BANDUNG - Guru dan tenaga administrasi sekolah (TAS) nonPNS keberatan dengan ketentuan baru pemberian honorarium peningkatan mutu guru dan tenaga honorer. Dengan aturan baru ini, diperkirakan 1.500 guru honorer tidak bisa menerima honorarium.
Pemberian honor yang sebelumnya disebut dengan Tambahan Penghasilan (Tamsil) ini diatur dalam Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 14 Tahun 2019 tentang Honorarium Peningkatan Mutu Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Non PNS. Menurut aturan itu, honorarium diberikan kepada guru non PNS di sekolah negeri dengan kualifikasi minimal berpendidikan S1 atau D4 sesuai dengan mata pelajaran bagi guru SD dan SMP, bagi guru PAUD formal minimal S1 atau D4 PAUD, sedangkan bagi PAUD non formal, minimal berpendidikan SMA atau sederajat. Bagi TAS yang bukan ASN setidaknya harus berpendidikan SMA atau sederajat.
Guru dan TAS non PNS di PAUD, SD dan SMP baik negeri maupun swasta harus mempunyai masa kerja minimal dua tahun.
Selain itu, guru non PNS yang menerima honorarium ini harus terdata pada sekolah induk dalam Data Pokok Kependidikan (Dapodik). Guru non PNS harus mengajar setidaknya 24 jam per minggu dengan beban kerja 37,5 jam per minggu. Sementara bagi TAS non PNS harus melaksanakan jam kerja selama 37,5 jam per minggu.
Ribuan guru dan TAS honorer keberatan dengan kebijakan baru ini. Tim Pertimbangan Kebijakan Wali Kota Bandung bertemu dengan berbagai organisasi guru dan TAS di SMPN 43 Bandung, Jumat 10 Mei 2019. Dalam pertemuan itu, tim menjaring aspirasi berbagai organisasi itu. Tim diwakili oleh Yugi Sukriana.
Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Kota Bandung Tito Suhendar mengatakan, setelah dicermati terdapat sekitar 1.500 orang yang tahun ini tidak akan mendapat honorarium ini. Guru honorer sendiri jumlahnya mencapai 9.000 orang.
Tito mengatakan, Perwal ini sejatinya bisa menjadi jaminan agar guru dan TAS honorer bisa mendapat tunjangan sesuai kemauan politik wali kota. "Kendalanya ada beberapa persyaratan yang tidak terpenuhi," ujarnya.
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Iwan Hermawan mengatakan, sulit bagi guru honorer swasta mengajar 24 jam seminggu di saru sekolah. "Kecuali bisa mengajar di dua atau tiga sekolah. Tapi kan informasinya harus satu sekolah," ujarnya.
Ia juga berpendapat ada ketidakadilan dalam aturan ini. Aturan ini mengklasifikasikan honorarium bisa setara dengan UMK dan di bawahnya. Sementara di sisi lain, sudah ada guru honorer swasta yang sudah bersertifikat justru tidak bisa mendapatkan honorarium ini. "Sehingga bisa ada guru yang belum bersertifikat tapi dapat Rp 3,1 juta, yang sudah bersertifikat dapat Rp 1,5 juta," tuturnya.
Ia meminta agar Perwal dan Kepwal terkait pemberian honorarium ini bisa direvisi. "Jangan sampai ada yang tidak dapat," ujarnya.
Ia mengatakan, saat ini SD dan SMP negeri banyak kekurangan guru PNS. Di sekolah negeri lebih banyak guru honorer.
"Jika tidak diperbaiki, kami siap gugat ke PTUN," ujarnya.
Didi Septariana dari Asosiasi Guru dan Tenaga Honorer (AGTH) memahami aturan ini dibuat untuk membangun sistem. Tapi seharusnya, semua guru dan tenaga honorer bisa mendapat honorarium yang tahunalu disebut Tamsil.
"Tidak mungkin mengajar 24 jam seminggu, karena kami diberi sisa dari (jam mengajar PNS). Kami meminta keadilan," katanya.
Perwakilan dari Forum Komunikasi Guru Honorer (FKGH) Yanyan Hendriyan mengatakan, sejak awal April sudah banyak menerima keluhan dari guru honorer yang tahun ini tidak bisa menerima honorarium karena tidak memenuhi kriteria.
Ia menyayangkan ketidakhadiran perwakilan dari Dinas Pendidikan Kota Bandung pada forum itu. "Ini ketidaktahuan orang Disdik atas masalah kita. Harus mengajar 24 jam, honorer itu paling 18-20 jam,"tandasnya.(*/Hend)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro