JAKARTA – Kegiatan sekolah secara serentak mulai aktif kembali hari ini. Namun di tahun ajaran baru 2020/2021 ini, mayoritas daerah masih menerapkan kegiatan belajar mengajar jarak jauh atau belajar dari rumah (BdR).
Pembelajaran itu bisa dilakukan melalui daring (online) maupun luring (offline).
Pengamatpendidikan, Doni Koesoema menilai, untuk daerah yang belum memiliki akses memadai, solusi pembelajaran bisa ditentukan sesuai kondisi masing-masing sekolah dan konteks geografis para murid. Kalau memungkinkan, maka lebih baik hindari kontak fisik, tatap muka. Kalau memang harus tatap muka, sebaiknya protokol kesehatan dimaksimalkan.
“Misalnya, guru harus kunjungan ke rumah memberikan tugas selama seminggu, guru bisa mengajar beberapa murid yang berdekatan rumahnya, lalu menyerahkan tugas, dan seminggu lagi diambil. Bergantian dengan kunjungan ke rumah yang lain. Saat kunjungan, jaga jarak, pakai masker,” ujar Doni , (13/7/2020).
Bila sama sekali tak ada sarana daring, lanjut Doni, maka kunjungan lebih baik dan dikelompokkan per tempat tinggal siswa yang berdekatan. Guru bisa menyiapkan modul belajar, latihan, dan tugas untuk dikerjakan selama seminggu. Namun, komunikasi dengan orang tua harus ditingkatkan dalam pendampingan pendidikan anak.
“Hal itu juga berlaku dalam penerapan masa orientasi sekolah. Kalau ada akses internet, tetap melanjutkan dengan daring. Tapi kalau di daerah yang tidak ada akses, memang harus kunjungan ke rumah siswa,” katanya.
Sebagai informasi, masih ada belasan ribu sekolah tak teraliri listrik dan tak punya akses internet. Untuk madrasah misalnya, berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), total jumlah madrasah yang tak memiliki akses internet mencapai 13.793 dari 83.412 madrasah.
Jumlah madrasah tanpa internet itu paling banyak di Pulau Jawa, yakni 3.193 Jawa Timur, 2.684 Jawa Barat, 1.039 Jawa Tengah, 637 di Banten, 272 di DKI Jakarta, 83 di DI Yogyakarta, serta sisanya di luar Jawa. Kemenag juga mencatat madrasah dengan akses internet yang buruk sebanyak 622 madrasah.(*/Fet)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meminta kepala sekolah agar tidak khawatir dengan gangguan pengelolaan sekolah selama menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sesuai petunjuk teknis atau juknis.
“Penggunaan dana BOS tetap mengacu pada Permendikbud mengenai juknis Dana BOS.
Sepanjang sekolah, membelanjakan dana BOS sesuai juknis, seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengganggu pengelolaan sekolah,” ujar Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad di Jakarta, Kamis (16/7)
Pernyataan Hamid tersebut terkait dengan peristiwa pengunduran diri sebanyak 64 kepala sekolah SMP negeri di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Disinyalir pengunduran diri tersebut dipicu pengelolaan dana BOS dan adanya ancaman dari oknum jaksa yang bekerja sama dengan anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM). “Kami meminta dinas pendidikan setempat untuk mengatasi permasalahan ini,” ucap Hamid.
Seorang kepala sekolah SMP di Indragiri Hulu, Harti, mengatakan permasalahan sebenarnya pengunduran dirinya karena tidak nyaman lagi bekerja. “Kami bekerja dan berusaha mengelola dana BOS sesuai dengan juknis, tapi masalahnya di juknis tersebut tidak dijelaskan secara spesifik penggunaan dana tersebut.
Di inspektorat daerah sendiri kami tidak masalah, kalau laporannya salah diperbaiki,” kata Harti.
Namun yang menjadi masalah, lanjut Harti, ada pihak yang mengancam bahwa laporan penggunaan dana BOS tersebut salah dan membuat kepala sekolah tidak nyaman dalam bekerja. “Itu pula yang menjadi penyebab mengapa kami mempertaruhkan jabatan kami. Biarlah menjadi guru biasa yang penting tidak lagi was-was dalam bekerja,” ungkapnya.(*/Ind)
BOGOR – Pendidikan saat yang masih dalam keadaan pandemi covid-19 memastikan bahwa keselamatan siswa diatas segalanya sebab itu pentingnya metoda pembelajaran online atau daring untuk siswa .
Metode pembelajaran online (daring) mulai diterapkan di Zona Kuning Covid 19 seperti Kabupaten Bogor. Namun ini jadi dilema bagi orang tua siswa di tengah sulitnya ekonomi.
Pandemi Covid-19 telah memaksa masyarakat Indonesia semakin akrab dan melek teknologi. Dalam Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), sistem pendidikan pun mulai menerapkan online.
Sayangnya, dengan populasi penduduk Kabupaten Bogor 5,9 juta jiwa, masih terjadi kesenjangan sosial sangat besar, antara si kaya dengan si miskin.
Alih-alih membeli gadget untuk mendukung kegiatan belajar mengajar anak-anaknya, terkadang orang tua murid masih kesulitan membeli beras, hanya untuk makan sehari-hari.
Belum lagi, koneksi internet dan dan listrik yang masih megap-megap di wilayah pelosok Bumi Tegar Beriman, seperti tidak pernah tersentuh solusi dari Pemkab Bogor yang dipimpin Bupati Ade Yasin.
Pun jika masyarakat memiliki gadget canggih sekalipun, sulit untuk digunakan karena koneksi masih kembang kempis tadi.
Terlebih, Pemkab Bogor belum memiliki solusi untuk meringankan beban orang tua siswa yang tetap harus membayar Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP).
Meski anak-anak mereka tidak datang langsung ke sekolah dan tidak mendapat pembelajaran secara maksimal, terutama pada sekolah-sekolah swasta.
“Iya ada sebagian orang tua mengeluh. Merasa berat untuk bayaran. Karena anaknya tidak sekolah. Ini yang masih kita bahas. Untuk mengedepankan kepentingan semua orang,” jelas Bupati Bogor Ade Yasin, Selasa (14/7).
Pada sisi lain, guru honorer pun kehilangan pendapatan dengan diterapkan pendidikan sistem daring ini.
Karena pihak sekolah banyak merumahkan guru honorer. Lebih-lebih banyak orang tua siswa kewalahan untuk membayar SPP setiap bulannya.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor, Abidin Said menilai, seharusnya Pemkab Bogor memprioritaskan anggaran untuk sektor pendidikan setiap tahunnya.
Sebab, jangan sampai kondisi yang serba susah ini, membuat tenaga pengajar tidak fokus memberikan pembelajaran terhadap siswanya.
“Kewenangan pemerintah untuk mengatur anggaran di masa covid seperti ini, harusnya ada porsi ke pendidikan. Jadi keluhan honor, gak terjadi buat guru,” kata Abidin sebagai ketua dewan Pendidikan Kabupaten Bogor ini.
Ia pun mengaku mendapatkan informasi bahwa ada sekolah di swasta yang orang tua muridnya enggan atau tidak membayar kewajibannya kepada sekolah, dengan alasan anaknya tidak sekolah.
Abidin mengakui akan hal tersebut, terlebih sistem pembelajaran daring tidak bisa diterapkan secara merata di semua wilayah di Kabupaten Bogor karena kondisi wilayah yang masih berbeda antara kota dan desa.
Dikarenakan keterbatasan keuangan orang tua siswa, maupun sinyal yang sulit di dapat di wilayah yang cukup jauh.Ia pun berharap ada solusi yang konkret yang dilakukan pemerintah.(*/Ind)
LAMPUNG – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung menegaskan kegiatan belajar mengajar hanya diperbolehkan bagi kabupaten dengan zona hijau. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 di lingkungan pendidikan.
“Saat ini di Provinsi Lampung untuk tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, yang kami keluarkan izin untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar tatap muka hanya ada di dua kabupaten zona hijau,” ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Sulpakar, di Bandarlampung, Selasa (14/7/2020).
Ia menjelaskan, dua kabupaten yang mendapatkan rekomendasi untuk melaksanakan kegiatan belajar secara tatap muka merupakan Kabupaten Mesuji dan Waykanan.
“Pelaksanaan belajar mengajar secara tatap muka sesuai aturan dari kementerian hanya boleh dilakukan oleh daerah berzona hijau, dan untuk di Lampung dari sejumlah daerah yang berzona hijau ada dua daerah yang siap melaksanakannya,” katanya.
Ia mengatakan, izin telah diberikan kepada kedua kabupaten berzona hijau tersebut untuk melaksanakan kegiatan belajar tatap muka di tahun ajaran baru dan sejumlah daerah zona hijau lain tengah mengevaluasi, mempersiapkan dengan detail.
“Mesuji sudah mendapatkan izin dan telah melaksanakan masa pengenalan lingkungan sekolah secara tatap muka, sedangkan Kabupaten Waykanan akan dilaksanakan pada 10 Agustus mendatang, sebab tidak semua diperbolehkan karena keselamatan siswa adalah yang utama,” ujarnya.
Menurutnya, dalam memberikan rekomendasi dan izin untuk melakukan kegiatan belajar tatap muka dilakukan secara berhati-hati dengan memperhitungkan perkembangan kasus Covid-19 di setiap kabupaten.
“Pembukaan sekolah tidak boleh dilakukan tergesa-gesa semua harus sesuai aturan, bahkan bila terjadi sesuatu maka sekolah akan ditutup kembali, jangan sampai muncul kluster baru,” tukasnya.(*/Kris)
JAKARTA – Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Evy Mulyani menegaskan seluruh pembelajaran tatap muka di sekolah merupakan wewenang kepala daerah.
Selain itu, sekolah yang dibuka harus memiliki izin dari Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 di daerah.
“Yang perlu kita pahami, adalah kewenangan pembukaan sekolah di zona hijau adalah di kepala daerah dengan persetujuan gugus tugas setempat, dengan seluruh persyaratan yang ketat dan berlapis,” kata Evy, Senin (13/7/2020).
Sebelumnya, Kemendikbud bersama Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri telah membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran Baru 2020/2021 masa pandemi Covid-19. Di dalam peraturan tersebut, pembukaan sekolah hanya diperkenankan di zona hijau.
Evy juga menegaskan, meskipun persyaratan sudah dipenuhi sekolah hingga izin dari Gugus Tugas Pencegahan Covid-19, murid yang datang ke sekolah harus diizinkan orang tuanya. “Final decision ini di orang tua, begitu,” kata Evy menambahkan.
Meskipun di zona hijau, pembukaan sekolah harus tetap berjenjang yaitu dimulai dari SMA dan SMP sederajat.
Setelah dua bulan, apabila status wilayah tersebut tetap zona hijau berdasarkan penetapan Gugus Tugas, maka baru bisa dilanjutkan ke jenjang SD dan SLB.
Dua bulan setelah jenjang SD dan SLB dibuka, jenjang terakhir yang diizinkan adalah PAUD untuk menjalankan pembelajaran tatap muka. Masing-masing jenjang diperbolehkan dibuka dengan jarak dua bulan, dengan catatan wilayah tersebut masih ditetapkan sebagai zona hijau.(*/Ind)
BOGOR – Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor belum mengizinkan sekolah di Kota Bogor menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka di sekolah pada tahun ajaran baru 2020/2021 yang mulai Senin (13/7) besok.
Sebab, saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19.
“Tingkat kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19 di Kota Bogor masih zona kuning, belum memasuki zona hijau, sehingga KBM masih harus dilakukan dari jarak jauh secara online,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor, Fahrudin, di Kota Bogor, Minggu (12/7/2020).
Menurut Fahrudin, pada tahun ajaran baru 2020/2021, siswa belajar dari rumah dan guru mengajar dari rumah. “Bisa juga guru mengajar dari sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing,” katanya.
Fahrudin yang akrab disapa Fahmi mengatakan pembelajaran jarak jauh tidak hanya mengutamakan pencapaian target secara keseluruhan yang ditetapkan dalam kurikulum, tapi lebih mengutamakan pada pendidikan keterampilan hidup.
Ini termasuk pembentukan karakter, tanggung jawab, penambahan pengetahuan, serta pembentukan akhlak yang baik melalui pembiasaan baik di rumah.
“Pendidikan atau proses pembelajaran jarak jauh itu harus dilakukan dengan menyenangkan, tidak membebani siswa dan orang tua,” katanya.
Pada pembelajaran jarak jauh, kata dia, perlu ada kerja sama yang baik, antara sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Hal ini agar hambatan yang dapat terjadi pada proses pembelajaran online ini bisa diselesaikan bersama.
Pada kesempatan tersebut, Fahmi mengajak guru, para siswa, dan orang tua, menyambut tahun ajaran baru 2020/2021, untuk wujudkan pembelajaran online yang bermutu dan efektif. “Kepada para siswa terus jaga kesehatan,” katanya.
Fahmi menambahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan tanggal 13 Juli 2020 hari pertama tahun ajaran baru 2020/2021. Namun, tidak semua sekolah dibolehkan melakukan KBM tatap muka.
“Hanya daerah yang berstatus zona hijau yang telah diizinkan melakukan KBM tatap muka,” terangnya.(*/Iw)
JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) memastikan pada tahun pelajaran baru 2020/2021 yang dimulai pada 13 Juli mendatang, Madrasah akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam (PAI).
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, A Umar mengatakan Madrasah, baik Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA), akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab.
“Mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs, dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab,” kata Umar di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Menurut Umar, Kemenag telah menerbitkan KMA No 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Selain itu, diterbitkan juga KMA 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah.
Kedua KMA ini akan diberlakukan secara serentak pada semua tingkatan kelas pada tahun pelajaran 2020/2021.
“KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah. Sehubungan itu, mulai tahun ajaran ini KMA 165 tahun 2014 tidak berlaku lagi,” lanjutnya.
Meski demikian, mata pelajaran dalam Pembelajaran PAI dan Bahasa Arab pada KMA 183 Tahun 2019 sama dengan KMA 165 Tahun 2014. Mata Pelajaran itu mencakup Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab.
“Jadi beda KMA 183 dan 165 lebih pada adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad 21.
Kemenag juga sudah menyiapkan materi pembelajaran PAI dan Bahasa Arab yang baru ini sehingga baik guru dan peserta didik tidak perlu untuk membelinya. Buku-buku tersebut bisa diakses dalam website e-learning madrasah,” tukasnya.(*/Ind)
UNGARAN – Orang tua siswa kelas IX SMPN 5 Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan besaran pungutan oleh sekolah yang akumulasi besarannya mencapai ratusan ribu rupiah. Mereka menganggap besaran pungutan tersebut bakal menambah beban orang tua siswa.
Apalagi, hal itu dilakukan di tengah situasi sulit, akibat dampak pandemi Korona yang belum kunjung mereda.
“Bahkan sejumlah komponen pungutan yang dimaksud mestinya sudah bisa dicover oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak perlu dibebankan lagi kepada siswa,” ungkap Tika (46 tahun) salah satu orang tua siswa, Jumat (10/7).
Dia mengaku, menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2020/ 2021, setiap siswa kelas IX bakal dipungut Rp 725 ribu. Hal ini terungkap dalam rapat yang dilaksanakan pihak sekolah dengan orang tua/wali siswa kelas IX.
Adapun komponen dari pungutan tersebut, antara lain terdiri atas buku ujian Rp 150 ribu, foto ijasah Rp 30 ribu, tambahan jam pelajaran Rp 70 ribu, penulisan ijasah dan fotocopy Rp 25 ribu serta katalog Rp 65 ribu.
Selain itu juga kenang-kenangan untuk sekolah Rp 50 ribu, biaya wasanawarsa Rp 200 ribu, konsumsi untuk guru penjaga ujian Rp 60 ribu, sewa Genset Rp 25 ribu dan untuk mujahadah Rp 25 ribu.
Baginya pungutan ini sangat membebani, apalagi kapan kegiatan belajar tatap muka di sekolah sudah bisa dimulai juga belum ada kepastian. Karena harus pertimbangan keamanan zona persebaran virus Korona.
Dia juga mengaku, terkait dengan uang tersebut memang belum dibayarkannya atau oleh orang tua siswa yang lain, karena baru disampaikan pihak sekolah saat pertemuan dengan orang tua/ wali siswa.
Namun yang masih menjadi pertanyaan baginya, kalau komponen tersebut bisa dicover oleh BOS, kenapa masih dibebankan kepada orang tua siswa. “Katanya sekolah gratis sudah dibiayai BOS, tetapi masih akan dipungut Rp 725 ribu per siswa,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Tika, dari beberapa komponen biaya yang dibebankan kepada siswa tersebut masih ada yang membuatnya kurang sreg. Seperti misalnya biaya konsumsi untuk pengawas ujian.
Katanya sekolah menyiapkan untuk makan dengan besaran Rp 15 ribu per pengawas. Karena ujian berlangsung selama empat hari maka besarannya 15 ribu x 4 mencapai Rp 60 ribu per pengawas yang dibebankan kepada tiap siswa.
Karena pengawas ujian itu kan satu ruangan hanya satu orang, tapi semua siswa dibebani Rp 60 ribu per siswa. “Kalau satu ruangan ada 15 siswa, masa satu pengawas makannya sampai 15 porsi per hari,” tambahnya.
Tika juga menjelaskan, dalam pertemuan tersebut ia memang tidak sempat menyampaikan keberatan. “Karena memang waktunya terbatas dan sepertinya tidak ada kesempatan untuk berkomunikasi dua arah dan kesannya bukan rapat tapi hanya pemberitahuan,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disdikbudpora) Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo yang dikonfirmasi mengaku, sudah mendengar perihal keluhan beberapa orang tua siswa tersebut.
Menurutnya, kondisi yang di SMPN 5 Ambarawa memang memungkinkan pihak sekolah memebebankan sebagian kebutuhan siswa kepada orang tua dengan landasan musyawarah pihak sekolah, komite sekolah serta orang tua/ wali siswa.
Sebab kondisi sekolah di Kabupaten Semarang tidak semuanya sama, termasuk dengan jumlah siswanya. “Artinya sekolah dengan jumlah siswanya yang terlalu sedikit pasti beban orang tua juga menjadi lebih,” katanya.
SMPN 5 Ambarawa, jelas Sukaton, kategorinya sekolah dengan siswa yang sedikit atau Indeks Satuan Pendidikannya kurang. APBD tidak bisa mengcover semuanya kalau itu dibebankan kepada pemerintah.
Demikian halnya, meskipun sudah ada dana BOS, jika sekolah tidak bisa mengkover, masih bisa membebankan kepada orang tua sepanjang dilaksanakan melalui landasan musyawarah dan kesepakatan bersama.
Persoalan ini telah diatur dalam regulasi Permendikbud Nomor: 75 Tahun 2015 tentang Komite Sekolah. “Bahwa pendidikan itu milik kita bersama, maka itu masuknya sumbangan untuk kepentingan siswa bukan pungutan,” katanya.
Terkait dengan adanya keluhan dari orang tua siswa di SMPN 5 Ambarawa ini, Sukaton juga mengatakan boleh disampaikan, namun juga harus dicek kembali duduk persoalan seperti apa.
Sehingga kuncinya saat diajak musyawarah orang tua diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat harus dimanfaatkan. “Jadi apapun keputusannya itu merupakan hasil musyawarah yang melibatkan semua stakeholder di sekolah tersebut,”ungkapnya.(*/D Tom)
BEKASI – Sekolah di Bekasi sebentar lagi akan bertatap muka namun akan menerapkan dengan ketat protokol kesehatan .
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengklaim Kota Bekasi kini sudah masuk zona hijau COVID-19 dengan indikator angka penyebaran kasus yang semakin turun.
Berdasarkan indikator tersebut pula Rahmat bahkan berani membuka kembali sekolah-sekolah yang ada di Kota Bekasi mulai 13 Juli mendatang.
“Sudah hijau, kalau ada kasus baru ya infrastruktur kita terpenuhi, jadi tidak perlu khawatir makannya jangan melawan COVID-19, tetapi aman COVID-19 di Kota Bekasi,” kata Rahmat yang biasa dipanggil Bang Pepen di Bekasi, Kamis (9/7/2020).
Dia mengaku sudah mengikuti instruksi sesuai arahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait dibukanya kembali aktivitas sekolah tatap muka jika wilayah tersebut sudah dikatagorikan zona hijau.
“Kalau sudah memenuhi standar dan jika terjadi apa-apa Pemkot Bekasi juga sudah ada antisipasi jadi kenapa tidak. Kita akan buka sekolah tatap muka,” ungkapnya.
Di Kota Bekasi tercatat sudah sebulan lebih tidak ada kasus kematian yang disebabkan COVID-19 sementara angka kasus positif juga semakin berkurang.
“Kalau ada pasien kasus COVID-19 kan sarana dan prasarana kita ada, angka kematian saat ini juga sudah tidak ada dan angka penularannya rendah di bawah satu perhari,” ucapnya.
Berdasarkan data COVID-19 Kota Bekasi hari ini tercatat terkonfirmasi positif hanya menyisakan 16 kasus sementara pasien dalam perawatan sudah tidak ada dan orang dalam pemantauan berjumlah 134.
Dilansir dari laman yang sama secara keseluruhan total orang yang meninggal dunia selama pandemi virus ini mencapai 36 kasus dari total 451 kasus terkonfirmasi positif.
Tren penurunan tersebut menjadi dasar Wali Kota Bekasi menetapkan wilayahnya menjadi zona hijau COVID-19 meski berdasarkan data Gugus Tugas Provinsi Jawa Barat periode 25-30 Juni lalu masih termasuk zona kuning.(*/Eln)
LEBAK – Bupati Lebak Iti Oktavia mengatakan untuk sekolah belum bisa bertatap muka sampai dianggap aman .
Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak menargetkan pelaksanaan belajar secara mengajar tatap muka tingkat SMP dan SD akan dilakukan pada akhir tahun ini, dengan syarat sudah menjadi zona hijau virus corona (Covid-19).
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak Wawan Ruswandi mengatakan, skenario pelaksanan belajar mengajar tatap muka dilakukan setelah dinyatakan aman dari penyebaran Covid-19.
Tingkat SMP ditargetkan siswa dapat belajar secara normal pada September 2020. Sedangkan SD akan dilakukan setelah dua bulan pelaksanaan belajar mengajar tingkat SMP berjalan normal atau pada November 2020.
“Ketika kita (Lebak) sudah zona hijau, maka tahap pertama hanya diperbolehkan SMA/SMK di masa transisi. Dua bulan kemudian dianggap lebih bagus nanti SMP, sehingga SMP bisa terlaksana bulan september. SD di bulan November,” ujar Wawan kepada wartawan.
Dijelaskan Wawan, saat ini pihaknya tengah mengupayakan para siswa yang berada di zona blank spot atau sulit sinyal dapat melaksanakan belajar mengajar tatap muka.
“Untuk awal kita sedang mengkaji daerah-daerah yang memungkinkan melaksanakan tatap muka. Kita akan kaji dengan gugus tugas bagaimana caranya di zona hijau bisa melaksanakannya,” jelas Wawan.
Meskipun tatap muka, pelaksanaannya mesti harus mengikuri protokol kesehatan dan yang terpenting ada persetujuan dari orangtua siswa.
“Aturannya sama kaya zona hijau protokol (kesehatannya). Sebelum pelaksanaannya harus menyiapkan cuci tangan, masker, dan persetujuan orangtua,” tutupnya.
Sementara Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan di wilayahnya masih pelaksanaan belajar mengajar tatap muka tidak diperbolehkan.
Namun, pihaknya tengah berupaya meminta pelonggaran terutama para siswa yang berada di gunung yang tidak memungkinkan melaksanakan secara daring agar bisa tatap muka. “Kalau melalui daring dari segi sinyal kan belum memadai, banyak yang blank spot,” tukasnya.(*/Dul)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro