JAKARTA – Pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) Syafril mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus secara tegas dan terbuka terkait pembukaan sekolah.
Sebab, ia menilai, Kemendikbud dan Kemenko-PMK masih saling melempar tanggung jawab terkait hal ini.
“Hendaknya pejabat publik seperti Mendikbud tidak menjauh dari publik, ia harus hadir untuk menerangkan secara terbuka apa masalah yang dihadapi oleh negara saat new normal dilakukan bagi sekolah,” kata Syafril, dalam keterangannya, Sabtu (13/6).
Ia menyinggung soal tagar di media sosial #mhsmencarinadiem beberapa waktu lalu. Jangan sampai ada tagar lanjutan ketika rakyat mencari Mendikbud Nadiem Makarim. Ia mengatakan, saat ini yang ada hanya desas-desus di media.
Syafril mengatakan, Kemendikbud harus memikirkan pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah. Jumlah rombel siswa di sekolah negeri mencapai lebih dari 40 dengan luas ruang belajar sekitar 80 meter kubik. Fakta tersebut tentu akan sulit untuk mengatur pembatasan sosial.
“Kalau protokol covid mau diterapkan maka harus disiapkan dua kali lipat jumlah ruang pada setiap sekolah yang jumlah rombelnya 30-an siswa ke atas,” kata dia.
Selain itu, perlu dipikirkan juga pengaturan siswa ketika pulang sekolah. Sebab, tidak ada yang bisa menjamin siswa akan langsung pulang ke rumahnya seusai sekolah. Oleh karena itu, harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah agar tidak muncul klaster baru dari sekolah.
Ketentuan jumlah hand sanitizer dan masker juga harus disiapkan oleh sekolah juga harus ditetapkan. Bagi sekolah yang memiliki biaya mungkin hal ini akan mudah. Namun, Syafril mengatakan tidak sedikit pula sekolah yang kesulitan soal pendanaan ini.
Dari segi kesehatan, juga perlu dipikirkan berapa lama siswa mampu bertahan menggunakan masker di dalam kelas. “Di sekolah yang disiplin saja seperti Korea bisa gagal dan kembali sekolah dari rumah. Apalagi Indonesia dengan varian budaya dan karakter disiplin yang beraneka ragam,” paparnya.(*/Tya)
DEPOK – Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok komitmen menuntaskan hak pendidikan bagi anak selama 12 tahun. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan kemudahan akses pelayanan pendidikan untuk siswa prasejahtera melalui subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Depok.
“Bantuan tersebut diperuntukan bagi siswa prasejahtera yang bersekolah di satuan pendidikan swasta. Mengingat kuota di sekolah negeri sangat terbatas yaitu berdasarkan kuota atau rombongan belajar (rombel),” ujar Kepala Disdik Depok, Mohammad Thamrin di Balai Kota Depok, Jumat (12/6).
Dia mengutarakan, penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran baru akan berlangsung dan mengunakan dua jalur yakni prestasi dan siswa miskin dengan kouta 50 persen serta jalur zonasi dengan kouta 50 persen.
“Untuk siswa miskin yang tak diterima di sekolah negeri akan di subsidi untuk bersekolah di sekolah swasta,” tegas Thamrin.
Menurut Thamrin, bantuan per siswa SD sebesar Rp 2 juta setiap tahunnya. Adapun untuk setiap pelajar SMP, mendapatkan subsidi Rp 3 juta per tahun. “Sementara bagi yang bersekolah di SMA/SMK, kita berikan sebesar Rp 2 juta per siswa setiap tahunnya melalui dana bantuan sosial,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, pihaknya juga membuka dua sekolah terbuka, yaitu SMP Terbuka Sawangan dan SMP Terbuka 12 Depok. Termasuk, membuka paket kesetaraan di setiap jenjang melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Negeri.
“Semuanya tidak dipunggut biaya. Kami harapkan siswa Depok, khususnya yang prasejahtera bisa melanjutkan masa wajib belajar mereka,” tukasnya.(*/Idr)
JAKARTA – Saat ini, sekitar 50 persen guru belum tersertifikasi. Maka, hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah karena berdasarkan aturan seharusnya guru sudah tersertifikasi.
“Ini berdasarkan data 11 Desember 2019. Ini gawat ini. Jadi nanti kalau gurut tidak tersertifikasi berarti tidak mengikuti peraturan perundang-undangan,” kata Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah dalam sebuah diskusi daring, Rabu (10/6).
Di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani. Guru juga harus memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Ferdiansyah mengatakan, harus ada akselerasi luar biasa terkait mensertifikasikan guru. Ia menyebutkan, secara umum guru SMP yang sudah tersertifikasi sebanyak 47,44 persen, SD 45,77 persen, dan paling kecil SMK yaitu 28,49 persen.
“Tentu berkaitan dengan ini kami mohon Kemendikbud dan Kemenag bersama DPR RI untuk mencari solusi,” kata Ferdiansyah menegaskan.
Sementara itu, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Agama (Kemenag), Suyitno membenarkan fakta yang dipaparkan Ferdiansyah. Memang secara amanat UU guru harus tersertifikasi. Namun, faktanya masih banyak yang belum tersertifikasi.
“Saya kira ini jadi amanat UU, kalau tadi Pak Ferdiansyah memberikan gamabran secara nasional, kita menemukan angka yang cukup signifikan yang belum tersertifikasi. Itu juga kenyataan riil yang dialami,” kata Suyitno.
Terkait hal tersebut Suyitno mengatakan, memang menjadi pekerjaan rumah bagi Kemendikbud dan juga Kemenag untuk meningkatkan guru tersertifikasi. Kemenag, kata dia, melakukan beberapa program untuk meningkatkan kompetensi guru.
Pertama adalah program penguatan profesionalisme. Kemenag juga melakukan pembinaan karir. Ia menjelaskan, pihaknya memastikan guru-guru di bawah Kemenag bergabung ke Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB).
Selain itu, dia mengatakan, pihaknya juga mengembangkan karakter guru. Suyitno menjelaskan, guru madrasah dikuatkan karakternya dan memiliki moderasi beragama.
“Memastikan guru-guru madrasah ini punya kompetensi di bidang penguatan karakter, sehingga membangun keislaman yang rahmatan lil alamin, yang pada gilirannya bisa menangkal gejala radikalisme di pendidikan,” tukasnya.(*/Ind)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana mengubah lama pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sebelumnya tiga tahun menjadi empat tahun.
Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto dalam webinar di Jakarta, Rabu (10/6).
“Dalam waktu dekat, kami akan berinovasi dengan mengubah SMK menjadi empat tahun atau setara dengan diploma satu atau diploma dua.
Terutama untuk program studi tertentu,” ujar dia.
Dengan lamanya SMK selama empat tahun, maka siswa memiliki cukup waktu untuk mendapatkan bekal sebelum terjun ke dunia usaha dan dunia industri. Siswa SMK juga diwajibkan mengikuti program praktik kerja di industri. Jika siswa tersebut tidak mengikuti praktik kerja maka belum bisa diluluskan.
“SMK dirancang empat tahun dan begitu lulus, siswanya bisa langsung kerja di industri,” kata dia.
Kurikulum SMK, juga katanya harus disesuaikan dengan kebutuhan industri. Kurikulum diharapkan dapat membangun kemampuan teknis dan kemampuan nonteknis siswa. Sehingga bisa menjadi lulusan yang fleksibel dan mampu bekerja di berbagai industri.
Sejumlah upaya dilakukan Kemendikbud untuk meningkatkan kompetensi lulusan SMK, mulai dari kerja sama dengan industri, peningkatan kompetensi guru dan kepala sekolah, praktik kerja di industri, hingga penyusunan kurikulum bersama industri.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan melakukan rebranding SMK, sehingga semakin banyak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMK. “Terutama siswa SMP dan para orang tua siswa SMP. SMK harus dikenalkan secara baik kepada mereka,”terangnya.(*/Tya)
CIANJUR – Tidak semua tempat internet bisa diakses dengan mudah seperti daerah Cianjur . Minimnya sarana dan prasarana penunjang terutama jaringan internet di wilayah selatan Cianjur, Jawa Barat, membuat sebagian besar tenaga pengajar di wilayah tersebut tetap harus turun langsung dari rumah ke rumah untuk memberikan pengawasan terhadap siswa yang menjalani proses belajar mengajar di rumah.
Seperti yang dijalani Dodi Riana guru honorer SDN Jaya Mekar, Desa Muara Cikadu, Kecamatan Sindangbarang, sejak diberlakukannya pembelajaran di rumah bagi siswa selama pandemi Covid-19, menjadi kendala bagi guru dan siswa di wilayah selatan yang tidak memiliki layanan internet yang baik atau sebagian besar siswa tidak memiliki telepon pintar.
Dia dan beberapa orang guru lainnya harus melakukan kunjungan ke rumah siswa sebagai bentuk bimbingan belajar terutama saat memasuki ujian yang berlangsung sejak beberapa hari yang lalu karena sebagian besar siswanya tidak memiliki telepon pintar layaknya siswa di perkotaan.
“Sejak pemberlakuan sekolah di rumah selama pandemi, kami tidak berhenti mengajar karena sebagian besar siswa tidak memiliki telepon pintar, sehingga kami jemput bola dengan mendatangi rumah siswa yang jaraknya saling berjauhan,” katanya saat dihubungi wartawan Selasa.
Ia menjelaskan, setiap hari dia bersama seorang guru honorer lainnya mampu mendampingi 6 sampai 10 orang siswa yang menjalankan ujian secara manual karena keterbatasan telepon pintar. Namun, ketika hujan turun deras, hanya 4 sampai enam orang yang dapat didampingi.
Letak geografis rumah siswa yang cukup jauh membuat pihaknya tidak dapat memaksimalkan pendampingan terhadap siswa setiap harinya. Meskipun untuk sampai ke lokasi rumah siswa yang berjarak 10 kilometer dari tempat tinggalnya, namun jalan yang rusak membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tidak jarang, sepeda motor hanya bisa dititipkan di rumah warga karena untuk sampai ke rumah siswa yang dituju, hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. “Kalau yang jauh tidak dapat ditempuh dengan sepeda motor, otomatis membutuhkan waktu yang cukup lama,” katanya.
Meskipun tetap harus mendampingi siswa langsung ke rumahnya masing-masing selama menjalani ujian, tutur dia, hal tersebut dijalani dengan sepenuh hati dengan harapan hasil ujian siswa dapat memuaskan dan seluruh siswa dapat naik kelas.
“Harapan kami jaringan internet bisa sampai ke pelosok, sehingga upaya pendampingan dapat dilakukan melalui telepon pintar. Meskipun masih sulit, kami tetap menikmati upaya pendampingan secara langsung seperti sekarang meskipun waktu yang kami miliki terbatas,” katanya.
Ia menambahkan, buruknya infrastruktur di wilayah selatan, dapat menjadi perhatian dinas terkait di Pemkab Cianjur, agar segera diperbaiki untuk meningkatkan indeks pendidikan dan perekonomian warga sekitar. (*/Yan)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memastikan tahun ajaran baru 2020/ 2021 tetap digelar sesuai jadwal, yaitu pada pekan ketiga Juli 2020 mendatang. Namun, kegiatan belajar mengajar (KBM) belum akan dilakukan di sekolah, melainkan tetap dengan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui berbagai media.
“Kita mulai tahun ajaran baru pekan ketiga Juli 2020 tetapi itu tidak sertamerta tatap muka. Disesuaikan dengan kondisi dan sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilakukan selama tiga bulan terakhir ini,” ujar Kepala
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Evi Mulyani saat konferensi video di akun Youtube Badan Nasiobal Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan tema “Lembaga Pendidikan yang Adaptif Terhadap Kebiasaan Baru”, Selasa (9/6).
“Jadi itu (kegiatan pembelajaran tatap muka dan tahun ajaran baru) adalah dua hal yang berbeda,” ucapnya menjelaskan.
Evi mengatakan, Kemendikbud telah melakukan kajian dan analisis yang sangat komperehansif dan akuntabel, koordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pihaknya tentu mengutamakan, memperioritaskan kesehatan dan keselamatan guru, murid hingga orang tua.
Evi melanjutkan, kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dilakukan dengan berbagai alternatif yaitu melalui internet, stasiun televisi, radio, hingga tersedia modul yang bisa digunakan mandiri.
Ia mengatakan, PJJ harus menjadi pengalaman yang bermakna tanpa dibebani tuntutan untuk menuntaskan kurikulum kenaikan kelas ataupun kelulusan.
Karena itu, untuk menyukseskan pembelajaran jarak jauh ini, Kemendikbud menegaskan dibutuhkan kerja sama atau kolaborasi yang baik antara guru dan orang tua. Evi melanjutkan, hikmah dari terjadinya pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) ini adalah orang tua akhirnya memahami sulitnya menjadi guru, hingga perlunya kolaborasi ortu dan guru dalam proses pembelajaran.
“Selain itu pemanfaatan teknologi juga menjadi proses pembelajaran, kemudian adanya peningkatan penyerapan teknologi dalam pendidikan,” jelasnya.(*/Ind)
BANDUNG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) mengapresiasi tenaga kesehatan (nakes) yang bertugas pada pandemi Covid-19 dengan memberikan kuota khusus bagi anaknya dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK tahun ajaran 2020/2021.
Menurut Sekretaris Dinas Pendidikan Jabar Wahyu Mijaya, kuota keluarga nakes Jabar yang bertugas menangani pandemi Covid-19 sebesar dua persen dari total PPDB di tiap-tiap sekolah negeri di Jabar. Dua persen kuota untuk keluarga nakes tersebut masuk ke dalam jalur afirmasi, baik pada PPDB SMA maupun SMK.
“Jabar memberikan (kuota) afirmasi sampai 20 persen. Dua persen (di antaranya) untuk (keluarga) tenaga kesehatan,” ujar Wahyu, Selasa (9/6/2020).
Wahyu mencontohkan, dalam sekolah untuk satu kelas ada 36 siswa. Dengan jumlah kelas maksimal SMA sebanyak 12 kelas dalam satu angkatan, berarti sekolah tersebut menerima sekitar 400 orang. Dengan demikian, maksimal untuk kuota keluarga nakes sebanyak delapan orang. “Di lokasi lain, bisa jadi tidak maksimal di 12 kelas. Jadi, tergantung penerimaan di masing-masing sekolah tersebut,” katanya.
Wahyu mengatakan, nakes yang dimaksud adalah dokter, perawat, tenaga laboratorium kesehatan (labkes), dan sopir ambulans yang bekerja di rumah sakit rujukan Covid-19 dan labkes yang ditunjuk ataupun bekerja di fasilitas isolasi mandiri yang ditunjuk. “Dan (nakes) yang (bekerja) di rumah sakit rujukan pun hanya tenaga kesehatan yang bertugas menangani Covid-19. Jadi, nanti dari kepala/direktur rumah sakit ada surat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan betul tenaga kesehatan yang menangani Covid-19,” kata Wahyu.
Terkait persyaratan pendaftaran, menurut Wahyu, keluarga nakes tersebut tetap harus memenuhi seluruh persyaratan seperti pendaftar lain. “Serta meng-upload (surat) keterangan dari tempat kerjanya (nakes) itu,” katanya.
Di tengah pandemi global Covid-19, PPDB Jabar tahun 2020/2021 sepenuhnya digelar secara dalam jaringan (daring) atau online. Pelaksanaan ini berbeda dari sebelumnya dengan sistem daring dan luar jaringan (luring). Pelaksanaan PPDB Jabar tahun 2020/2021 Jabar sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 37 Tahun 2020 tentang PPDB pada SMA/SMK/SLB.
Berdasarkan regulasi tersebut, ada empat jalur pada PPDB SMA, yakni jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua. Untuk PPDB SMK, hanya ada tiga jalur, yakni prestasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua. Sementara itu, PPDB untuk SLB disesuaikan dengan jenis kebutuhan dari siswa.
Ada dua tahapan dalam PPDB Jabar tahun ini. Tahap pertama untuk jalur prestasi, jalur afirmasi, dan jalur perpindahan dilaksanakan pada 8-12 Juni 2020. Sementara itu, tahap kedua untuk jalur zonasi dilaksanakan pada 25 Juni-1 Juli 2020.(*/Hend)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diminta merancang kurikulum sekolah era pandemi (KSEP). Kurikulum ini diperlukan agar siswa bisa maksimal belajar dari rumah dan dengan dorongan semangat dari guru dan orang tua.
Penyusunan KSEP penting dilakukan agar bisa menjadi solusi pembelajaran jarak jauh mengingat hingga kini belum ada tanda-tanda pasti menurunnya penularan wabah Covid-19 di Tanah Air. Kemendikbud harus aktif meminta pandangan dan pendapat para pakar, asosiasi guru, perwakilan sekolah, hingga orang tua siswa dalam penyusunan KSEP.
“Kami meminta pemerintah harus berhati-hati jika ingin membuka kembali sekolah pada tahun ajaran mendatang. Pemerintah harus mengedepankan keselamatan dan kesehatan siswa, guru, dan warga sekolah lainnya,” ujar Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi di Jakarta kemarin.
Unifah menerangkan, PGRI mengusulkan agar pemerintah merancang kurikulum sekolah era pandemi yang praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran yang rasional. Dia melanjutkan, kurikulum sekarang yang padat konten, sulit mendorong anak untuk belajar secara mandiri di rumah. Selain itu juga harus ada keleluasaan kepada sekolah (kluster sekolah) menyusun pembelajaran yang mungkin dicapai oleh siswa.
“Remodelling system belajar atau menciptakan proses pembelajaran yang memungkinkan anak termotivasi untuk terus belajar, menjadi pembelajar mandiri, bertumpu pada proses, guru sebagai learning manager,” katanya pada webinar Guru Pilar Peradaban.
Model pembelajaran yang bisa diterapkan yakni yang berbasis thematic instruction, collaborative learning, problem based learning, dan experimental learning. Guru besar UNJ ini menjelaskan, standar minimal pendidikan juga harus disusun lebih praktis dan terukur dan berbeda dengan standar yang berlaku saat ini. Pedoman umum pembelajaran yang baru juga harus dibuat agar sekolah dan orang tua dapat mendorong siswa untuk tetap belajar sesuai dengan KSEP dan standar yang sudah ditetapkan.
PGRI juga melakukan sejumlah survei terkait dengan harapan orang tua, anak, dan guru terhadap rencana pembukaan sekolah. Sebanyak 85,5% orang tua cemas jika sekolah dimulai pada pertengahan Juli ini. Sebaliknya sekitar 65% anak berharap dapat bersekolah kembali. Harapan yang dapat dipahami karena anak sudah terlalu lama tinggal di rumah, ada kejenuhan dan rindu suasana sekolah. Berbeda dengan itu, guru 57% siap kembali mengajar dan 43% memilih mengajar dari rumah.
Di samping survei di atas, PGRI melakukan serangkaian survei periodik terkait dengan kesiapan guru dengan pembelajaran online atau pembelajaran jarak jauh. Hasilnya sangat menarik karena gerakan untuk belajar dirasakan di mana-mana. ‘’Pemerintah harus memanfaatkan ini sebagai suatu momentum untuk melakukan pembenahan pendidikan nasional,’’ ujarnya.
Sementara itu, melalui siaran pers Kemendikbud menetapkan Tahun Ajaran Baru 2020/2021 akan dimulai pada pertengahan Juli 2020. Dalam pelaksanaannya, Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani menegaskan, dimulainya tahun ajaran baru tersebut tidak sama dengan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah.
“Tentunya yang menjadi prioritas kami adalah kesehatan dan keselamatan warga sekolah (siswa, guru dan orang tua) sehingga pembukaan kembali sekolah di wilayah zona hijau tidak serta-merta dibuka, tetapi akan dilakukan dengan sangat hati-hati, dan tetap mengikuti protokol kesehatan,” katanya.
Adapun sekolah yang berada di zona merah dan kuning, kata Evy, sistem pembelajaran jarak jauh masih menjadi pilihan utama pemerintah dalam menerapkan model pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021. “Sering kali kita masih temukan kerancuan terkait tahun ajaran baru masih disamakan dengan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah. Saat ini model pembelajaran jarak jauh akan menjadi pilihan utama sehingga bagi sebagian besar sekolah akan melanjutkan pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilakukan tiga bulan terakhir,” papar Evy.
Evy melanjutkan, pembukaan kembali sekolah, khususnya di zona hijau, akan dibahas Kemendikbud bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, sedangkan protokol kesehatan di bidang pendidikan akan dibahas bersama Kementerian Kesehatan.
“Sekolah yang berada di zona hijau tidak langsung bisa dibuka secara otomatis, tetapi melalui prosedur izin syarat yang ketat. Misalnya sebuah sekolah berada di zona hijau, tetapi berdasarkan penilaian keseluruhan prosedur dan syarat, ternyata tidak layak untuk dibuka kembali, tentu ini harus tetap menjalankan pendidikan jarak jauh,”ungkapnya.(*/Ind)
JAKARTA – Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Evy Mulyani mengatakan pembukaan sekolah di zona hijau masih dibahas bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sedangkan protokol kesehatan di bidang pendidikan akan dibahas bersama Kementerian Kesehatan.
“Sekolah yang berada di zona hijau tidak langsung dibuka secara otomatis, tetapi melalui prosedur izin, syarat yang ketat,” kata Evy, dalam keterangannya,Minggu (7/6/2020).
Misalnya, ia menjelskan, sebuah sekolah berada di zona hijau, tetapi masih tidak layak dibuka kembali berdasarkan penilaian keseluruhan prosedur dan syarat.
“Tentu ini harus tetap menjalankan pendidikan jarak jauh,” ujar dia.
Sementara itu, untuk sekolah yang berada di zona merah dan kuning, pembelajaran jarak jauh masih menjadi pilihan utama pemerintah. Karena itu, meskipun tahun ajaran baru dimulai Juli 2020/2021, siswa yang sekolahnya berada di zona merah dan kuning sudah pasti masih belajar dari rumah.
“Saat ini model pembelajaran jarak jauh akan menjadi pilihan utama, sehingga bagi sebagian besar sekolah akan melanjutkan pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilakukan tiga bulan terakhir,” kata dia lagi.
Untuk menunjang pembelajaran jarak jauh ini, Kemendikbud telah merekomendasikan 23 laman yang bisa digunakan peserta didik sebagai sumber belajar. Selain itu, peserta didik dapat memanfaatkan berbagai layanan yang disediakan oleh Kemendikbud antara lain program belajar dari rumah melalui TVRI, radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, bahan ajar cetak serta alat peraga dan media belajar dari benda dan lingkungan sekitar.
Evy menambahkan, aktivitas dan tugas pembelajaran pada sistem pembelajaran jarak jauh bisa dilakukan bervariasi sesuai dengan minat siswa. Selain itu, pertimbangan serta akses atau fasilitas belajar di rumah juga harus dipikirkan.
“Aktivitas dan tugas pembelajaran juga dapat bervariasi antar siswa kemudian disesuaikan juga dengan minat dan kondisi masing-masing termasuk juga mempertimbangkan kesenjangan akses atau fasilitas belajar di rumah,” lanjutnya.(*/Ind)
JAKARTA – Memasuki era normal baru atau new normal, sektor pendidikan tak luput dari perhatian publik. Berbagai kekhawatiran dan keresahan muncul terkait isu wacana pembukaan sekolah pada pertengahan Juli 2020 mendatang.
Keresahan itu umumnya muncul dari para orangtua siswa. Mereka cemas akan keamanan dan keselamatan anaknya dari potensi penularan virus Corona (Covid-19) jika kegiatan belajar mengajar kembali aktif secara tatap muka di sekolah. Mereka berpandangan belum adanya vaksin dan kasus virus Corona yang justru masih bertambah.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira memahami kekhawatiran itu.
Dia berpandangan, anak memang memiliki hak untuk hidup, hak sehat juga hak pendidikan. Di antara semua itu, hak anak untuk hidup harus menjadi fokus utama saat ini.
“Sebagai manusia, anak punya hak, yang pertama adalah hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kesehatan, baru kemudian hak untuk memperoleh pendidikan. Jadi jangan terbalik, kita pastikan mereka bisa survive (bertahan), bisa sehat dulu baru kita memikirkan tentang pendidikannya,” tutur Ketua Satgas Covid-19 IDAI, Yogi Prawira dalam diskusi virtual dengan sejumlah kementerian/lembaga, Selasa 2 Juni 2020.
Yogi menyampaikan pihaknya terus berdiskusi dengan Perhimpunan Guru Indonesia terkait wacana normal baru di satuan pendidikan. Dalam masa transisi menuju normal baru, IDAI juga menyatakan kesiapan perwakilan IDAI di 34 provinsi mendampingi pemerintah daerah melakukan asesmen teknis.
Sejauh ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) menyepakati tahun pelajaran baru tetap akan dimulai pada Juli 2020. Adapun metode pembelajarannya masih dilakukan secara jarak jauh, baik secara dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).
“Dalam masa transisi menuju new normal, setiap kepala dinas pendidikan dan kepala satuan pendidikan di daerah bersama-sama Gugus Tugas Daerah wajib melakukan pemetaan kesiapan daerah sesuai kriteria dan daftar periksa yang sedang disiapkan,” tegas Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khamim.
Direktur Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama, Ahmad Umar juga mendukung tidak dibukanya madrasah selama pandemi Covid-19 belum mereda.
Tidak hanya bagi anak, hal itu juga dilakukan demi menjamin keamanan dan kesehatan tenaga pendidik. “Kami sudah menyiapkan kurikulum darurat sebagai rujukan untuk para guru dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh, baik daring maupun luring,” jelas Umar.(*/Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro