahun ini kita sedang menjalani pandemi Covid-19, sehingga seluruhnya kita fokus untuk menghindari kerumunan. Kita melaksanakan pendaftaran ini semuanya melalui daring,” ujar Dewi dalam jumpa pers di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (11/5/2020).
Pelaksanaan PPDB Tahun 2020/2021 Jabar sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 37 Tahun 2020 tentang PPDB pada SMA/SMK/SLB.
Dewi mengatakan, berdasarkan regulasi tersebut, terdapat empat jalur pada PPDB SMA yakni jalur zonasi dengan kuota minimal 50 persen, prestasi dengan kuota minimal 25 persen, afirmasi atau ekonomi tidak mampu dengan kuota minimal 20 persen, dan perpindahan orang tua dengan kuota minimal 5 persen.
Sementara untuk SMK, kata dia, hanya ada tiga jalur. Yakni, prestasi, afirmasi, dan perpindahan. “Tidak ada jalur zonasi untuk SMK karena SMK itu langsung disesuaikan dengan jurusan atau pilihan dari masing-masing peserta didik. Untuk SLB disesuaikan dengan jenis kebutuhan daripada siswa,” katanya.
Menurut Dewi, ada dua tahapan dalam PPDB Jabar tahun ini. Tahap pertama untuk jalur prestasi, jalur afirmasi, dan jalur perpindahan yang akan dilaksanakan pada 8-12 Juni 2020. Sedangkan tahap kedua untuk jalur zonasi pada 25 Juni-1 Juli 2020.
“Tentu dari sekarang tanggal 11 (Mei 2020) sampai pendaftaran 8 Juni ini persiapan-persiapan terkait pendataan kita lakukan. Lalu, kita akan berkomunikasi dengan pendaftar ataupun juga sekolah asal dalam hal ini terkait pelaksanaan PPDB,” katanya.
Agar PPDB berjalan optimal, Dewi mengimbau kepada guru, khususnya wali kelas, untuk menjalin komunikasi yang baik dengan peserta didik terkait akun, proses pendaftaran, dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Sebab, komunikasi wali kelas menjadi salah satu kunci kesuksesan PPDB Jabar Tahun 2020/2021.
“Melalui apa anak-anak mendapatkan akun? Ini harus ada komunikasi sekolah asal dalam hal ini SMP dan MTS. Harus ada sebuah komunikasi antara wali kelas dan masing-masing peserta didik di sekolah asal,” katanya.
Dewi mengatakan, belum lama ini, ia pun melakukan rapat virtual Disdik Jabar dan Disdik se-Jabar. Karena, PPDB 2020/2021 akan sukses ketika kita berkerja sama dan berkolaborasi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dewi menegaskan, pengumuman dan penetapan PPDB Tahun 2020/2021 menjadi kewenangan sekolah. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
“Sekolah secara mandiri melalui dewan guru dan kepala sekolah menetapkan peserta didik yang akan diterima di sekolah tersebut. Penetapan akan dikeluarkan melalui SK Kepsek dan dilaporkan kepada provinsi untuk diumumkan melalui sistem,” jelasnya.(*/Hend)
BANDUNG – Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat (Jabar) mengumumkan pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) di rumah serta pelaksanaan tugas pengawas sekolah diperpanjang hingga 29 Mei 2020.
Hal tersebut merujuk surat Nomor: 443/ 5867 – Set.Disdik tentang Perpanjangan Waktu Pelaksanaan PBM di Rumah.
Selain itu, karena tanggal 22 Mei 2020 ditetapkan sebagai cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah dan tanggal 24 hingga 25 Mei 2020 ditetapkan sebagai libur Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, maka tidak dilaksanakan PBM di rumah.
Kadisdik Jabar, Dewi Sartika menyatakan, keputusan tersebut memperhatikan perkembangan kondisi terkini terkait penyebaran Covid-19 di Provinsi Jawa Barat serta berdasarkan Keputusan Bersama Menag, Menaker, dan Menpan RB Republik Indonesia Nomor 391 Tahun 2020, Nomor 02 Tahun 2020, dan Nomor 02 Tahun 2020; Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020; Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 36 Tahun 2020; dan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 443/Kep.189-Hukham/2020.
“Serta memperhatikan surat kami sebelumnya Nomor 443/ 5037 – Set.Disdik tanggal 23 April 2020 perihal Perpanjangan Waktu Pelaksanaan PBM di rumah dan Perubahan Informasi Kegiatan Akademik Tahun Pelajaran 2019/2020, perlu dilaksanakan penyesuaian kembali pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM) di rumah,” tutur Kadisdik, Senin (11/5/2020).
Kadisdik menginformasikan kepada seluruh pengawas dan kepala SMA/SMK/SLB, bahwa ada lima poin yang cukup penting, pertama pelaksanaan PBM di rumah serta pelaksanaan tugas pengawas sekolah, kepala sekolah, kasubbag tata usaha sekolah, guru, dan tenaga kependidikan diperpanjang sampai tanggal 29 Mei 2020.
Kedua pada tanggal 22 Mei 2020 yang ditetapkan sebagai cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah dan pada tanggal 24 s.d. 25 Mei 2020 yang ditetapkan sebagai libur Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah, tidak dilaksanakan PBM di rumah.
Ketiga surat dan/atau petunjuk teknis yang telah disampaikan sebelumnya, masih tetap dipedomani dengan penyesuaian atas surat ini.
Keempat pelaksanaan PBM di rumah dan pelaksanaan tugas pengawas sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan masa berlakunya dapat diperpanjang/diperpendek sesuai kebutuhan penyelenggaraan penanganan darurat bencana akibat Covid-19 di lapangan.
“Yang kelima komite sekolah agar berpartisipasi melaksanakan koordinasi dengan orang tua peserta didik dalam bekerja sama, membimbing, memperhatikan, mendampingi, dan mengawasi peserta didik dalam melaksanakan PBM di rumah,”” tambah Dewi.
Dia menambahkan berkenaan dengan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK/SLB tahun 2020, Kadisdik mengimbau Kacadisdik bersama seluruh pengawas menyampaikan kanal-kanal informasi PPDB kepada Kadisdik Kab./Kota dan kepala SMP/MTs. di sekitar wilayah masing-masing.
“Sampaikan kanal-kanal informasi resmi PPDB kepada Kadisdik kabupaten/kota dan kepala sekolah di sekitar wilayah masing-masing,” tandasnya. (*/Hend)
YOGYAKARTA – Praktisi pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mengungkapkan pandemi Covid-19 telah berhasil memaksa pendidikan merevolusi dirinya, membongkar paradigma lama tentang pembelajaran, serta melakukan transformasi keilmuan.
Akibat pandemi, kata dia, pendidikan harus mengubah pengelolaan dan praktiknya secara mendasar dan sangat cepat. Kurang dari dua pekan, pendidikan harus mengubah kebiasaan mengajar di sekolah atau di kampus menjadi belajar di rumah. Hal ini kemudian menjadikan rumah beralih fungsi sebagai lingkungan belajar baru.
“Covid-19 memaksa siswa dan mahasiswa melakukan belajar mandiri dan kolaboratif,” kata Rizal dalam Kuliah Sore Alternatif Ramadhan 1441 Hijriah bertema ‘Transformasi Pendidikan di Era Corona’ yang disiarkan langsung via aplikasi Zoom, Youtube, dan Facebook, Jumat (8/5)
Belajar di rumah, menurut Rizal membawa tuntutan orientasi kurikulum yang tidak boleh lagi hanya mengejar ketuntasan materi ajar atau penguasaan hafalan dan rumus, melainkan keterampilan melakukan belanja mandiri (self-study). Tujuan utamanya adalah mendorong pendidik dan siswa untuk selalu belajar dengan senang.
“Secara paradigmatik, Covid-19 akan menghentikan institusi pendidikan yang hanya berorientasi pada hasil. Jadi, semua harus dirancang ulang. Dosen dan muridnya harus melakukan peran sosial. Sehingga, hal ini harus didukung pola belajar yang menyenangkan,” tutur pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut
Menurut Rizal, hal terkait transfer pengetahuan, administrasi, dan rutinitas pendidikan sudah harus digantikan teknologi. Ke depannya, suasana belajar harus lebih menyenangkan, meningkatkan kolaborasi anak dan orang tua serta pendidik untuk saling mempelajari pengetahuan atau keterampilan di tengah wabah.
“Kebiasaan baru ini harus diikuti dengan mengubah pola pikir guru yang terlanjur nyaman dengan cara lama yaitu dari konvensional ke blended learning dengan memanfaatkan teknologi sebagai enabler budaya belajar baru, bukan sekedar kosmetik pembelajaran,” kata Rizal.
Sementara menurut pembicara lainnya, Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Titi Savitri Prihatiningsih, pemanfaatan teknologi di masa pandemi ini juga berpengaruh pada kebiasaan anak sehari-hari. Gawai lebih mendominasi anak dan pendidikan jadi tereduksi, terutama dalam aspek pengetahuan.
“Kita harus melihat lagi, bahwa sebenarnya founding fathers bangsa itu sudah sangat visioner. Beriman bertakwa, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani rohani, memiliki rasa tanggung jawab adalah poin-poin yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Namun, saat ini kita lebih fokus hanya pada pengetahuan dan keterampilan. Padahal ada banyak tujuan lain yang selama ini cenderung kita abaikan,” kata Titi.
Meski demikian, menurut Titi, Covid-19 ini pun ada hikmahnya, yakni keluarga diperintahkan untuk di rumah. “Menurut saya luar biasa untuk memberikan waktu kepada kami sebagai orang tua. Covid ini menjadi titik balik manusia, untuk menyadari apa sih yang kita kejar selama ini? Ini menjadi titik balik kita untuk merenungi apa sih tujuan hidup kita selama ini?” katanya.
Titi menawarkan solusi bahwa kita harus merelaksasi waktu. Jadwal sekolah dikurangi, yakni 50 persen di sekolah dan 50 persen di rumah. Tapi di rumah harus terstruktur dan lembaga juga harus memberikan flexi time untuk orang tua. Flexi time tidak hanya bekerja dari rumah, namun juga membawa anak-anaknya bekerja.
“Covid ini sebagai tombak gerakan out of the box kebijakan untuk mengembalikan manusia ke fitrahnya. Saya pun berharap sekolah bukan sekadar untuk mentransfer ilmu, tapi untuk membentuk kepribadian anak,” tutur Titi.
Sementara itu, narasumber ketiga yaitu Kepala Kopertis/LLDikti Wilayah V 2010-2019, Bambang Supriyadi menyatakan ke depan institusi pendidikan harus menyiapkan diri supaya tidak terjadi kebuntuan proses pendidikan atau pengajarannya.
“Masalah kesiapan teknologi adalah masalah yang harus diselesaikan, baik bagi penyelenggara pendidikan maupun peserta. Institusi pendidikan harus segera berubah dan belajar menghadapi itu,” kata Bambang.
Dalam hal ini ada kesamaan semangat dari para narasumber bahwa proses akselerasi harus segera dilakukan oleh pemerintah, institusi pendidikan, dan keluarga.(*/Ind)
JAKARTA – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang melalui Dinas Pendidikan telah menyalurkan 5.030 paket sembako untuk para guru honor dan tenaga kependidikan.
“Kami seluruh jajaran Dinas Pendidikan urunan dan kami belanjakan puluhan ton beras dan bahan pangan lainnya untuk para pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus honor,” jelas Kepala Dinas Pendidikan Masyati Julia, Jumat (08/05/2020).
Dikatakannya ribuan paket bahan pangan tersebut akan disalurkan dari rumah ke rumah bagi para guru honor dan tenaga kependidikan yang ada dikota Tangerang.
“Mereka adalah keluarga besar kita juga, dan mereka wajib dibantu kan namanya juga keluarga harus berbagi,” jelasnya.
Semetara itu Drs Jamalludin, Sekretaris dinas pendidikan secara teknis menambahkan, pihaknya telah menyiapkan 25 ton beras untuk para guru honorer dan tenaga kependidikan.
“Total keselurahan beras yang sudah kami persiapkan untuk sekota tangerang kurang lebih 25 ton dan 5.030 paket sembako,”jelasnya.
“Insya Allah semua paket sudah terdistribusikan disetiap korwil, dan dalam waktu dekat tersalurkan seluruhnya,” tambahnya.
Sementara itu, Soswanto salah satu guru honorer di SDN Sukasari 6 menyambut baik perhatian pemkot terhadap para guru honorer, secara langsung dia juga ucapkan terima kasih kepada pemkot Tangerang.
“Kami atas nama guru Non PNS SDN Sukasari 6 khususnya dan atas nama keluarga besar guru non PNS Se Kota Tangerang, kami mengucapkan terimakasih atas bantuan non tunai berupa beras dan mie instan dari Dinas Pendidikan Kota Tangerang yang telah kami terima, pada hari ini Jumat, 08 Mei 2020,” tuturnya.
“Bantuan ini sangat membantu kami dalam menghadapi dampak Covid-19 ini,”ucapnya.(*/Tya)
JAKARTA – Sebuah dokumen terkait mekanisme penerimaan peserta didik baru (PPDB) DKI Jakarta beredar luas di kalangan guru, orang tua murid, dan lembaga bimbingan belajar pada Kamis (7/5/2020).
Sejumlah orang tua pun melancarkan protesnya mengenai ketentuan sistem zonasi yang menerapkan seleksi berdasarkan usia untuk calon siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
“Tidak adil kalau seleksinya berdasarkan usia, apa gunanya nilai akademik selama ini?” tanya Vita Mutia, salah seorang warganet melalui akun Facebook-nya.
Sementara itu, salah satu orang tua murid kelas tiga SMP di Jakarta Timur, Nuniek Lestari, menganggap seleksi berdasarkan usia akan membuat anaknya berada di urutan bawah dalam daftar calon siswa SMA di dekat rumahnya.
Ia mengatakan, anaknya belum genap berusia 15 tahun ketika tahun ajaran baru dimulai.
“Harus diprotes ini,” ujarnya Kamis.(7/5/2020)
Saat dikonfirmasi mengenai kebenaran informasi dalam dokumen tersebut, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menyatakan hingga saat ini petunjuk teknis PPDB tersebut belum dirilis. Kepala Hubungan Masyarakat Disdik DKI Jakarta Sonny Juhersoni mengatakan, mekanisme PPDB masih dibahas.
“Disampaikan bahwa saat ini PPDB DKI sedang dalam pembahasan akhir,” kata Juhersoni saat dikonfirmasi , Jumat (8/5/2020).
Juhersoni memastikan, bila pembahasan PPDB telah selesai maka petunjuk teknis (juknis) terkait PPDB tersebut akan disampaikan pada publik. Penyampaian itu dilakukan melalui sarana resmi Pemprov DKI Jakarta.
“Juknis PPDB 2020/2021 akan di-release melalui sarana informasi resmi dinas pendidikan,” kata Juhersoni.
Dalam informasi yang beredar di media sosial, sistem zonasi disebut mendapatkan persentase 50 persen kuota PPDB. Dalam tabel tersebut tertera calon peserta didik dari jalur zonasi diseleksi berdasarkan usia. Syarat umum usia maksimal 15 tahun untuk SMP dan 21 tahun untuk SMA, terhitung sebelum 21 Juli 2020.(*/Ind)
JAKARTA – Panitia Kerja (Panja) Pendidikan Vokasi Komisi X DPR meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tetap memperhatikan siswa volasi selama pandemi COVID-19.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Dirjen Pendidikan Vokasi, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, serta Kepala Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud pada Rabu, 6 Mei 2020, guna membahas mengenai keadaan pendidikan vokasi di Indonesia, serta arah kebijakan dan program vokasi Kemendikbud ke depannya.
“Kita ingin semuanya evidence based. Begitu banyaknya penelitian yang telah dilakukan harus menjadi dasar penentuan pembangunan vokasi yang memang menjadi salah satu fokus utama Kemendikbud di periode ini.
Mulai dari penentuan sektor prioritas, jumlah SMK yang akan dibangun, persebaran geografisnya, semua harus ada justifikasi dan argumennya,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian selaku pimpinan RDP dalam siaran pers kepada SINDO Media, Kamis (7/5/2020).
Kemudian, Hetifah menyampaikan masuknya rencana pembangunan vokasi ke dalam cetak biru sangat penting, demi menjamin keberlangsungan rencana tersebut secara jangka panjang.
Karena, jika tidak ada grand designnya yang memiliki kekuatan hukum, ini sangat rentan program tersebut tidak berlanjut di periode selanjutnya jika menterinya berubah.
“Oleh karena itu kita harus sama-sama berkomitmen untuk ini, dan cetak biru tadi harus dibuat dengan benar-benar berkualitas baik,mempertimbangkan arah perkembangan zaman, dan berbasis data,” jelas Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Legislator Dapil Kalimantan Timur ini juga mengingatkan, perlunya Kemendikbud untuk menerbitkan kebijakan khusus pendidikan vokasi selama masa pandemi ini. “Karena masih belum adanya ketidakpastian kapan kita akan keluar dari masa pandemi ini, Kemendikbud harus menyiapkan skenario-skenario juga untuk anak SMK dan pendidikan vokasi lainnya.
Karena rata-rata mereka belajar berbasis praktik, tidak bisa hanya teori secara daring. Harus dipikirkan solusinya agar pembelajaran yang dilaksanakan tetap berkualitas,” ungkapnya.(*/Tya)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro