JAKARTA - Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman, mengatakan, mantan narapidana yang ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) diwajibkan untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana. Sedangkan pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon yang meninggal, diberi waktu 30 hari untuk melakukan pergantian, jika calon meninggal dunia pada waktu 29 hari sebelum pemilihan.
Hal itu dikemukakan Rambe Kamarul Zaman ketika menyampaikan laporan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, ( 2/6) .
Rambe Kamarulzaman dalam laporannya menyampaikan beberapa substansi dalam UU Pilkada yang diterapakan dalam Pilkada Serentak 2017 tersebut, seperti mantan narapidana, calon yang meninggal dunia, diatur dengan cermat. Mengenai syarat untuk pasangan calon perseorangan atau independen, disebutkan harus mendapatkan dukungan paling sedikit 6,5% dan paling banyak 10% dari daftar pemilih tetap. Namun, verifikasi ditingkatkan verifikasi faktual dengan metode sensus melalui langkah menemui pendukung pasangan calon.
Syarat dukungan pasangan calon dari partai politik /gabungan partai politik mendapatkan dukungan partai politik/gabungan partai politik tetap sebesar 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu. Jika terjadi perselisihan kepengurusan partai politik maka parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan partai politik yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait persyaratan bagi pegawai negari sipil atau aparatur sipil negara (PNS/ASN), anggota DPR/DPD/DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur setelah secara resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon. Bagi calon petahana, melakukan selama masa kampanye, yaitu 3 hari setelah penetapan pasangan calon hingga 3 hari menjelang pencoblosan. Sedangkan bagi pejabat negara yang terlibat dalam kampanye pemilihan pasangan calon yang diusung, cukup mengajukan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk menghindari penyalahgunaan jabatan petahana, pejabat negara, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon, serta dilarang melakukan penggantian pejabat. Terkait dua hal tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Terhadap pelanggaran pemilihan berupa politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dikenakan sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon, dengan tidak menggugurkan proses pidana. Terkait sanksi administrasi pembatalan calon tersebut, diberikan wewenang kepada Bawaslu Provinsi untuk menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran pemilihan, yang kemudian ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam Surat Keputusan berupa sanksi pembatalan pasangan calon. Pasangan calon yang didiskualifikasi bisa menempuh upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Mengenai pelantikan pasangan calon terpilih, dalam UU tersebut, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dapat melantik bupati, wakil bupati, serta wali kota, dan wakil wali kota secara serentak.(*Adyt)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro