JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan batas usia capres-cawapres menuai polemik. Bahkan, Ketua MK Anwar Usman beserta hakim lainnya harus menjalani pemeriksaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitus (MKMK terkait dugaan pelanggaran kode etik.
Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, diketahui permohonan gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres.
Dalam putusan itu, MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan, putusan MK tersebut bisa dibatalkan. Namun, hanya mungkin bisa dilakukan jika MKMK menemukan pelanggaran kode etik.
"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," kata Fauzan dalam keterangannya, Jumat (3/11/2023).
Putusan MK tersebut disinyalir membuka jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres mendampingi bakal capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Di mana, saat putusan diketok Ketua MK Anwar Usman, putra sulung Joko Widodo (Jokowi) itu masih berusia 36 tahun. Usai keluar putusan tersebut, Gibran pun dideklarasikan sebagai bakal cawapres. Anwar Usman sendiri merupakan paman Gibran atau besan Jokowi.
Fauzan menambahkan, jika merujuk hukum tata negara positif atau sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C Undang- Undang Dasar 1945, keputusan MK lazimnya mesti diterima publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum. Namun, proses yang berjalan di MKMK membuka jalan untuk pembatalan putusan tersebut.
Menurut Fauzan, jika mengutamakan aspek moralitas, bisa saja MKMK mengesampingkan hukum tata negara yang selama ini berlaku di Indonesia. MKMK bisa menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik, putusannya tidak mengikat.
"MKMK bisa menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik, putusannya tidak mengikat. Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," tuturnya.
Kemungkinan lain, lanjut Fauzan, MKMK bisa juga tidak membatalkan putusan tersebut meskipun Anwar Usman Cs terbukti melanggar etika. Namun, pihaknya tetap berharap MKMK membuat terobosan, yakni dengan menetapkan putusan hakim yang terbukti melanggar kode etik bisa dibatalkan, misal dengan dua cara.
"Pertama, pembatalan oleh MK sendiri atas perintah MKMK. Kedua, oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana juga sempat mengungkapkan, jika menemukan pelanggaran etika hakim, MKMK diharapkan berani membatalkan putusan tersebut. Selain itu, pihaknya meminta putusan sidang MKMK dikeluarkan sebelum 8 November 2023 atau batas akhir pendaftaran capres-cawapres.
Sehingga KPU, koalisi partai politik maupun pasangan capres-cawapres bisa menyiapkan diri merespons putusan tersebut. Dugaan laporan pelanggaran etik diketahui dilakukan sejumlah pihak.
Hingga akhirnya MKMK dibentuk. Eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie ditunjuk menjadi Ketua. MKMK sendiri bakal memutuskan hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman Cs pada Senin 7 November 2023.(*/Jo)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro