JAKARTA - Pihak Istana Presiden mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 cukup menggembirakan. Angka 5,17% cukup ciamik di tengah ketidakpastian ekonomi global. Benarkah?
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2019 tidak akan jauh-jauh dari 5%. Hal ini tentu saja menuai berbagai pandangan dari beragam pihak.
Pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018, menurut catatan BPS, mencapai 5,18%. Naik tipis ketimbang periode sama di tahun sebelumnya (year on year/yoy) sebesar 5,17% untuk keseluruhan tahun. Artinya, lebih rendah dibandingkan target 5,4% dan masih jauh dari harapan 7%, sesuai janji kampanye Joko Widodo pada 2014 silam.
Stagnasi perekonomian ini, seiring dengan industri pengolahan atau manufaktur yang tumbuh melemah kemudian stagnan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan masih dominan didorong oleh konsumsi, daya beli masyarakat masih melemah meskiharga-harga yang relatif stabil dan tidak dinaikkannnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah.
Rerata pertumbuhan ekonomi era Jokowi-JK hanya berada di 5,04%.
Ekonom UI, Faisal Basri memberikan pandangannya. Dalam laman pribadinya, Faisal Basri menjabarkan pola berulang yang ditemukannya sewaktu menganalisis perekonomian RI di masa pemerintahan Jokowi-JK.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih cocok dikatakan anteng (=Bahasa Jawa "diam") di atas 5%. Pasalnya, Faisal Basri melihat pertumbuhan ekonomi RI di masa pemerintahan Jokowi-JK, selalu berada dalam kisaran 5%, kecuali pada 2015 yang sempat melambat di level 4,88%.
Faisal menjelaskan, pola serupa juga terjadi pada tingkat pengangguran. Dan betul saja, dari tahun ke tahun tingkat pengangguran di masa pemerintahan Jokowi-JK juga anteng di kisaran 5%.
Tingkat pengangguran terbuka pun menunjukkan perkembangan serupa. Setelah naik dari 5,820% tahun 2014 menjadi 5,995% tahun 2015, tingkat pengangguran terbuka terus turun menjadi 5,555% tahun 2016, lalu 5,415% tahun 2017, dan 5,235% tahun 2018.
Pola menurun dan justru terjadi pada sektor penopang pertumbuhan ekonomi, salah satunya sektor penghasil barang (tradable) yang selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.
Sektor industri manufaktur yang merupakan penyumbang terbesar bagi PDB terus melanjutnya penurunan perannya, dari 20,52% pada 2016 menjadi 20,16% pada 2017 dan turun lagi ke aras di bawah 20% tahun 2018.
Meskipun sektor industri manufaktur terus menunjukkan pola menurun, Faisal Basri juga menjelaskan pola meningkat yang terjadi pada sektor sektor jasa (non-tradable). Bahkan pertumbuhan di sektor ini berada di atas pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto).
Tak hanya itu, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto juga menunjukkan pola meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Di tahun 2017, kedua komponen tersebut berada dalam level 4,94% dan 6,15%. Keduanya pun mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2018, yakni 5,05% dan 6,67%.
"Faktor inilah yang menjadi kunci pertumbuhan PDB bisa lebih tinggi tahun lalu [2018], mengingat sumbangan konsumsi rumahtangga lebih dari separuh PDB. Penyumbang terbesar kedua adalah pertumbuhan investasi fisik atau pembentukan modal tetap bruto. Komponen ini-yang menyumbang 32,29% dalam PDB."
Faisal Basri meminta Pemerintah bisa lebih fokus pada upaya untuk mendorong sektor industri manufaktur, terutama yang memproduksi barang substitusi impor.
Ke depan, impor bisa dikurangi dan ekspor bisa lebih dioptimalkan. Jika hal tersebut dilakukan dan berjalan dengan baik, niscaya, target pertumbuhan ekonomi RI yang mencapai 7%, bukan angan-angan belaka.(*/El)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro