JAKARTA - Selama ini tidak ada pendidikan politik. Yang ada hiperbola politisi saat kampanye, yang berarti sama dengan ‘gombalisasi’, karena isinya tak lebih dari kata-kata gombal.
“Motivasi utama politisi adalah kekuasaan, yang diperolehnya dengan kekuatan uang, dan manipulasi atau janji-janji gombal,” kata peneliti senior CSIS J Kristiadi dalam diskusi di DPR, kemarin.
Politisi itu meraih suara dan mendapatkan kursi di parlemen, melalui kampanye dengan dana besar.
Mereka tidak sepenuhnya menyelami keinginan dan apa yang harus dibutuhkan rakyat. Dengan modal besar, politisi mencari jalan pintas, menebar uang dan akibatnya menjadi politik biaya tinggi.
“Besarnya biaya politik itu harus dipangkas. Kalau tidak, maka rakyat akan menjadi konsumen yang bisa didekte orang-orang kaya,” terangnya.
Padahal sambung Kristiadi, pendidikan politik itu sangat penting karena tidak hanya mendidik kadernya agar berpengetahuan, melainkan agar memiliki attitude dan value yang baik. Untuk itu, untuk menghindari politik uang rakyat harus terlibat aktif dalam mengontrol penggunaan biaya politik.
“Selain itu, meski saat ini tak lagi ada pertarungan ideologi partai, setidaknya menyatu dalam kekuatan Pancasila, maka yang diperlukan adalah keperpihakan kepada rakyat,” ujarnya.
Keberpihakan itu adalah memperjuangkan hak-hak rakyat seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ekonomi, lingkungan, kesejahteraan dan sebagainya. Namun sayang, mereka tak mempunyai ideologi keperpihakan itu, sehingga politik dan partai politik kita banyak yang dikendalikan oleh kekuatan modal.
“Konsekuensinya rakyat hanya sebagai konsumen dan bukannya ikut terlibat dalam penentuan kebijakan yang berpihak pada rakyat, bangsa, dan negara ini. Maka di situlah dibutuhkan kekuatan masyarakat untuk terus berjuang memperjuangkan hak-hak rakyat,” tandasnya. (*Har)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro