JAKARTA - Internal Partai Golkar memanas. Ada desakan untuk mempercepat Munas. Konflik kepengurusan kerap berlangsung di tubuh Beringin.
Kembali, Beringin bergoyang. Kali ini gara-gara perolehan suara Partai Golkar yang turun dibandingkan Pemilu Legislatif 2014. Hasil rekapitulasi KPU menunjukkan, Golkar berada di posisi ketiga (12,31%), di bawah Partai Gerindra (12,57%) dan PDI Perjuangan (19.33%).
Dengan hanya mampu mengumpulkan suara 17.229.789, kursi yang bisa diduduki Golkar di Senayan hanya 85kehilangan 6 kursi dari 91 kursi yang diperoleh pada Pemilu Legislatif 2014.
Betul, Beringin tidak keluar dari angka keramat "tiga besar". Tapi, seperti dikatakan Yorrys Raweyai, seorang politisi senior Golkar, perolehan suara partai ini tetap saja turun.
"Target 110 kursi pada Pemilu 2019, hasilnya hanya 85 kursi," kata Yorrys pada diskusi "Beringin Bergoyang Lagi?" bersama Prof Dr Salim Said (Ketua Institut Peradaban/Guru Besar Ilmu Politik), dan Heroik M Pratama (Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) di Jakarta, Sabtu, 22 Juni 2019.
Pada Pemilu 2014 lalu, Golkar berada di urutan kedua setelah PDI Perjuangan dengan suara 18.432.312 (14,75%). Artinya, pada Pemilu 2019 Beringin kehilangan 1,2 juta pemilih, karena hanya memperoleh suara 17.229.789.
Yorrys mendukung perlu adanya langkah evaluasi dan perubahan di tubuh Partai Golkar. Menurut dia, hal itu penting untuk persiapan Pemilu 2024 mendatang. "Ke depan harus berpikir 2024 Golkar mau jadi apa? Harus ada perubahan dan evaluasi," ujarnya.
Musyawarah Nasional (Munas)? Begitulah sebagian suara yang muncul di internal Golkar. Munas yang seharusnya digelar Desember 2019, dipercepat sebelum pelantikan presiden/wakil presiden dan pembentukan kabinet baru bulan Oktober.
Salah satu inisiator untuk mempercepat Munas adalah Azis Samual. Pria yang pernah menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Wilayah Timur Partai Golkar ini mengklaim para pengurus daerah sudah sepakat untuk mempercepat Munas.
:Konsolidasi sudah bulat, 25 DPD I dan beberapa DPD II sudah merestui percepatan Munas ini," kata Azis dalam keterangan tertulisnya, Senin, 27 Mei 2019.
Aziz menginginkan agar Munas digelar maksimal akhir Juli nanti. "Airlangga (Hartarto) sebagai ketua umum gagal, sudah sepatutnya bertanggung jawab, dan harus mundur," kata mantan Pelaksana Tugas Ketua DPD I Golkar Papua ini.
Seperti halnya Yorrys dan Aziz, Barisan Pemuda Partai Golkar (BPPG) juga mendesak Munas dipercepat untuk pergantian ketua umum.
Hanya saja, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily meminta kader muda Beringin bersabar. Ace mengatakan desakan BPPG itu tidak masalah. Setiap kader, ujar dia, punya hak untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Namun, partai juga punya aturan. Dia menegaskan, sesuai amanat Munas Luar Biasa (Munaslub) 2017 dan ADART, Golkar baru akan menggelar Munas Desember 2019 nanti.
Kalau misalnya Munas Golkar berhasil dipercepat, siapakah tokoh yang mereka jagokan? Bambang Soesatyo adalah nama yang paling banyak disebut. Ketua DPR ini dianggap layak memimpin Beringin.
Dalam sejarah pemilihan Ketua Umum Golkar, kader Beringin memang kerap memilih pemimpinnya seorang tokoh yang punya jabatan strategis, baik di legislatif maupun eksekutif. Apakah dengan demikian kans Bambang sangat besar menggantikan Airlangga Hartarto? Ikuti saja dinamika politik yang berkembang di internal Golkar hari-hari ini.
Yang jelas, Airlangga sudah menyatakan siap berkompetisi pada Munas Golkar nanti. "Insha Allah. Ada beberapa daerah sudah memberikan dukungan," katanya.
Konflik, tapi elektabilitas terjaga
Sejak era reformasi, suksesi kekuasan politik di Golkar tidak melulu berjalan adem, bahkan kerap dibumbui gejolak. Beberapa tahun lalu terjadi perebutan legitimasi kepengurusan partai antara kubu Munas Ancol dipimpin Agung Laksono dan kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie, sampai kemudian melahirkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum untuk menyudah dualisme kepengurusan partai.
Ketika Novanto dinyatakan terlibat kasus korupsi pengadaan e-KTP, tensi di tubuh Golkar kembali memanas. Kasak-kusuk berlangsung untuk menggantikan Novanto. Beberapa nama muncul. Akhirnya yang dipilih Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian.
Yang paling keras adalah dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang diselenggarakan pada 11 Juli 1998 di Jakarta. Munaslub digelar untuk menggantikan Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar.
Hasil Munaslub itu dimenangi politisi sipil, Akbar Tanjung, mengalahkan calon dari militer, Jenderal Edi Sudradjat.
Tapi, buntut dari Munaslub ini, Edi Sudradjat dan beberapa tokoh Golkar pendukungnya hengkang dari Beringin. Mereka kemudian mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan, yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999.
Konflik kembali terjadi di tubuh Golkar pada putaran pertama Pemilu Presiden 2004. Saat itu, Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, namun Penasihat DPP Partai Golkar Jusuf Kalla menerima pinangan capres Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.
Perpecahan tak dapat dielakkan. Kalla kemudian diberhentikan sebagai Penasihat DPP Partai Golkar bersama sembilan pengurus Partai Golkar dipecat. Alasannya, Kalla dan sembilan fungsionaris lain dianggap tidak mematuhi keputusan rapat pimpinan partai.
Serentetan konflik di tubuh Golkar itu akhirnya melahirkan beberapa partai, seperti PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai NasDem.
Meskipun kerap didera konflik, hebatnya elektabilitas partai ini tidak pernah anjlok sampai ke bawah, tidak seperti partai-partai yang lain. Padahal sejak era reformasi, Golkar tidak punya tokoh kharismatik yang disegani, tidak seperti di era Orde Baru di mana Presiden Soeharto menjadi tokoh sentral.(*/Ag)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro