Ada yang berbeda dengan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di periode kepemimpinan komisioner saat ini. Lembaga demokrasi itu terasa kian bernuansa militeristis. Penjagaan keamanan dinilai terkesan berlebihan. Nuansa militerisme itu kian terasa dengan berlapisnya penjagaan bagi semua tamu yang masuk, tak terkecuali para peliput atau wartawan.
Berdasarkan pengalaman jurnalis yang hari-hari biasa meliput di kantor KPU RI, dalam setahun terakhir memang pengamanan di sana semakin hari semakin ketat. Terbaru, satpam KPU, yang saban hari mengenakan baret merah, selalu memeriksa jok sepeda motor para jurnalis yang datang meliput. Setiap wartawan juga diharuskan membuka helm dan jaket.
Dari sisi infrastruktur, perubahan dalam beberapa bulan terakhir tidak hanya terjadi pada pagar kantor KPU RI yang semakin tinggi dan kokoh. Di dekat pagar itu, dibuat pula dua pos kecil. Di setiap pos, selalu ada satu satpam yang berdiri tegap, menghadap ke jalan, dan diam mematung seperti petugas jaga markas militer.
Pada Desember 2022, KPU RI memberikan perlengkapan menyerupai pasukan antihuru-hara kepolisian kepada 100 satpam yang bertugas di lembaga penyelenggara pesta demokrasi itu. Mereka masing-masing mendapatkan rompi, helm, tameng, dan pentungan. Diberikan pula 10 sepeda motor trail. Ketika itu, diresmikan penanaman Pasukan Jagat Saksana bagi satpam KPU.
Pasukan itu lah yang sempat cekcok dengan sejumlah pimpinan partai politik ketika KPU RI menerima pendaftaran bakal caleg pada awal Mei 2023 lalu. Kejadian pertama adalah ketika Pasukan Jagat Saksana saling dorong dan adu mulut dengan sejumlah kader PAN di depan pagar masuk. Akibatnya, Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sempat kesulitan masuk.
Sehari berselang, Pasukan Jagat Saksana adu mulut dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerinda, Habiburokhman. Wakil ketua Komisi III DPR RI itu sempat cekcok karena merasa dipersulit masuk oleh Pasukan Jagat Saksana, meski sudah menunjukkan kartu identitas tamu KPU. Habiburokhman mengatakan, Pasukan Jagat Saksana seharusnya dievaluasi sejak terjadinya cekcok dengan kader PAN. "Baru dikasih kekuasaan sedikit sudah sangat otoritatif," ujarnya melontarkan kritik, ketika itu.
Dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim juga mengkritik KPU karena lembaga demokrasi itu semakin bernuansa militer. Kritik tersebut mencuat dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik tujuh komisioner KPU RI terkait regulasi kuota caleg perempuan di Ruang Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, akhir pekan lalu.
Dalam sidang tersebut, Gaffar bertindak sebagai saksi ahli. Dalam bagian akhir pandangannya, Gaffar menyebut seluruh komisioner KPU RI berasal dari kalangan masyarakat sipil. Namun, mereka tidak menjadikan nilai moral masyarakat sipil sebagai rujukan dalam membuat kebijakan.
Dia juga menilai para pimpinan KPU diperlakukan bak pejabat negara dengan segala dukungan finansial, fasilitas, dan pelayanan yang melebihi pejabat eselon 1 pemerintahan. "Belakangan, bahkan nuansa militerisme terasa menguat di lembaga kepemiluan," kata Gaffar, peneliti yang fokus meriset topik tata kelola pemilu dan masyarakat sipil itu.
"Angan-angan ideal bahwa mereka (komisioner KPU) akan membawa dan menjaga kegelisahan civil society di ranah negara sangat sulit terwujud dengan situasi ini. Yang cenderung terjadi adalah ilusi kenyamanan sebagai pejabat negara," kata ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu.
Merespons kritik tersebut, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mempertanyakan apakah nuansa militer yang dimaksud berkenaan dengan dipertingginya pagar kantor KPU RI dan diperbaruinya seragam satpam. Dia menjelaskan, satpam KPU memang mendapatkan seragam yang lebih bagus, bahkan pelatihan dari lembaga pendidikan kepolisian. "Selama ini satpam kita tidak pernah dilatih. Ini bukan dalam rangka menunjukkan gaya militerisme, tidak," kata Hasyim.
Dia menjelaskan, penguatan satpam KPU bertujuan untuk meningkatkan pengamanan. "Kalau menggunakan teori yang sering disebut-sebut Mas Gaffar Karim kan 'si vis pacem, para bellum' (jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang). Jadi kami harus bersiap-siap untuk mengamankan diri," ujarnya.
Berikutnya, Hasyim juga mempertanyakan apakah kritik nuansa militer itu karena orientasi tugas komisioner baru KPU provinsi dan kabupaten/kota melibatkan Resimen Induk Kodam Jayakarta (Rindam Jaya) dan digelar di markas resimen yang bertugas menggembleng prajurit TNI AD itu. Dia menjelaskan, pelibatan pihak militer itu bertujuan untuk menyeragamkan pemahaman komisioner KPU dari tingkat pusat hingga daerah.
"Kita buat orientasi tugas di Rindam Jaya dalam rangka karena situasi lapangan yang dihadapi memang keras. Supaya kemudian tetap sehat, tetap dalam organisasi yang tertib, dan untuk membangun pemahaman yang seragam," kata mantan kepala Satuan Koordinasi Wilayah (Satkorwil) Banser NU Jawa Tengah itu.
Meski KPU bekerja sama dengan TNI dan Polri, Hasyim menegaskan bahwa dirinya dan pimpinan KPU lainnya tidak bergaya militer ketika berkomunikasi dengan masyarakat sipil. Contohnya, dirinya tidak pernah memosisikan diri seolah-olah orang militer ketika berelasi dengan Gaffar.
"Jadi, tidak ada perubahan sikap, pandangan yang menjadikan kami ini dari masyarakat sipil kemudian berubah perilaku dan cara pandang menjadi militerisme," kata Hasyim, sosok yang juga berprofesi sebagai dosen hukum tata negara di Universitas Diponegoro itu.*****
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro