JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, Kemendikbud belum bisa memastikan kapan secara pasti siswa bisa kembali belajar di sekolah.
Untuk itu, Nadiem meminta masyarakat tidak mudah percaya dengan kabar-kabar bahwa sekolah akan kembali dibuka pada awal tahun 2021.
“Mengenai isu pembukaan sekolah kembali, kami memang sudah menyiapkan beberapa skenario, namun hal itu menjadi diskusi pada pakar-pakar dan keputusannya masih dalam pembahasan Gugus Tugas (Percepatan Penanganan Covid-19),” ujar Nadiem dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, di Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Nadiem mengungkapkan, Kemendikbud terus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 terkait proses belajar-mengajar di sekolah. Untuk itu pihaknya meminta agar masyarakat tidak mudah percaya dengan isu yang menyebutkan bahwa sekolah kembali dibuka pada awal tahun 2021.
“Jadi saya tidak bisa memberikan pernyataan apa-apa, karena keputusannya ada pada Gugus Tugas,” katanya.
Nadiem menambahkan, pandemi Covid-19 memang berdampak pada dunia pendidikan karena seluruh negara di dunia menyelenggarakan pembelajaran dari rumah.
Meski mengalami “penurunan” pada saat ini, Nadiem yakin usai pandemi Covid-19 terdapat sejumlah perubahan-perubahan baru di dunia pendidikan, mulai dari teknologi hingga pola pikir.
Dalam kesempatan itu, Nadiem juga mengatakan pihaknya akan memasukkan proses pendidikan pada saat pandemi Covid-19 itu ke dalam cetak biru pendidikan. Anggota Komisi X DPR Rano Karno meminta agar Nadiem memberikan gambaran mengenai penerapan Merdeka Belajar pada saat kondisi krisis karena pandemi Covid-19.
Rapat dengar pendapat dengan Mendikbud tersebut membahas mengenai pemotongan anggaran Kemendikbud sebesar Rp4,9 triliun untuk penanganan Covid-19. Dalam rapat itu, fraksi-fraksi yang ada di Komisi X DPR menyetujui perubahan anggaran Kemendikbud tersebut yang sebelumnya berjumlah Rp75,7 triliun menjadi Rp70,7 triliun.(*/Ind)
GARUT – Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI) Kabupaten Garut mencatat, banyak guru honorer di Garut tidak terdata sebagai penerima bantuan pemerintah yang dialokasikan dari APBD setempat karena tidak masuk dalam daftar pokok pendidikan (Dapodik).
“Akibat syarat yang ditentukan itu, banyak guru honorer yang tidak masuk Dapodik tidak mendapat bantuan,” kata Ketua APSI Kabupaten Garut Sony MS kepada wartawan di Garut, Rabu (20/5/2020).
Ia menuturkan Pemkab Garut mengalokasikan anggaran untuk membantu meringankan beban kebutuhan hidup para guru honorer yang terdampak COVID-19.
Namun anggaran itu, kata dia, tidak bisa diserap oleh semua guru honorer, Pemkab Garut menentukan syarat bagi guru honorer yang sudah masuk dalam Dapodik dan tidak menerima sertifikasi.
“Para guru honorer banyak juga yang belum dikasih honor selama pandemi ini, terus sekarang tidak mendapat bantuan,” katanya.
Ia menyampaikan selama ini honor guru honorer di Garut dibebankan anggarannya dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah dua bulan belum cair dari pemerintah.
Selama menunggu honor dari BOS itu, katanya, para guru harus berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk itu berharap ada perhatian dari pemerintah. “Kebutuhan sehari-hari kan terus jalan, tapi upah tidak dapat, sekarang juga bantuan tidak ada,” katanya.
Ia berharap adanya perhatian dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Garut untuk membantu guru honorer yang tidak masuk dalam daftar bantuan pemerintah daerah. “Jadi Baznas harus turun membantu mereka,” katanya.
Sebelumnya, Pemkab Garut mengalokasikan anggaran sebesar Rp8 miliar untuk membantu para guru honorer tingkat SD dan SMP di Garut yang terdampak COVID-19. (*/Dang)
JAKARTA – Wacana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan beberapa pemerintah daerah, seperti DKI Jakarta, untuk membuka kembali sekolah di zona hijau virus corona, pada pertengahan Juli 2020 mesti diperhitungkan matang. Jangan sampai pelaksanaannya terkesan terburu-buru sehingga akhirnya mengorbankan guru dan murid.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim mengatakan, koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah masih buruk saat ini. Ini misalnya terlihat dengan pendataan bansos yang belum sinkron sehingga menimbulkan kekacauan penyalurannya di lapangan.
Begitu juga terkait data penyebaran Covid-19 di wilayah tertentu yang masih belum sama antara pusat dan daerah. “Jangan sampai nanti setelah suatu wilayah ditetapkan sebagai zona hijau, artinya terbebas dari penyebaran Covid-19, tahu-tahu ada korban positif di wilayah tersebut,” katanya, Minggu 17 Mei 2020.
Pemerintah pusat mesti memperbaiki koordinasi, komunikasi, dan pendataannya. Dalam hal ini antara Kemenko PMK, Kemenkes, Kemdikbud, Gugus Tugas Covid-19 BNPB, dengan Pemda.
“Apakah di satu wilayah benar-benar sudah aman dari sebaran virus corona? Jangan sampai karena buruknya pendataan, setelah masuk sekolah Juli nanti, justru siswa dan guru jadi korban terkena virus corona. Risikonya terlalu besar,” tuturnya.
Ia mengatakan, FSGI berpandangan agar Juli 2020 sebaiknya tetap dijadikan sebagai awal tahun ajaran baru dengan pembelajaran yang dilaksanakan dari rumah, baik daring maupun luring. Pemerintah tetap harus melakukan perbaikan layanan, kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran, dan akses internet.
“Ini dirasa lebih aman dan nyaman, baik bagi guru maupun orang tua siswa. Ketimbang memaksakan masuk sekolah biasa, tanpa perhitungan dan pendataan yang baik,” tuturnya.
Menurut Satriwan, pembelajaran jarak jauh bisa menjadi opsi terbaik sampai satu semester ke depan, atau setidaknya sampai pertengahan semester. Sampai kurva Covid-19 betul-betul melandai, dengan mempertimbangkan masukan dari para ahli kesehatan pastinya.
Ia menambahkan, tidak kalah penting adalah Kemdikbud dan Kemenag yang harus segera mempersiapkan pedoman Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) atau dulu dikenal dengan Masa Orientasi Siswa (MOS) tahun ajaran baru 2020/2021. “Yang pasti format PLS tahun 2020 ini akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, baik dengan skema daring maupun luring,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merencanakan tahun ajaran baru dimulai pada Juli. Tetapi, rencana itu masih mempertimbangkan kondisi dinamis dari dampak pandemi.
“Yang kami tahu, pada saat ini diperkirakan Juli (tahun ajaran baru) sudah oke ya. Tapi, siapa yang bisa memprediksi covid-19 ini bisa oke atau tidak? Karena kemudian kalau kita lihat kasus Spanish Flu, misalnya. Atau yang terjadi di Korsel yang mungkin sudah aman dan membuka aktivitasnya, ternyata ada gelombang kedua,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahril.
Ia juga menyinggung tentang perbedaan setiap daerah di tengah pandemi virus corona. Menurutnya, perbedaan itu seharusnya berpengaruh kepada pola kegiatan belajar mengajar di sekolah.
“Saya juga dapat cerita-cerita tentang beberapa daerah masih seperti biasa saja, tidak ribet seperti Jakarta yang sudah PSBB. Mereka tidak terkena covid, kenapa harus ikut-ikutan polanya tutup dan lain-lain? Kan sayang sebenarnya bisa melaksanakan belajar mengajar dengan baik,” tukasnya.(*/Ind)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana akan membuka kembali aktivitas belajar mengajar di sekolah mulai Juli 2020 mendatang. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengingatkan Kemendikbud untuk berhati-hati menerapkan kebijakan tersebut.
“Saya kira Kemendikbud harus benar-benar berhati-hati menerapkan kebijakan ini,” kata Hetifah , Minggu(17/5).
Dia mengatakan, saat ini virus telah terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, dia berharap, dalam waktu dua bulan ini pandemi sudah selesai.
“Namun harus kita lihat perkembangan dua bulan kedepan. Dikhawatirkan adanya Idul Fitri dan masih adanya orang-orang yang memaksakan mudik, membuat kasus di daerah menjadi lebih tinggi,” ujarnya.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan, DPR menyarankan sejumlah opsi terkait rencana pemerintah membuka kembali aktifitas di sekolah.
Menurutnya, dibukanya sekolah tidak harus bersamaan waktunya di seluruh daerah.
“Tidak harus seragam atau bersamaan waktunya, bisa mengikuti saran dan keputusan Satgas Covid di tiap daerah,” tuturnya.
Skenario lain, imbuhnya, kalaupun Juli tetap akan dibuka, maka yang dipastikan sekolah yang dibuka hanya di daerah yang dipastikan zona hijau dan aman dari covid-19.(*/Ind)
JAKARTA – Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Muhammad Hasbi mengatakan, dalam survei yang dilakukan pihaknya masih ada guru yang menggunakan lembar kerja siswa (LKS) untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) PAUD.
Padahal, metode menggunakan LKS ini tidak tepat untuk siswa PAUD.
“Masih ada guru dan orang tua yang menggunakan LKS, yang kita sama-sama tahu bahwa metode ini akan memaksa anak belajar secara skolastik,” kata Hasbi, dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (16/5/2020).
Belajar dengan cara skolastik, kata Hasbi dapat berbahaya bagi pembelajaran anak di masa depan. Sebab, apabila terlalu dipaksa, akan menghilangkan potensi kecakapan akademiknya di masa yang akan datang.
Mestinya, pembelajaran di rumah untuk siswa PAUD lebih menekankan kepada kegiatan bermain sambil belajar. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pembinaan kepada guru PAUD dan orang tua di daerah-daerah agar siswa PAUD bisa belajar dengan baik.
Kemendikbud sudah memiliki portal Rumah Belajar yang menyediakan konten-konten pendidikan mulai dari PAUD hingga jenjang menengah atas. Sebenarnya, guru PAUD bisa menggunakan bahan yang ada dalam portal tersebut untuk membantu siswa PAUD belajar di rumah.
“Faktanya, hanya 13,2 persen dari mereka yang melalui pembelajaran melalui metode daring (sejenis portal Rumah Belajar). Lebih banyak melaksanakan pembelajaran dengan memberikan penugasan kepada orang tua melalui mekanisme SMS/telepon/WA,” kata Hasbi.
Di dalam survei yang dilakukan Kemendikbud, ditemukan juga sejumlah hambatan pembelajaran daring. Beberapa hambatan yang cukup tinggi persentasenya adalah keterbatasan APE(alat permainan edukatif)/belajar online, keterbatasan biaya, dan kurangnya kemampuan orang tua yang tidak disiapkan untuk menjadi pendidik di rumah.
Terkait hal ini, Hasbi mengatakan, pihaknya menyiapkan pembelajaran baik untuk guru dan orang tua. Ia menjelaskan, Kemendikbud melakukan pemetaan konten untuk orang tua, kemudian melakukan kurasi konten, dan mengembangkan konten yang sudah disesuaikan. Akhirnya, Kemendikbud memfasilitasi orang tua untuk mengikuti webinar.
Tidak hanya itu saja, Kemendikbud juga memberikan fasilitas kepada guru PAUD. Ia menjelaskan, pihaknya memiliki empat strategi yang dikembangkan. Pertama adalah melalui jejaring UPT di daerah agar terus melaksanakan seminar online.
“Agar mampu meningkatkan kompetensi guru PAUD untuk melaksanakan pembelajaran digital,” kata Hasbi.
Selain itu, Kemendikbud juga memikirkan bagaimana memberikan pembinaan kepada guru PAUD yang tidak memiliki jaringan. Bagi guru yang kesulitan jaringan, maka materi akan dimasukkan ke akun Youtube dan dikirimkan melalui Whatsapp.
“Kedua adalah, peserta yang sudah dilatih, diharapkan bisa menyebarkan kepada guru PAUD yang lain melalui gugus PAUD,” kata Hasbi menjelaskan.
Kemendikbud juga memfasilitasi guru PAUD melalui bimtek daring. Ia berencana menjangkau seluruh tenaga PAUD di Indonesia caranya melalui bimtek daring berjenjang. Pelaksanaannya akan melibatkan 29 UPT dan organisasi-organisasi mitra PAUD.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uhamka, Desvian Bandarsyah mengatakan, saat ini Indonesia harus bersiap dengan pendidikan daring. Bukan hanya saat pandemi Covid-19 namun juga di masa depan setelah wabah yang menyerang dunia ini selesai.
“Kita perlu mengarah pada tren pendidikan yang mengarah ke masa depan, tapi dengan teguh juga perlu menjejakkan kakinya pada nilai dan cita-cita tradisionalnya. Menjadikan manusia Indonesia seutuhnya dengan akhlak utama,” kata Desvian.(*/Ind)
JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 mulai 15 Juni hingga 9 Juli 2020. PPDB kemungkinan akan dilakukan secara daring (online) mengingat pandemi Covid-19 yang belum berakhir.
Baca Juga
Pemerintah Siapkan Lahan Pertanian Antisipasi Krisis Pangan Hari ini, Pasien Sembuh dari Corona Catatkan Rekor Terbanyak Tiga Pasien Sembuh, Majalengka Nihil Kasus Covid-19
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana mengungkapkan hal tersebut dalam rapat virtual bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria pada Senin (11/5) yang diunggah di akun situs berbagi video milik Pemprov DKI Jakarta, Jumat (15/5/2020).
Dengan mekanisme kebijakan PPBD di rumah ini, peserta atau calon peserta didik dapat melihat mulai dari teknis pendaftaran dan daya tampung secara daring. Lalu mendaftarkan diri secara daring.
“Dilakukan verifikasi oleh operator atau panitia PPDB dan melihat hasil seleksi serta melakukan lapor diri juga secara daring,” katanya.
Bagi calon peserta didik yang tidak bisa melakukan pendaftaran secara daring, pihaknya telah menyiapkan layanan bantuan (help desk), baik melalui posko-posko yang ada di sekolah atau yang ada di suku dinas. “Dengan memperhatikan protokol kesehatan saat ini dalam kondisi pandemi. Lalu di nomor telepon, baik secara langsung maupun WhatsApp dan media-media sosial,” ujarnya.
Nahdiah menyebutkan, PPDB tahun ini ada empat jalur penerimaan, seperti tahun sebelumnya. Keempat jalur itu ialah zonasi, afirmasi, prestasi dan perpindahan orang tua atau anak guru. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga sudah merencanakan hari pertama sekolah pada 13 Juli, jika memang wabah virus corona (COVID-19) sudah berakhir atau mereda.
“Lalu persiapan masa perkenalan lingkungan sekolah yang direncanakan 11 Juli. Hari pertama sekolah dengan mempertimbangkan kebijakan baik dari pusat ataupun daerah yang kami siapkan di 13 Juli 2020,” katanya.
Adapun tahapan PPDB 2020/2021:
1. Sosialisasi Internal: 14 Mei-18 Mei 2020
2. Sosialisasi Eksternal: 18 Mei-20 Mei 2020
3. Pra-pendaftaran: 11 Juni-14 Juni 2020
4. Pendaftaran Online: 15 Juni-9 Juli 2020
5. Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah: 11 Juli
6. Hari Pertama Sekolah: 13 Juli 2020.(*/Ind)
JAKARTA – Ketua Umum Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19, Sandiaga Salahuddin Uno menyerahkan beasiswa kepada sebanyak 100 orang pelajar dan mahasiswa yang terdampak pandemi Covid-19 di wilayah tertentu.
Sandiaga mengatakan, program beasiswa ini diinisiasi founder Kahmipreneur, Kamrussamad dan beberapa dukungan dari Gabungan Relawan Presiden Jokowi (GRPJ). Dia pun mengapresiasi program pemberian beasiswa yang digagas Kahmipreneur ini.
“Saya adalah produk beasiswa, sehingga saya tahu bagaimana beasiswa sangat membantu, khususnya dalam bidang pendidikan. Saya harap beasiswa ini bisa membuka peluang kesuksesan untuk para penerimanya,” kata Sandiaga dalam keterangan tertulis, Jumat (15/5/2020).
Pemberian beasiswa kepada pelajar yang berada di DKI Jakarta, Sumedang, Bekasi, Bandung, Sumatera Barat, Tangerang Selatan (Tangsel), Tangerang, Cimahi, Depok, Bandung Barat, Pekanbaru dan Makassar.
Adapun pemberian simbolis beasiswa ini digelar di DKI Jakarta yang dihadiri 15 orang penerima yang berasal dari DKI Jakarta dan diikuti penerima dari daerah lain secara virtual.
Salah satu peserta penerima beasiswa, Ridho Mahasiswa asal Universitas Bung Karno ini mengaku bersyukur menjadi penerima beasiswa Kahmipreneur. Ridho yang sehari-hari menjadi driver ojek online ini terkena dampak Covid-19 dan membuatnya kesulitan membayar uang kuliah.
Selain Ridho, ada juga Melisa yang sebagai penerima beasiswa ini juga kehilangan pekerjaannya akibat pandemi ini.
Sebelum adanya pandemi, Melisa menjalani kuliah sambil bekerja. Namun, perusahaannya mengurangi separuh karyawan termasuk Melisa, sehingga dia kesulitan untuk biayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari.
Dari total 20.700 orang yang mendaftar beasiswa ini, sebanyak 100 pelajar dan mahasiswa yang terpilih di gelombang I ini memiliki minat entrepreneur yang tinggi. Sandiaga juga melakukan dialog interaktif dengan para penerima di daerah lain. Mereka berharap pandemi Covid-19 bisa segera teratasi. Dalam acara ini juga dihadiri beberapa perwakilan Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19.(*/Tya)
JAKARTA – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril menjelaskan persoalan pada penerapan program merdeka belajar di daerah.
Ia mengatakan masih banyak daerah yang membuat peraturan ujian sekolah seperti yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya.
Iwan mengatakan salah satu poin dalam program merdeka belajar yaitu soal ujian sekolah. Di dalam konsep merdeka belajar, sekolah diberikan kebebasan untuk membuat bentuk ujian sekolah.
Iwan memahami di lapangan, masih banyak yang belum siap menjalankan kebijakan merdeka belajar. “Memang sebuah realitas yang kita hadapi, perubahan mindset itu butuh waktu,” kata Iwan dalam diskusi bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI), Rabu (13/5/2020).
Esensi dari merdeka belajar sebenarnya adalah ownership atau rasa kepemilikan. Dengan demikian, pemerintah daerah dan satuan pendidikan diharapkan bisa melakukan hal yang sesuai dengan masalah yang dihadapi masing-masing. Sebab, setiap daerah dan satuan pendidikan menghadapi masalah yang berbeda-beda.
Pada saat yang sama, ia menyadari ekosistem pendidikan di Indonesia masih membutuhkan panduan untuk merdeka. Terkait hal ini, Iwan menuturkan, Kemendikbud membuat panduan-panduan.
Kendati demikian, panduan yang diberikan bukan berupa mandat yang wajib dilakukan. Namun, tujuan panduan adalah membantu pihak-pihak yang masih gamang dan tidak yakin menjalankan kebijakan merdeka belajar.
“Sudah mau diajak berlari tapi kayaknya masih ragu-ragu, itu memang menjadi PR kita,” kata dia lagi.
Terkait menciptakan ekosistem yang mendukung untuk merdeka, Iwan mengatakan memang Kemendikbud tidak bisa bekerja sendirian. Kemendikbud sangat mengapresiasi organisasi profesi yang ikut mendorong ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Di sisi lain, ia mengatakan, mengatakan pihaknya memikirkan bagaimana bisa meningkatkan keterikatan (engagement) dengan pemerintah daerah. Ia mengakui, selama ini banyak konsolidasi yang belum terjalan dengan baik antara pusat dan daerah.
Ia menjelaskan, masalah regulasi memang menjadi tantangan dalam memajukan pendidikan di Indonesia. “Pemerintah kelihatannya besar, tapi sebenarnya punya banyak keterbatasan. Regulasi-regulasi itu menjadi tantangan yang harus kita cari solusinya,” kata Iwan.
Saat ini, dirinya sedang mencoba belajar dengan cepat memahami dinamika-dinamika yang terjadi di lapangan. Pada saat ini, kata Iwan, pihaknya terus melakukan konsolidasi yang dinilai masih belum maksimal dijalankan.
Sementara itu, Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan pandangan Ditjen GTK sebenarnya sejalan dengan IGI. Namun, ia menegaskan benturan regulasi menjadi satu hal yang harus bisa dihadapi.
Ia mencontohkan dengan adanya isu balai guru penggerak untuk tempat pelatihan guru. Sementara di lapangan saat ini sudah ada LPMP dan P4TK. Ia mempertanyakan bagaimana nanti posisi tempat-tempat tersebut dalam pelatihan guru.
“Di sisi lain, ketika misalnya, balai guru penggerak ini didorong akan ada benturan regulasi. Misalnya, seperti apa posisi-posisi itu,” kata Ramli.
Lebih lanjut, Ramli ingin apapun langkah yang dilakukan Kemendikbud, dapat menciptakan atmosfer pendidikan yang mampu meningkatakan kompetensi guru secara mandiri. Sebab, ia melihat selama ini kebijakan yang dilakukan terkait dengan kompetensi guru seringkali tidak tepat. Pada akhirnya, pelatihan dilakukan namun tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap pendidikan Indonesia.
Dalam rangka menciptakan atmosfer tersebut, Ramli mengatakan Kemendikbud harus memperjelas fungsi dan posisi organisasi profesi guru. Bukan dengan melibatkan organisasi masyarakat di luar guru.(*/Ind)
JAKARTA – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril, menjelaskan salah satu program yang ia akan dorong adalah menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif.
Ia menjelaskan, ekosistem belajar guru harus dibangun dengan kerjasama antara pemangku kepentingan.
“Kita ingin di setiap provinsi terbentuk ekosistem pendidikan guru yang sifatnya inklusif, jadi antara sekolah, lalu ada di sana penggiat pendidikan, komunitas, akademisi, organisasi profesi, dan lain-lain itu semua bekerja barengan supaya memenuhi kebutuhan belajar guru yang relevan,” kata Iwan, dalam diskusi daring, Rabu (13/5).
Ia menyadari kondisi masing-masing guru di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat beragam. Guru di tiap daerah menghadapi tantangan-tantangan yang berbeda dan tidak bisa diselesaikan oleh satu jenis ekosistem belajar untuk guru.
“Relevan ini saya garis bawahi, karena sama dengan murid belajar, guru belajarnya pun perlu diferensiasi,” kata dia menambahkan.
Terkait hal tersebut, Kemendikbud ingin mensyaratkan bagaimana membentuk ekosistem belajar guru yang lebih berdaya. Menurut Iwan, hal ini perlu untuk menjadi bagian yang hadir di tiap provinsi.
Pelatihan guru tidak semuanya harus berada di pusat. Justru yang penting kini adalah melihat kebutuhan dan tantangan yang berbeda masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian dijadikan dasar ekosistem belajar untuk guru.
Selain itu, ia berharap komunitas pendidikan bisa bergotong royong dan saling melengkapi. Pada akhirnya, tujuan dari pendidikan yang diinginkan adalah bagaimana bisa melayani murid dengan baik.
“Jadi ini sebuah strategi yang menurut kami, kita nggak bisa sendirian. Jadi filosofi gotong royong dengan memberdayakan komunitas pendidikan adalah salah satu kunci bagaimana kita bisa membuat ekosistem belajar yang baik,” kata Iwan menegaskan.(/Ind)
JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mendorong agar pemerintah menyusun peraturan yang berpihak kepada sekolah swasta. Ia mengatakan, dalam menyusun cetak biru pendidikan konsep kemitraan antara pemerintah dan swasta harus ditonjolkan.
“Dalam menyusun blueprint yang baru, dalam merevisi UU Sisdiknas sudah harus ditegaskan bahwa harus terjadi kemitraan antara pihak swasta dan pihak pemerintah. Untuk menjadi mitra harus sejajar,” kata Indra, dalam diskusi secara daring, Selasa (12/5/2020).
Selama ini, ia menilai dalam implementasi di lapangan hubungan antara pemerintah dan swasta tidak bermitra. Sekolah swasta seakan-akan menjadi bawahan dan harus menuruti aturan-aturan yang ditetapkan.
Ia mencontohkan salah satu satuan pendidikan kerjasama (SPK) atau sekolah internasional yang terdapat mata pelajaran bahasa daerah. Indra menilai, bagi SPK pelajaran bahasa daerah tidak diperlukan. Berbeda dengan seni daerah yang mungkin bisa dipelajari, namun tidak tepat untuk bahasa daerah.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah mengatakan sekolah swasta di Indonesia memiliki jumlah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penting untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah swasta di Indonesia.
Peran masyarakat terhadap pendidikan harus terus ditingkatkan. Munculnya sekolah swasta sebenarnya dapat membantu pemerataan pendidikan di Indonesia.
Ferdiansyah pun berharap agar peran masyarakat ini semakin diperluas.
Sekolah swasta dalam hal ini tidak hanya sekolah umum namun juga sekolah luar biasa (SLB) dan juga perguruan tinggi. Ia menjelaskan, SLB di Indonesia banyak yang berstatus swasta daripada yang negeri. Namun, secara aturan sekolah ataupun perguruan tinggi swasta tidak memiliki peraturan khusus yang mendukung mereka.
“Konsep publik dalam dunia pendidikan, saya rasa harus ini yang ditawarkan karena kita tidak akan berhasil kalau hanya bergantung pada APBN saja,” kata Ferdiansyah dalam kesempatan yang sama.
Pemimpin dan pendiri SIS Group of Schools, Jaspal Sidhu mengatakan di negara asalnya Singapura, pemerintah memiliki peraturan yang jelas. Peraturan tersebut memisahkan sekolah negeri dan sekolah swasta. Hal ini menyebabkan pengelolaannya menjadi lebih mudah.
“Di Amerika juga begitu. Mereka punya sistem yang bernama charter school, di mana pemerintah mendanai sekolah ini tapi sektor swasta yang mengelola,” kata Jaspal.
Terkait fakta yang ada di lapangan tersebut, Indra menyarankan agar jenis sekolah di Indonesia dibagi menjadi tiga. Ketiga jenis sekolah tersebut adalah sekolah negeri, sekolah piagam (charter school), dan sekolah swasta.
Sekolah negeri, ia menjelaskan, harus bebas pungutan dan diutamakan untuk masyarakat prasejahtera. Ia juga menyarankan agar sekolah negeri dibuat menjadi satker (satuan kerja). Sebab, anggaran untuk satker akan disesuaikan dengan kebutuhan.
Jenis kedua adalah sekolah piagam atau charter school. Ia menjelaskan, pengelolaan sekolah piagam dilakukan swasta namun anggarannya didukung oleh pemerintah. Bisa juga menggunakan hibah persiswa.
“Ini akan memudahkan pemerintah dalam membuka akses (pendidikan). Mereka tidak harus membangun gedung baru atau mencari guru. Karena banyak sekolah yang dibangun misionaris dulu, dan cukup disuntik bantuan saja bisa berkembang daripada harus membangun sekolah baru,” kata Indra.
Jenis ketiga adalah sekolah swasta termasuk juga sekolah SPK. Sekolah ini sepenuhnya dikelola swasta dan diberikan kebebasan untuk menyusun kurikulum sendiri. Pembiayaan juga dibebaskan dengan menerima pungutan dari siswa-siswinya.
“Kita tidak perlu takut ini menjadi komersial, karena semakin dia komersial, pajaknya semakin tinggi dan ini juga akan bermanfaat bagi bangsa ini. Toh kita masih punya sekolah negeri dan sekolah piagam,” katanya.(*/Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro