JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menegaskan lembaganya bersikap netral melaksanakan Pemilu 2019. Hal itu disampaikan saat menerima perwakilan massa aksi apel siaga dari Forum Umat Islam (FUI).
“Saya merespon insya Allah kami bertujuh (komisioner) dalam posisi independen. Tapi kami manusia biasa perlu dikritik. Itu untuk saling mengingatkan,” katanya di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).
Dalam kesempatan itu, Wahyu juga menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait isu yang berkembang yang disampaikan dalam audiensi. Terkait isu orang gila diberi hak pilih, dia menjelaskan yang memiliki hak suara ialah mereka yang menderita tuna grahita. Dalam hal itu, KPU berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi No 135/PUU-XIII/2015.
“Terkait orang gila. Sudah ada putusan MK untuk memberikan hak pilih kepada tuna grahita. Jadi bukan orang gila yang di pinggir jalan, kita enggak data. Tapi kalau ada keluarga yang kelainan mental itu yang dimaksud oleh MK. Kami tidak pernah mendata orang gila, kami tak pernah lakukan,” jelasnya.
Lebih lanjut, laki-laki kelahiran Banjarnegara itu juga menjawab terkait cuti petahana. Dia menerangkan Jokowi sebagai petahana tidak perlu cuti karena diatur dalam undang-undang, hal yang berbeda ketika para kepala daerah kembali mencalonkan diri.
“Ibu bapak mohon maklum atas penjelasan kami. Jadi KPU itu bekerja sifatnya melaksanakan UU. Jadi memang berbeda dengan pilkada. Jadi pada waktu pertahana menjadi capres pada waktu yang bersamaan dia juga jadi presiden. Itu perintah UU,” tandasnya.
Lebih lanjut Wahyu juga menjawab terkait tabulasi KPU yang disebut sering dilakukan di Hotel Borobudur. Perwakilan massa mengindikasikan kecurigaan pemilihan tempat tabulasi. Eks Ketua KPUD Kabupaten Banjarnegara itu menyatakan KPU siap memindahkan tabulasi dari Hotel Borobudur.
“Tidak menutup kemungkinan bisa dipindah dari Hotel Borobudur. Kita bayar Pak, bisa di mana pun,” tuturnya.
Namun Wahyu mengingatkan bahwa sistem tabulasi sebenarnya tidak menjadi patokan hasil pemilu. Menurutnya hasil pemilu didapatkan pada penghitungan manual melalui laporan per TPS.
“Hasil akhir pemilu itu tidak dilakukan berdasarkan teknologi informasi. Jadi hasilnya itu berdasarkan kertas secara berjenjang mulai dari di tingkat TPS, rekapitulasi di kabupaten di provinsi dan terakhir di nasional di tingkat KPU, jadi melalui rekapitulasi di rapat terbuka yang dihadiri saksi dan pemantau,” terang Wahyu. (*/Ag)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro